Senin, 04 April 2016

PENJELASAN LENGKAP TENTANG MEMAKAI JILBAB SEPERTI PUNUK ONTA

NUonline
Kalimat “kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring” acapkali dipahami untuk menyamakan wanita-wanita yang memakai jilbab tetapi kelihatan menonjol di belakang jilbab. Pertanyaannya apakah benar penyamaan itu benar? Untuk menjawabnya maka kami akan menjelaskan apa sebenarnya arti dari kata asnimah al-bukht­.

Kata asnimah adalah bentuk plural atau jamak dari kata sanam. Dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur dikatakan sanam al-ba’ir wa an-naqah artinya adalah punggung unta yang paling tinggi atau menonjol. Atau kita terjemahkan dengan punuk unta.

سَنَامُ الْبَعِيرِ وَالنَّاقَةِ أَعْلَى ظَهْرِهَا وَالْجَمْعُ أَسْنِمَةٌ

“Sanam al-ba’ir wa an-naqah (punuk unta) adalah punggung unta yang paling tinggi, dan bentuk plural atau jamak dari kata sanam adalah asnimah. (Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, Bairut-Dar ash-Shadir, cet ke-1, tt, juz, 12, h. 306)

Sedang kata al-bukht maknanya adalah salah satu jenis unta yang besar punuknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam kitab tafsir-nya yaitu al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an.

وَالْبُخْتُ ضَرْبٌ مِنَ الْإِبِلِ عِظَامُ الْأَجْسَامِ، عِظَامُ الْأَسْنِمَةِ

“Al-bukht adalah salah satu jenis unta yang besar badannya yaitu besar punuknya”. (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Riyadl-Daru ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M, juz, 12, h. 311)

Berangkat dari penjelasan ini maka sabda Rasulullah saw: “Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring” diartikan dengan “kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang besar punuknya dan miring”.

Lantas bagaimana maksud bentuk kepala yang seperti punuk unta yang punuknya besar dan miring? Sebagaimana pertanyaan di atas. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Menurut an-Nawawi, tafsir atau penjelasan yang masyhur adalah mereka para wanita-wanita itu membesarkan kepalanya dengan kerudung (khimar), sorban (‘imamah) dan selainnya yaitu dari sesuatu yang digulung di atas kepala sehingga menyerupai punuk-punuk unta.

Sedang menurut al-Marizi, mereka wanita-wanita itu suka memandang laki-laki, tidak menjaga pandangan dan tidak menundukkan kepala-kepala mereka.

Selanjutnya menurut al-Qadli ‘Iyadl adalah mereka memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu mengumpulkan di tengah kepala, maka menjadi seperti punuk unta. Hal ini sebagaimana dikemukan an-Nawawi dalam Syarh Muslim.

وَأَمَّا رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ فَمَعْنَاهُ يُعَظِّمْنَ رُؤُوسَهُنَّ بِالْخُمُرِ وَالْعَمَائِمِ وَغَيْرِهَا مِمَّا يُلَفُّ عَلَى الرَّأْسِ حَتَّى تُشْبِهَ أَسْنِمَةَ الْإِبِلِ الْبُخْتِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ فِي تَفْسِيرِهِ قَالَ الْمَازِرِيُّ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَاهُ يَطْمَحْنَ إِلَى الرِّجَالِ وَلَا يَغْضُضْنَ عَنْهُمْ وَلَا يُنَكِّسْنَ رُؤُوسَهُنَّ وَاخْتَارَ الْقَاضِي أَنَّ الْمَائِلَاتِ تُمَشِّطْنَ الْمِشْطَةَ الْمَيْلَاءِ قَالَ وَهِيَ ضَفْرُ الْغَدَائِرِ وَشَدُّهَا إِلَى فَوْقُ وَجَمْعُهَا فِي وَسَطِ الرَّأْسِ فَتَصِيرُ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ قَالَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِالتَّشْبِيهِ بِأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ إِنَّمَا هُوَ لِارْتِفَاعِ الْغَدَائِرِ فَوْقَ رُؤُوسِهِنَّ وَجَمْعِ عَقَائِصِهَا هُنَاكَ وَتَكَثُّرِهَا بِمَا يُضَفِّرْنَهُ حَتَّى تَمِيلَ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنْ جَوَانِبِ الرَّأْسِ كَمَا يَمِيلُ السَّنَامُ

 “Adapun “kepala-kepala mereka seperti punuk untu” maka pengertiannya adalah mereka membesarkan kepala-kepala dengan khimar (kerudung) tutup kepala wanita (al-khumur) dan kain sorban (al-‘ama`im) atau yang lainnya dari sesuatu yang digelung (dikonde) di atas kepala sehingga menyerupai punuk unta. Ini adalah tafsir yang masyhur. Menurut al-Maziri kalimat tersebut boleh diartikan dengan mereka memandang laki-laki tidak menahan pandangan atau memejamkan matanya dari melihat laki-laki dan tidak menundukkan kepalanya. Menurut al-Qadli ‘Iyadl bawha “wanita-wanita yang cenderaung (al-mailat)” maksudnya adalah mereka menyisir rambut mereka dengan model sisiran rambut para pelacur. Yaitu memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu mengumpulkan di tengah kepala, maka menjadi seperti punuk unta. Menurut al-Qadli ‘Iyadl, hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan menyerupai punuk unta itu karena tingginya jalinan rambut di atas kepala, terkumpulnya jalinan rambut di situ, dan menjadi kelihatan banyak (lebat) dengan sesuatu yang mereka pilin sehingga miring ke salah satu sisi dari beberapa sisi kepala sebagaimana miringnya punuk”. (Muhyiddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim, Bairut-Daru Ihya` at-Turats al-‘Arabiy, cet ke-2, 1392 H, juz, 17, h. 191)      

Kalau kita cermati pendapat an-Nawawi yang mengacu kepada pendapat mayoritas ulama dan pendapat Qadli ‘Iyadl maka kita akan menemukan titik kesamaan. Yaitu sama-sama membuat rambut kepala terlihat banyak atau lebat dari yang semestinya dan menaikkannya di atas kepala, bukan di belakang kepala, sehingga menyerupai punuk unta.

Yang membedakan keduanya hanya pada soal teknisnya saja. Kalau yang pertama menambahkan pada rambutnya dengan semisal sorban, kerudung atau yang lainnya yang digelungkan di atas kepala. Sedang yang kedua, dengan rambutnya sendiri, dengan cara  memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu mengumpulkan di tengah kepala, sehingga menjadi menonjol seperti punuk unta dan miring ke salah satu sisi kepalanya.

Dengan demikian jika penjelasan di atas ditarik dalam konteks pertanyaan Sdri. Nanin mengenai rambut yang panjang kemudian diikat dan terlihat menonjol di bagian belakang jilbab tetapi tidak menonjol di atas kepala, maka tidak masuk seperti punuk unta. Begitu juga dengan pemakaian daleman cemol. Sebab, tidak menjulang di atas kepala. Namun hal ini sepanjang tidak sampai menampakkan perhiasan kewanitaannya (izhhar az-zinah) dan menimbulkan fitnah.

Demikian penjelasan singkat ini, semoga bisa menambah wawasan kita semua. Dan saran kami jangan menggunakan pakaian termasuk juga jilbab yang terlalu mencolok yang dimaksudka untuk menarik perhatian dan pandangan lawan jenis. (Mahbub Ma’afi Ramdlan).

😍😍😍😍😍😍😍😍😍
Diteruskan dengan hasil kajian KISWAH ASWAJA NU CENTER


JILBAB “PUNUK ONTA” AHLI NERAKA?

Trend busana terus berkembang, termasuk pula jilbab “punuk onta” sebagai fashion muslimah yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan. Bila tidak cermat, orang akan terjebak memvonis pemakainya sebagai ahli neraka yang tidak akan masuk surga sama sekali. Pemahaman itu bermula dari hadits:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا. ― رواه مسلم

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, beliau berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Dua golongan termasuk ahli neraka yang belum pernah Aku lihat, yaitu (1) kaum yang punya cambuk seperti ekor sapi yang digunakannya untuk memukul orang-orang; dan (2) perempuan-perempuan yang memakai baju tapi telanjang (berbaju transparan/menutupi sebagian tubuh dan membuka selainnya), yang berjalan lenggak-lenggok penuh kesombongan dan mengoyangkan pundaknya, dan yang membesarkan jilbab/kerudung di kepalanya sehingga seperti punuk onta bukhti (yang jenjang lehernya) yang miring (ke kanan atau ke kiri). Perempuan-perempuan itu tidak akan masuk ke surga dan tidak akan mencium aromanya, padahal sungguh aromanya tercium dari jarak sekian dan sekian (500 tahun perjalanan).” (HR. Muslim)

Apakah kalimat لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ (mereka tidak akan masuk surga) dapat dipahami secara mutlak sehingga siapa saja yang memakai jilbab “punuk onta” tidak masuk surga sama sekali?

Terkait hal ini ulama menjelaskan, maksud kalimat لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ (mereka tidak masuk surga) adalah (1) tidak masuk surga bersama golongan pertama (al-faizin as-sabiqin) atau (2) memang tidak masuk surga sama sekali bila pelakunya menganggap halal perbuatannya tersebut, seperti penjelasan Syaikh Aburra’uf al-Munawi (Faidh al-Qadir, IV/275-276):

لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ ― مَعَ الْفَائِزِينَ السَّابِقِينَ أَوْ مُطْلَقًا إِنِ اسْتَحْلَلْنَ ذَلِكَ.

Sabda Rasulullah saw: “Mereka tidak masuk akan surga”, maksudnya bersama golongan yang beruntung yang pertama masuk surga atau tidak masuk surga secara mutlak bila mereka menganggap halal perbuatannya.”

Atau seperti dalam ungkapan al-Qadhi ‘Iyadh (Mirqah al-Mafatih, XI/95):

مَعْنَاهُ أَنَّهُنَّ لَا يَدْخُلْنَهَا وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا حِينَ مَا يَدْخُلُهَا وَيَجِدُ رِيحَهَا الْعَفَائِفُ الْمُتَوَرِّعَاتِ، لَا أَنَّهُنَّ لَا يَدْخُلْنَ أَبَدًا.

Artinya mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aromanya saat memasukinya, sementara perempuan-perempuan yang terjaga dan penuh wira’i menciumnya; tidak berarti mereka tidak akan masuk surga selama-lamanya.

Kenapa demikian? Karena bila hadits tersebut hanya dipahami secara literal/lahiriah, maka akan bertentangan dengan hadits lain yang menegaskan, semua orang yang mati dalam kondisi tidak menyekutukan Allah pada selain-Nya akan masuk surga, meskipun dalam hidupnya melakukan maksiat (Mirqah al-Mafatih, XI/95), sebagaimana diriwayatkan:

عَنِ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا ذَرٍّ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَبَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِكَ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ. ― متفق عليه

Diriwayatkan dari al-Ma’mur bin Suwaid, ia berkata: “Saya mendengar dari Abu Dzar ra meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: “Malaikat Jibril as mendatangiku, lalu menyampaikan kabar gembira: “Sungguh siapa saja dari umatmu yang mati dalam kondisi tidak menyekutukan Allah terhadap apapun maka Ia masuk surga.” Aku (Abu Dzar ra) bertanya: “Meskipun ia zina dan mencuri?” Nabi saw menjawab: “Meskipun ia zina dan mencuri!” (Muttafaq ‘Alaih)

Kesimpulannya, perempuan yang berjilbab “punuk onta” tidak bisa dianggap sebagai ahli neraka secara mutlak, namun tergantung apakah ia menganggapnya halal atau tidak. Bila menganggapnya halal maka ia termasuk ahli neraka; dan bila tidak maka ia tetap berkesempatan masuk surga meskipun tidak besertaan golongan pertama.

Hal ini sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang tidak mengafirkan pelaku dosa (selain dosa-dosa yang menyebabkan kekafiran) seperti yang dinyatakan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam as-Syafi’i, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat yang paling shahih darinya. Berbeda dengan sekte Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa meskipun dosa kecil, dan sekte Muktazilah yang mengeluarkan pelaku dosa besar dari keimanannya. Wallahu a’lam.

Referensi:

1. Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Jil dan Dar al-Auqaf al-Jadidah, tth.), juz I, h. 66 dan juz VI, h. 178.
2. Abdurra’uf al-Munawi, Faidh al-Qadir, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H/1994 M), juz IV, h. 275-276.
3. Al-Mula ‘Ali al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, juz XI, h. 95.
4. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih, (al-Yamamah-Bairut: Dar Ibn Katsir, 1407 H/1987 M), juz I, h. 697.
5. Burhanuddin al-Laqqani, Hidayah al-Murid li Jauharah at-Tauhid, (Kairo: Dar al-Bashair, 1430 H/2009 M), juz II, h. 1150.



Sumber:
Grup Whatsapp, Kajian Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Divisi KISWAH Aswaja NU Center Jatim

----------
Lengkapnya Baca di link:

http://aswajamuda.com/jilbab-punuk-onta-ahli-neraka/

-------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar