Kamis, 04 Januari 2018

MELAKSANAKAN SHALAT DI TEMPAT IBADAH NON MUSLIM

Hukum Shalat Di Gereja Demi Toleransi

PERTANYAAN:
    Bagaimana pandangan Fiqh tentang pelaksanaan sholat di gereja jika dikaitkan dengan adanya toleransi terselubung oleh pihak gereja?

JAWABAN:

Masalah khilaf :          
         Menurut Madzhab Syafi`i hukumnya adalah makruh dengan syarat tidak ada perkara yang menyebabkan haram seperti adanya gambar-gambar yang diagungkan oleh orang kafir. Menurut satu riwayat dari Madzhab Hanbaly hukumnya tetap makruh meskipun ada gambar-gambar yang diagungkan.
REFERENSI:

حواشي الشرواني  2/ 166 (شافعى) (دار صادر)

( و ) يكره تنزيها أيضا ( الصلاة في الحمام ) ...الى ان قال... ( والكنيسة ) وهي بفتح الكاف متعبد اليهود وقيل النصارى والبيعة وهي بكسر الباء متعبد النصارى وقيل اليهود ونحوهما من أماكن الكفر لأنها مأوى الشياطين ويحرم دخولها على من منعوه , وكذا إن كان فيها صورة معظمة كما سيأتي
قول المتن ( والكنيسة ) ولو جديدة فيما يظهر ويفرق بينها وبين الحمام أي على مختار النهاية بغلظ أمرها بكونها معدة للعبادة الفاسدة فأشبهت الخلاء الجديد بل أولى منه ع ش . ( قوله ونحوهما ) أي من كل ما يعظمونه ع ش ( قوله من منعوه ) أي على مسلم منعه أهل الذمة من الدخول مغني ( قوله ويحرم دخولها إلخ ) عبارة الكردي ومحل الكراهة كما في الإيعاب إن دخلها بإذنهم وإلا حرمت صلاته فيها ; لأن لهم منعنا من دخولها هذا إن كانوا يقرون عليها وإلا فلا إلخ ا هـ . ( قوله صورة معظمة ) أي لهم ع ش

الآداب الشرعية لابن مفلح الحنبلي 3/292 (حنبلي) (دار الكتب العلمية)

فصل ( دخول معابد الكفار والصلاة فيها وشهود أعيادهم ) . وله دخول بيعة وكنيسة ونحوهما والصلاة في ذلك وعنه , يكره إن كان ثم صورة , وقيل : مطلقا ذكر ذلك في الرعاية . وقال في المستوعب : وتصح صلاة الفرض في الكنائس والبيع مع الكراهة , وقال ابن تميم لا بأس بدخول البيع والكنائس التي لا صور فيها والصلاة فيها . وقال ابن عقيل : يكره كالتي فيها صور , وحكى في الكراهة روايتين . وقال في الشرح لا بأس بالصلاة في الكنيسة النظيفة روي ذلك عن ابن عمر وأبي موسى وحكاه عن جماعة , وكره ابن عباس ومالك الكنائس لأجل الصور وقال ابن عقيل : تكره الصلاة فيها ; لأنه كالتعظيم والتبجيل لها وقيل ; لأنه يضر بهم . ولنا { أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في الكعبة وفيها صور } ثم قد دخلت في عموم قوله عليه السلام { فصل فإنه مسجد . } متفق عليه انتهى كلامه .

الموسوعة الفقهية 12/128 (مقارن) (وزارة الأوقاف الكويتية)

الصور في الكنائس والمعابد غير الإسلامية : 69 - الكنائس والمعابد التي أقرت في بلاد الإسلام بالصلح لا يتعرض لما فيها من الصور ما دامت في الداخل . ولا يمنع ذلك من دخول المسلم الكنيسة عند الجمهور . وتقدم ما نقله صاحب المغني أن عليا رضي الله عنه دخل الكنيسة بالمسلمين , وأخذ يتفرج على الصور . وأن عمر رضي الله عنه أخذ على أهل الذمة أن يوسعوا أبواب كنائسهم , ليدخلها المسلمون والمارة . ولذا قال الحنابلة : للمسلم دخول الكنيسة والبيعة , والصلاة فيهما من غير كراهة على الصحيح من المذهب . وفي قول آخر للحنابلة , وهو قول الحنفية : يكره دخولها لأنها مأوى الشياطين . وقال أكثر الشافعية : يحرم على المسلم أن يدخل الكنيسة التي فيها صور معلقة .

Kamis 04-01-2018
PP. Salafiyah Seblak  Jombang

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ  وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَذُرِّيَتِهِ أَجْمَعِيْنَ

Minggu, 31 Desember 2017

HUKUM MEMBACA BASMALAH SEBELUM SALAM

Bagaimanakah hukumnya membaca basmalah sebelum mengucapkan salam ?
PP. Al Falah
Ploso Mojo Kediri
Rumusan Jawaban :
Tidak sunah bahkan bid’ah bila sampai meyakini bahwa basmalah sunnah diucapkan pada saat akan mengucapkan salam. Apabila akan menimbulkan iham (sangkaan yang keliru) pada orang-orang awam bahwa hal itu disunahkan maka makruh .
Referensi :
1. Al Bajuri juz 1 hal. 11
2. Tuhfatul Murid ‘ala Jauharit Tauhid hal. 3
3. Al Ihya’ Ulumuddin juz 2 hal. 225
4. Al adzkarunnawawi hal 314.
5. Bughyatul Mustarsyidin hal 37.
ﻭﻳﺸﺘﺮﻁ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺫﻟﻚ اﻷﻣﺮ ﺫﻛﺮا ﻣﺤﻀﺎ ﺑﺄﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺫﻛﺮا ﺃﺻﻼ ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﺫﻛﺮا ﻏﻴﺮ ﻣﺤﺾ ﻛﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﺘﺴﻦ اﻟﺘﺴﻤﻴﺔ ﻓﻴﻪ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﺬﻛﺮ اﻟﻤﺤﺾ ﻛﻼ اﻟﻪ ﺇﻻ اﻟﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻪ اﻟﺸﺎﺭﻉ ﻣﺒﺪﺃ ﻏﻴﺮ اﻟﺒﺴﻤﻠﺔ ﻭاﻟﺤﻤﺪﻟﺔ ﻛﺎﻟﺼﻼﺓ ﻓﺈﻧﻪ ﺟﻌﻞ ﻟﻬﺎ ﻣﺒﺪﺉ ﻏﻴﺮ اﻟﺒﺴﻤﻠﺔ ﻭاﻟﺤﻤﺪﻟﺔ ﻭﻫﻮ اﻟﺘﻜﺒﻴﺮ اﻩـ
اﻟﺒﺎﺟﻮﺭﻯ اﻟﺠﺰء اﻻﻭﻝ ﺻ : 11
ﻭاﻟﻤﺮاﺩ ﺑﺎﻷﻣﺮ ﻣﺎ ﻳﻌﻢ اﻟﻘﻮﻝ ﻛﺎﻟﻘﺮاءﺓ ﻭاﻟﻔﻌﻞ ﻛﺎﻟﺘﺄﻟﻴﻒ ﻭﻣﻌﻨﻰ ﺫﻱ ﺑﺎﻝ ﺃﻱ ﺻﺎﺣﺐ ﺣﺎﻝ ﺑﺤﻴﺚ ﻳﻬﺘﻢ ﺑﻪ ﺷﺮﻋﺎ ﺃﻯ ﺑﺄﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﺳﻔﺎﺳﻒ اﻷﻣﻮﺭ ﻭﻟﻴﺲ ﻣﺤﺮﻣﺎ ﻭﻻ ﻣﻜﺮﻭﻫﺎ ﻭﻳﺸﺘﺮﻁ ﺃﻳﻀﺎ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺫﻛﺮا ﻣﺤﻀﺎ ﻭﻻ ﺟﻌﻞ اﻟﺸﺎﺭﻉ ﻟﻪ ﻣﺒﺪﺃ ﻏﻴﺮ اﻟﺒﺴﻤﻠﺔ ﻭاﻟﺤﻤﺪﻟﺔ ﻭﺧﺮﺝ ﻣﺎ ﺟﻌﻞ اﻟﺸﺎﺭﻉ ﻟﻪ ﻣﺒﺪﺃ ﻏﻴﺮ اﻟﺒﺴﻤﻠﺔ ﻭاﻟﺤﻤﺪﻟﺔ ﻛﺎﻟﺼﻼﺓ ﻓﻼ ﻳﺒﺪﺃ ﺑﺎﻟﺒﺴﻤﻠﺔ ﻭﻻ ﺑﺎﻟﺤﻤﺪﻟﺔ ﺑﻞ ﺑﺎﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﻣﺜﻼ اﻩـ
ﺗﺤﻔﺔ اﻟﻤﺮﻳﺪ ﻋﻠﻰ ﺟﻮﻫﺮ اﻟﺘﻮﺣﻴﺪ ﺻ : 3
ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﻳﺒﺪﺃ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﻣﻨﻬﻢ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ ﻗﺒﻞ اﻟﻜﻼﻡ ﻭﻳﺼﺎﻓﺤﻪ ﻋﻨﺪ اﻟﺴﻼﻡ ﻗﺎﻝ اﻟﻨﺒﻰ ﻣﻦ ﺑﺪﺃ ﺑﺎﻟﻜﻼﻡ ﻗﺒﻞ اﻟﺴﻼﻡ ﻓﻼ ﺗﺠﻴﺒﻮﻩ ﺣﺘﻰ ﻳﺒﺪﺃ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ اﻩـ
ﺇﺣﻴﺎء ﻋﻠﻮﻡ اﻟﺪﻳﻦ اﻟﺠﺰء اﻟﺜﺎﻧﻰ ﺻ : 225
ﻓﺼﻞ ﺃﻥ اﻟﺴﻼﻡ ﻳﺒﺪﺃ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ ﻗﺒﻞ ﻛﻞ ﻛﻼﻡ ( ﻭاﻷﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﺼﺤﻴﺤﺔ ) ﻭﻋﻤﻞ ﺳﻠﻒ اﻷﻣﺔ ﻭﺧﻠﻔﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﻓﻖ ﺫﻟﻚ ﻣﺸﻬﻮﺭﺓ ﻓﻬﺬا ﻫﻮ اﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻓﻲ ﺩﻟﻴﻞ اﻟﻔﺼﻞ
اﻷﺫﻛﺎﺭ اﻟﻨﻮﻭﻯ ﺻ : 314
( ﻣﺴﺌﻠﺔ ﺑ ) ﺗﺴﻦ اﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﺪ اﻹﻗﺎﻣﺔ ﻛﺎﻷﺫاﻥ ﻭﻻ ﺗﺘﻌﻴﻦ ﻟﻬﺎ ﺻﻴﻐﺔ ﻭﻗﺪ اﺳﺘﻨﺒﻂ اﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺗﺼﻠﻴﺔ ﺳﺘﺄﺗﻰ ﻓﻲ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻗﺎﻝ ﻫﻰ ﺃﻓﻀﻞ اﻟﻜﻴﻔﻴﺎﺕ ﻋﻠﻰ اﻹﻃﻼﻕ ﻓﻴﻨﺒﻐﻰ اﻹﺗﻴﺎﻥ ﺑﻬﺎ ﺑﻌﺪﻫﻤﺎ ﺛﻢ اﻟﻠﻬﻢ ﺭﺏ ﻫﺬﻩ اﻟﺪﻋﻮﺓ اﻟﺘﺎﻣﺔ ﺇﻟﺦ ﻭﻧﻘﻞ ﻋﻦ اﻟﻨﻮﻭﻯ ﻭاﻋﺘﻤﺪﻩ اﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﺃﻧﻪ ﻳﺴﻦ اﻹﺗﻴﺎﻥ ﺑﻬﺎ ﻗﺒﻞ اﻹﻗﺎﻣﺔ ﻭﻋﻦ اﻟﺒﻜﺮﻯ ﺳﻨﻬﺎ ﻗﺒﻠﻬﻤﺎ ﻭﺃﻣﺎ اﻟﺘﺮﺿﻰ ﻋﻦ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﻠﻢ ﻳﺮﺩ ﺑﺨﺼﻮﺻﻪ ﻫﻨﺎ ﻛﺒﻴﻦ ﺗﺴﻠﻴﻤﺎﺕ اﻟﺘﺮاﻭﻳﺢ ﺑﻞ ﻫﻮ ﺑﺪﻋﺔ ﺇﻥ ﺃﺗﻰ ﺑﻪ ﺑﻘﺼﺪ ﺃﻧﻪ ﺳﻨﺔ ﻓﻲ ﻫﺬا اﻟﻤﺤﻞ ﺑﺨﺼﻮﺻﻪ ﻻ ﺇﻥ ﺃﺗﻰ ﺑﻪ ﺑﻘﺼﺪ ﻛﻮﻧﻪ ﺳﻨﺔ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ اﻟﻌﻤﻮﻡ ﻹﺟﻤﺎﻉ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺳﻦ اﻟﺘﺮﺿﻰ ﻋﻨﻬﻢ ﻭﻟﻌﻞ اﻟﺤﻜﻤﺔ ﻓﻲ اﻟﺘﺮﺿﻰ ﻋﻨﻬﻢ ﻭﻋﻦ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻭاﻟﺼﻠﺤﺎء اﻟﺘﻨﻮﻳﻪ ﺑﻌﻠﻮ ﺷﺄﻧﻬﻢ ﻭاﻟﺘﻨﺒﻴﻪ ﺑﻌﻈﻢ ﻣﻘﺎﻣﻬﻢ ﺇﻩـ
ﺑﻐﻴﺔ اﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺻ : 37

Minggu, 04 September 2016

ARISAN KURBAN DARI PUTUSAN PC LBM NU KAB. TULUNGAGUNG

HASIL KEPUTUSAN BAHTSUL MASA’IL KE-1
LBM-NU KABUPATEN TULUNGAGUNG
DI MWC KOTA TULUNGAGUNG
14 NOPEMBER 2009

1. DISKRIPSI MASALAH
Berbagai cara digunakan untuk bisa melaksanakan ibadah Kurban yang diantaranya melalui arisan kurban dengan praktek masing-masing dari anggota arisan mengadakan iuran wajib misalnya sebesar Rp.50 ribu, lalu uang yang telah terkumpul diberikan kepada anggota yang namanya keluar pada saat undian (mbetok), kemudian dibelikan kambing untuk kurban. Namun lama-lama harga kambing mulai naik, sehingga jika iuran tetap Rp. 50 ribu dana yang terkumpul tidak akan cukup dibelikan kambing. Berangkat dari hal tersebut ada sebagian anggota punya keinginan iuran harus ditambah (semisal menjadi; Rp 75.000) agar dana yang terkumpul cukup digunakan membeli seekor kambing. Namun sebagian yang lain (kususnya anggota yang telah mbetok) tidak menyetujui iuran ditambah. Hingga pada akhirnya hal tersebut menjadi problem yang sampai saat ini belum ada solusinya.
Pertanyaan;
A. Termasuk aqad apakah arisan kurban tersebut ?
B. Bolehkah menambah iuran ditengah-tengah arisan dengan memandang sebagian anggota tidak menyetujuinya?
C. Bagi anggota yang mbetok apakah wajib melakukan kurban ?
(MWC NU KEC. BOYOLANGU)

Jawaban;
a. Termasuk aqad Qordu (hutang piutang).
Uraian jawaban
Arisan qurban dianggap sebagai akad hutang piutang karena melihat adanya sekelompok orang yang bersama-sama membeli kambing kemudian kambing itu dihutangkan kepada salah satu dari mereka. Akad utang piutang sangat dianjurkan oleh syara’ karena hutang piutang adalah salah satu bentuk tolong menolong (QS Al Baqoroh: 245)
b. Tidak boleh apabila maqsud aqad tersebut utang-piutang uang (arisan uang).
Uraian jawaban
Dalam hutang piutang (qordlu) ada 3 rukun yang sangat menentukan status hukumnya, 3 rukun tersebut adalah :
1. shîghot (îjab-qobûl) adalah pondasi terhadap keabsahan semua bentuk transaksi termasuk hutang piutang sehingga disini tidak cukup dengan mu’athoh (saling memberi tanpa kata-kata) artinya dalam hutang piutang ini harus ada kata-kata “Saya hutangi kamu” dari yang memberi hutang dan “saya menerima hutang dari kamu” dari orang yang menerima hutang. Atau dengan kata-kata lain yang mempunyai kandungan arti yang sama.
2. ‘Aqidain (yang menghutangi dan yang menerima hutang)
disyaratkan bagi ‘aqidain adalah :
a) orang yang sempurna akalnya, sehingga anak kecil dan orang gila tidak boleh melakukan boleh melakukan hutang piutang
b) tidak terpaksa, karena dasar semua transaksi dalam islam adalah saling rela
c) sanggup berbuat baik (ahli tabarru’)
3. Ma’qud alaih yaitu objek transaksi hutang piutang ini.
Untuk menjawab masalah arisan qurban ini, kita fokuskan pada rukun ketiga yaitu ma’qud ‘alaih, karena perdebatan tentang boleh tidaknya menambah iuran arisan qurban di tengah-tengah arisan sedang berjalan bermula dari ma’qud alaih ini, sehingga perlu kita perjelas dulu ma’qud alaih-nya, apakah ma’qud alaihnya berupa uang atau kambing yang dijadikan qurban.
• Kalau ma’qud alaih-nya adalah uang maka dalam masalah arisan qurban ini ada pengembalian atau pembayaran lebih dari hutang yang telah ditentukan dalam akad sehingga hutang piutang ini termasuk bentuk riba qordlu yaitu hutang piutang dengan pengembalian lebih yang jelas dilarang syara’ (S. Al Baqoroh; 275, QS Al Baqoroh; 278-280)
• Sedangkan kalau ma’qud alaih-nya adalah kambing maka apakah harus dikembalikan dalam bentuk kambing atau boleh dikembalikan dalam bentuk uang?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus menengok syarat atau ketentuan ma’qud alaih dalam qordlu, perlu diketahui bahwa ma’qud alaih dalam qordlu ada 2 bentuk :
1. Hal yang ada padanannya persis (mitsliyyan) seperti uang, beras, jagung dan lain-lain
2. Hal yang bernilai (mutaqowwam) seperti hewan, tanah dan lain-lain
Dalam masalah arisan qurban ini ma’qud alaih-nya adalah jenis kedua yaitu mutaqowwam, qordlu yang diperbolehkan dalam mutaqowwam adalah pada mutaqowwam yang jelas kriterianya, sehingga dalam arisan qurban ini kambing yang dijadikan objek arisan ini harus jelas kriterianya seperti besar kecilnya atau jenisnya.
Kemudian dalam pengembalian hutang piutang terhadap mutaqowwam menurut pendapat yang rojih (unggul) harus menggunakan hal yang sepadan walau tidak persis yang dalam istilah fiqhnya disebut pengembalian shurotan artinya harus dikembalikan dalam bentuk kambing walau tidak bisa sama persis. Sedang pendapat yang lain boleh dikembalikan dalam bentuk uang. Dalam masalah ini jelas kita telah mengikuti pendapat yang rojih yaitu pengembalian dalam bentuk kambing.

حاشية القليوبى على المحلى الجزء الثانى ص: 258 دار احياء الكتب
فَرْعٌ : الْجُمُعَةُ الْمَشْهُورَةُ بَيْنَ النِّسَاءِ بِأَنْ تَأْخُذَ امْرَأَةٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ جَمَاعَةٍ مِنْهُنَّ قَدْرًا مُعَيَّنًا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ أَوْ شَهْرٍ وَتَدْفَعُهُ لِوَاحِدَةٍ بَعْدَ وَاحِدَةٍ , إلَى آخِرِهِنَّ جَائِزَةٌ كَمَا قَالَهُ الْوَلِيُّ الْعِرَاقِيُّ
(Far’un) Perkumpulan yang masyhur di kalangan wanita dengan cara ada seorang wanita mengambil sejumlah uang yang ditentukan dari semua anggota setiap jum’at sekali atau setiap bulan sekali, kemudian uang yang terkumpul diberikan kepada seseorang dari mereka secara bergiliran sampai semuanya mendapatkan giliran. Perkumpulan ini hukumnya boleh seperti yang dijelaskan Syaikh Wali Al Iroqy
o مغني المحتاج 3 ص :
( وَيُرَدُّ ) فِي الْقَرْضِ ( الْمِثْلُ فِي الْمِثْلِيِّ ) ; لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى حَقِّهِ وَلَوْ فِي نَقْدٍ بَطَلَ التَّعَامُلُ بِهِ (وَ) يُرَدُّ ( فِي الْمُتَقَوِّمِ الْمِثْلُ صُورَةً ) { لِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم اقْتَرَضَ بَكْرًا وَرَدَّ رُبَاعِيًّا وَقَالَ : إنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً } رَوَاهُ مُسْلِمٌ ; وَلِأَنَّهُ لَوْ وَجَبَتْ قِيمَتُهُ لَافْتَقَرَ إلَى الْعِلْمِ بِهَا , وَيَنْبَغِي كَمَا قَالَ ابْنُ النَّقِيبِ : اعْتِبَارُ مَا فِيهِ مِنْ الْمَعَانِي كَحِرْفَةِ الرَّقِيقِ وَفَرَاهَةِ الدَّابَّةِ , فَإِنْ لَمْ يَتَأَتَّ اُعْتُبِرَ مَعَ الصُّورَةِ مُرَاعَاةُ الْقِيمَةِ ( وَقِيلَ الْقِيمَةُ ) كَمَا لَوْ أَتْلَفَ مُتَقَوِّمًا , وَعَلَيْهِ فَالْمُعْتَبَرُ قِيمَتُهُ يَوْمَ الْقَبْضِ إنْ قُلْنَا يُمْلَكُ بِالْقَبْضِ , وَبِالْأَكْثَرِ مِنْ وَقْتِ الْقَبْضِ إلَى التَّصَرُّفِ إنْ قُلْنَا : يُمْلَكُ بِالتَّصَرُّفِ
Dalam Qordlu (hutang piutang) yang dikembalikan adalah padanannya ketika yang dihutang adalah perkara yang ada padanannya (mitsly), karena hal itu adalah yang lebih mendekati untuk menngembalikan hak orang yang memberi hutang, walau berupa uang yang sudah tidak laku digunakan untuk jual beli lagi. Sedangkan kalau yang dihutang berupa barang yang bernilai (mutaqowwam) maka yang digunakan membayar adalah sesuatu yang mempunyai bentuk yang sama, karena Nabi Muhammad SAW pernah hutang seekor onta Bikru (onta yang menginjak umur 6 tahun) dan membayarnya dengan seekor onta Ruba’i (onta yang menginjak umur 7 tahun), beliau bersabda: sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang. Alasan lain adalah bahwa seandainya harus membayar dengan harganya, maka harus diketahui harganya (ketika akad hutang piutang)
Menurut Ibnu Naqib dalam membayar hutang sebaiknya mempertimbangkan nilai-nilai yang ada pada barang yang dihutang seperti keahlian bekerja pada hamba sahaya dan gemuk atau tidak pada hewan ternak. Kalau hal itu sulit dilakukan maka yang dipertimbangkan selain bentuknya juga harganya.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam membayar hutang adalah harganya saja, hal ini seperti jika seseorang merusak perkara yang bernilai. Menurut pendapat ini serta mengacu kepada pendapat yang mengatakan bahwa barang yang dihutang menjadi milik orang yang hutang ketika sudah diserahterimakan, maka yang diperhitungkan dalam membayar hutang adalah harga ketika serah terima hutang.
Dan yang diperhitungkan adalah harga tertinggi sejak diserah-terimakan sampai digunakan ketika kita mengikuti pendapat bahwa hutang berpindah kepemilikannya ketika digunakan
o المحلي 2 ص :
قوله : { اقترض بكرا ورد رباعيا } والبكر ما دخل في السنة السادسة والرباعي ما دخل في السابعة ويقال له الثني . قوله : ( أو في صفة المثل ) علم أنه من جملة الصورة كحرفة العبد .وإذا اختلفا في قدر القيمة أو في صفة المثل فالقول قول المستقرض .
(Nabi SAW pernah hutang Bikru dan membayarnya dengan Ruba’i) Bikru adalah onta yang menginjak umur 6 tahun dan Ruba’i adalah onta yang menginjak umur 7 tahun, Ruba’i sering disebut Tsany. Diketahui bahwa sesungguhnya sifat-sifat sepadan (sifatul mitsly) termasuk katagori bentuk seperti kemampuan bekerja hamba sahaya.
Kalau orang yang hutang dan orang yang memberi hutang berselisih tentang harga atau sifat-sifat sepadan maka yang dibenarkan adalah orang yang hutang
c. Tidak wajib kecuali ada ucapan yang mengarah pada nadzar
Uraian Jawaban
Mengacu pendapat jumhurul ulama’ Pada dasarnya hukum Qurban adalah sunnah muakkad, dan bisa menjadi wajib karena adanya Nadzar.
Berbicara tentang Nadzar, Bentuk nadzar ada 2 yaitu
1) Nadzar shorih (jelas) seperti ucapan “untuk Allah, saya akan berqurban, ini adalah hewan qurbanku, aku jadikan hewan ini sebagai qurban”, dalam nadzar ini tidak membutuhkan niat bahkan kalau niat dengan niat yang tidak sesuai ucapannya, niatnya tidak diperhitungkan.
Karena itu yang sering terjadi pada masyarakat awam yaitu ketika mereka pulang dari pasar dengan menuntun kambing kemudian ditanya rekannya kambing siapa itu? Dia menjawab: “ini hewan kurbanku”, maka secara otomatis dia telah bernadzar berkurban.
Namun pendapat ini ditentang sebagian ulama’ antara lain Sayyid Umar Al Bashry yang mengatakan bahwa ucapan “Ini adalah hewan kurbanku” akan menjadi nadzar kurban kalau seseorang mengatakannya tanpa niat memberi tahu (ihbar), kalau ada niat ihbar maka tidak menjadi nadzar.
2) Nadzar kinayah (tidak jelas) seperti ucapan “kalau saya sembuh dari sakitku maka saya akan menyembelih seekor kambing”, dalam nadzar ini hukumnya sangat bergantung terhadap niat
• حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 1 / ص 97)
كِتَابُ الْأُضْحِيَّةِ قَوْلُهُ : ( لَا تَجِبُ إلَّا بِالْتِزَامٍ ) يُرِيدُ بِهِ أَنَّ نِيَّةَ الشِّرَاءِ لِلْأُضْحِيَّةِ لَا تُوجِبُهَا وَهُوَ كَذَلِكَ عَلَى الْأَصَحِّ ، قَوْلُهُ : ( بِالنَّذْرِ ) أَيْ وَمَا أُلْحِقَ بِهِ كَجَعَلْتُهَا أُضْحِيَّةً أَوْ هَذِه أُضْحِيَّةً
Qurban hukumnya tidak wajib kecuali dengan adanya menerima kewajiban (dengan nadzar), ini mengandung pengertian bahwa niat membeli untuk qurban tidak menjadikan wajibnya qurban. Ini menurut Qoul Ashoh. Qurban menjadi wajib sebab nadzar atau sesuatu yang menyamainya seperti mengatakan : “aku jadikan kambing ini sebagai kurban” atau “kambing ini adalah qurban”
o مغني المختاج 6 ص : 233
وأما الصيغة فيشترط فيها لفظ يشعر بالتزام فلا ينعقد بالنية كسائر العقود وتنعقد بإشارة الأخرس المفهمة , وينبغي كما قال شيخنا انعقاده بكناية الناطق مع النية
Disyaratkan dalam Shighot (ungkapan nadzar), kata-kata yang menunjukkan menerima kewajiban, sehingga tidak sah nadzar hanya dengan niat seperti aqad-aqad yang lain, dan nadzar sah dengan isyarat bagi orang bisu. Dan menurut Syaikhuna nadzar sah dengan bahasa kinayah jika disertai niat
o نهاية المختاج 8 ص: 131
[ فَرْعٌ ] لَوْ قَالَ : إنْ مَلَكْت هَذِهِ الشَّاةَ فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُضَحِّيَ بِهَا لَمْ تَلْزَمْهُ , وَإِنْ مَلَكَهَا لِأَنَّ الْمُعَيَّنَ لَا يَثْبُتُ فِي الذِّمَّةِ بِخِلَافِ إنْ مَلَكْتُ شَاةً فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُضَحِّيَ بِهَا فَتَلْزَمُهُ إذَا مَلَكَ شَاةً لِأَنَّ غَيْرَ الْمُعَيَّنِ يَثْبُتُ فِي الذِّمَّةِ , كَذَا صَرَّحُوا بِهِمَا فَانْظُرْ الرَّوْضَ وَغَيْرَهُ انْتَهَى سم عَلَى مَنْهَجٍ
(Far’un) Kalau ada orang berkata : “Jika aku memiliki kambing ini, maka hanya karena Allah aku akan berkurban dengannya”, maka dia tidak wajib berkurban walau dia benar-benar memiliki kambing tersebut, sebab “sesuatu yang tertentu tidak bisa menjadi tetap dalam tanggungjawabnya”. Berbeda jika ia mengatakan: “Jika aku memiliki seokar kambing maka hanya karena Allah aku akan berkurban dengannya”, maka ia wajib berkurban jika ia benar-benar memiliki seekor kambing, karena “sesuatu yang tidak tertentu itu bisa menjadi tetap dalam tanggungjawabnya”. 2 masalah ini telah dijelaskan oleh ulama’, lihat dalam kitab Roudl dan kitab-kitab lain

ARISAN KURBAN

1. ARISAN KURBAN
Deskripsi
Pada saat sekarang ini banyak masyarakat yang antusias ingin dapat melaksanakan ibadah kurban. Banyak cara yang dilakukan oleh mereka untuk dapat mencapainya. Salah satunya adalah dengan sistem arisan. Adapun sistem arisannya adalah sebagai berikut:
Pada setiap tahun semua anggota menghimpun dana dengan iuran yang telah ditetapkan sebelumnya, lalui dana tersebut dibelikan seekor sapi atau kerbau untuk tujuh orang pada setiap tahunnya secara bergiliran, namun biasanya hewan-hewan kurban tersebut antara yang mendapat giliran pertama dengan yang giliran selanjutnya harga dan besarnya itu berbeda.
Ada yang secara rombongan, tujuh orang dengan mengeluarkan iuran bersama-sama untuk dibelikan seekor sapi atau kerbau untuk dibuat kurban.
Pertanyaan
a. Bolehkah berkurban dengan cara arisan seperti kasus praktek di atas?
b. Bolehkah orang yang berkorban wajib dan keluarga yang masih dalam tanggungannya itu menerima atau memakan hewan kurban tersebut sebelum dipisah ((إفراز?
 (PP. Al-Ittihad Jungpasir)
Jawaban
a. Diperbolehkan.
Referensi
1. حاشية القليوبى على المحلى الجزء الثانى ص: 258 دار احياء الكتب
(فرع) الجمعة المشهورة بين بأن تأخذ امرأة من كل واحدة من جماعة منهن قدرا معينا فى كل جمعة أو شهر وتدفعه لواحدة بعد واحدة الى أخرهن جائزة كما قال الولى العراقى إهـ
2. روضة الطالبين وعمدة المفتين الجزء الأول ص: 497- 498
باب القرض هو مندوب إليه وأركانه أربعة العاقدان والصيغة والشيء المقرض فلا يصح إلا من أهل التبرع وأما الصيغة فالايجاب لا بد منه وهو أن يقول أقرضتك أو أسلفتك أو خذه هذا بمثله أو خذ هذا واصرفه في حوائجك ورد بدله أو ملكتك على أن ترد بدله فلو اقتصر على ملكتكه فهو هبة فان اختلفا في ذكر البدل فالقول قول الآخذ قلت وحكي وجه أن القول قول الدافع وهو متجه وفي التتمة وجه أن الإقتصار على ملكتكه قرض والله أعلم.وأما القبول فشرط على الأصح وبه قطع الجمهور وادعى إمام المحرمين أن عدم الاشتراط أصح قلت وقطع صاحب التتمة بأنه لا يشترط الايجاب ولا القبول بل إذا قال لرجل أقرضني كذا أو أرسل إليه رسولا فبعث إليه المال صح القرض وكذا قال رب المال أقرضتك هذه الدراهم وسلمها إليه ثبت القرض والله أعلم.وأما الشيء المقرض فالمال ضربان. أحدهما يجوز السلم فيه فيجوز إقراضه حيوانا كان أو غيره-الى أن قال-الضرب الثاني ما لا يجوز السلم فيه فجواز إقراضه يبنى على أن الواجب في المتقومات رد المثل أو القيمة إن قلنا بالأول لم يجز وبالثاني جاز-الى أن قال-(فصل) يحرم كل قرض جر منفعة كشرط رد الصحيح عن المكسر أو الرديء وكشرط رده ببلد آخر فان شرط زيادة في القدر حرم إن كان المال ربوياً وكذا إن كان غير ربوي على الصحيح وحكى الامام أنه يصح الشرط الجار للمنفعة في غير الربوي وهو شاذ غلط فإن جرى القرض بشرط من هذه فسد القرض على الصحيح.فلا يجوز التصرف فيه وقيل لا يفسد لأنه عقد مسامحة.ولو أقرضه بلا شرط فرد أجود أو أكثر أو ببلد آخر جاز.ولا فرق بين الربوي وغيره ولا بين الرجل المشهور برد الزيادة أو غيره على الصحيح-الى أن قال-(فصل) فيما يملك به المقرض قولان منتزعان من كلام الشافعي رضي الله عنه أظهرهما بالقبض والثاني بالتصرف فإن قلنا بالقبض فهل للمقرض أن يلزمه رده بعينه ما دام باقياً أم للمستقرض رد بدله مع وجوده وجهان أصحهما عند الأكثرين الأول.
3. الفقه المنهجي الجزء الثالث ص: 96
ما يجب رده بدل القرض: علمنا أن المال المقترض ينبغي أن يكون مثليا أو أن يكون قيميا ينضبط بالوصف وعليه: فيجب رد المثل إذا كان محل القرض مالا مثليا وكان موجودا فإذا انعدم وجب رد قيمته وإن كان محل القرض مالا قيميا وجب رد مثله صورة كما لو اقترض شاة قإنه يرد شاة بدلها بنفس أوصافها لحديث أبي رافع رضي الله عنه الذي مر معنا فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمره أن يقتضي الرجل بكرا بدل بكره. وقيل يجب رد القيمة في القيمي لأن ما يضمن بالمثل إن كان له مثل يضمن بالقيمة إذا لم يكن له مثل وعلى القول بوجوب القيمة فالواجب القيمة يوم القبض على القول بأن العين المستقرضة تملك بالقبض وهو الأصح وعلى القول بأنه يملك بالتصرف فالواجب أكثر القيم من يوم القبض إلى يوم التصرف.
4. حاشيتا قليوبي - وعميرة الجزء الثاني ص: 322
(ويجوز إقراض ما يسلم فيه) من حيوان وغيره (إلا الجارية التي تحل للمقترض) فلا يجوز إقراضها له (في الأظهر) بناء على الأظهر الآتي أن المقرض يملك بالقبض لأنه ربما يطؤها ثم يستردها المقرض فيكون في معنى إعارة الجواري للوطء.والثاني يجوز بناء على أن المقرض لا يملك بالقبض فيمتنع الوطء (وما لا يسلم فيه لا يجوز إقراضه في الأصح) بناء على الأصح الآتي أن الواجب في المتقوم رد مثله صورة والثاني يجوز بناء على أن الواجب فيه رد القيمة وفي قرض الخبز وجهان كالسلم فيه أصحهما في التهذيب المنع واختار ابن الصباغ وغيره الجواز وهو المختار في الشرح الصغير للحاجة وإطباق الناس عليه وعلى الجواز يرد مثله وزنا إن أوجبنا في المتقوم رد المثل وإن أوجبنا القيمة وجبت هنا (ويرد المثل في المثل) وسيأتي في الغصب أنه ما حصره كيل أو وزن وجاز السلم فيه ( وفي المتقوم) يرد ( المثل صورة) وفي حديث مسلم (أنه صلى الله عليه وسلم اقترض بكرا ورد رباعيا وقال إن خياركم أحسنكم قضاء) (وقيل) يرد (القيمة) كما لو أتلف متقوما وتعتبر قيمة يوم القبض إن قلنا يملك المقرض به وإن قلنا يملك بالتصرف فيعتبر قيمة أكثر ما كانت من يوم القبض إلى يوم التصرف .وقيل قيمته يوم القبض وإذا اختلفا في قدر القيمة أو في صفة المثل فالقول قول المستقرض .
5. شرح الوجيز الجزء التاسع ص: 345- 347
(الثالثة) ستعرف في الغصب أن المال ينقسم إلى مثلى والى متقوم فإذا استقرض مثليا رد مثله وإذا استقرض متقوما فوجهان (اقيسهما) واختاره الشيخ ابو حامد أنه يرد القيمة كما لو أتلف متقوما على انسان تلزمه القيمة (وأظهرهما) أنه يرد المثل من حيث الصورة واختاره الاكثرون لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم (استقرض بكرا ورد بازلا) (1) والبكر الفتى من الابل والبازل الذي له ثمانى سنين وروي أنه صلى الله عليه وسلم (استسلف بكرا فأمر برد مثله) (فان قلنا) بالاول فالاعتبار بقيمة يوم القبض ان قلنا يملك القرض في القبض (وان قلنا) يملك بالتصرف فبالاكثر من يوم القبض إلى يوم التصرف وفيه وجه أن الاعتبار بيوم القبض وإذا اختلفا في قدر القيمة أو في صفة المثل فالقول قول المستقرض.
6. حاشية الجمل الجزء الثالث ص: 261
(قوله صورة) قال شيخنا في شرحه ومن لازم اعتبار المثل الصوري اعتبار ما فيه من المعاني التي تزاد القيمة بها كجودة الرقيق ورفاهية الدار كما قاله ابن النقيب فيرد ما يجمع تلك الصفات كلها حتى لا يفوت عليه شيء ويصدق المقترض فيها بيمينه لأنه غارم ا هـ.
7. المجموع الجزء الثالث عشر ص: 174
فال المصنف رحمه الله (فصل) ويجب على المستقرض رد المثل فيما له مثل لان مقتضى القرض رد المثل ولهذا يقال الدنيا قروض ومكافأة فوجب أن يرد المثل وفيما لا مثل له وجهان (أحدهما) يجب عليه القيمة لان ما ضمن بالمثل إذا كان له مثل ضمن بالقيمة إذا لم يكن له مثل كالمتلفات (والثانى) يجب عليه مثله في الخلقة والصورة لحديث أبى رافع أن النبي صلى الله عليه وسلم أمره أن يقضى البكر بالبكر ولان ما ثبت في الذمة بعقد السلم ثبت بعقد القرض قياسا على ما له مثل ويخالف المتلفات فإن المتلف متعد فلم يقبل منه الا القيمة لانها أحصر وهذا عقد أجيز للحاجة فقبل فيه مثل ما قبض كما قبل في السلم مثل ما وصف.
8. روضة الطالبين وعمدة المفتين الجزء الأول ص: ص 499
(فرع) اقترض حيواناً إن قلنا يملك بالقبض فنفقته على المفترض وإلا المقرض إلى أن يتصرف المستقرض ولو اقترض من يعتق عليه عتق إذا قبضه إن قلنا يملك به ولا يعتق إن قلنا بالتصرف قال في التهذيب ويجوز أن يقال يعتق ويحكم بالملك قبيله قلت جزم صاحب التتمة بهذا الاحتمال ولكن المعروف أن لا يعتق والله أعلم.

Sabtu, 23 April 2016

DALIL AMALIYAH MENGQODHO' SHOLAT MAYYIT

“Dalil Amaliyah Meng-qadla’ Salat Mayit”

Tidak ditemukan dalil Al Quran tentang mengqadha’ shalat yang ditinggalkan si mayit. Akan tetapi penegasan hadits tentang qadha’ atas puasa yang berbunyi:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ  فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ «نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى» (رواه البخارى رقم 1953 ومسلم رقم 2750)

“Ada seseorang datang kepada Rasulullah Saw, ia berkata: Wahai Rasulullah, ibu saya meninggal dan punya tanggungan puasa 1 bulan, apakah saya meng-qadla’ atas nama beliau? Rasulullah menjawab: “Ya. Dan hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan” (HR Bukhari 1953 dan Muslim 2750 dari Ibnu Abbas)

Hadis ini kemudian diperluas kandungannya oleh Imam Syafi’i dalam qaul qadim (Madzhab terdahulu ketika di Baghdad) mencakup pada shalat-shalat yang ditinggalkan, karena shalat juga termasuk haqqullah.

(فَائِدَةٌ) مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةٌ فَلاَ قَضَاءَ وَلاَ فِدْيَةَ. وَفِي قَوْلٍ -كَجَمْعٍ مُجْتَهِدِيْنَ- أَنَّهَا تُقْضَى عَنْهُ لِخَبَرِ الْبُخَارِي وَغَيْرِهِ، وَمِنْ ثَمَّ اخْتَارَهُ جَمْعٌ مِنْ أَئِمَّتِنَا، وَفَعَلَ بِهِ السُّبْكِي عَنْ بَعْضِ أَقَارِبِهِ. وَنَقَلَ ابْنُ بُرْهَانٍ عَنِ الْقَدِيْمِ أَنَّهُ يَلْزَمُ الْوَلِيَّ إِنْ خَلَفَ تِرْكَةً أَنْ يُصَلِّىَ عَنْهُ، كَالصَّوْمِ. وَفِي وَجْهٍ - عَلَيْهِ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا - أَنَّهُ يُطْعَمُ عَنْ كُلِّ صَلاَةٍ مُدًّا (إعانة الطالبين - ج 1 / ص 33)

“Disebutkan bahwa: "Ibnu Burhan mengutip dari qaul qadim, sesungguhnya wajib bagi wali/orang tua jika mati meninggalkan tirkah (warisan) agar dilakukan shalat sebagai ganti darinya (mengqadha’ shalat yang ditinggalkan), seperti halnya puasa” (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24).

Pendapat ini diperkuat oleh ulama Syafi'iyah, bahkan Imam as-Subki melakukan qadla' salat yang ditinggalkan mayit dari sebagian kerabatnya. Ini adalah amaliyah yang sudah masyhur di sebagian kalangan masyarakat Indonesia.

Sementara   ulama  Syafi’iyah   yang   lain   berpendapat bahwa "Salat yang ditinggalkan mayit dapat diganti dengan membayar makanan sebanyak 1 mud (6 ons) bagi setiap salatnya". Pendapat ini disampaikan oleh Imam Qaffal. (Itsmid al-'Ainain 59)
Sedangkan dalam madzhab Hanafiyah disebutkan bahwa ahli waris dapat memberi fidyah atas salat yang ditinggalkan mayit, jika si mayit berpesan demikian, dan tidak harus diqadla' (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24)

(Arsip PW ASWAJA NU Center Jatim)

Sabtu, 16 April 2016

BOLEH MEMAKAI HADIS DHOIF UNTUK FADHILATUL 'AMAL

BELOH MEMAKAI HADIS DHOIF UNTUK FADHOILUL 'AMAL

Beliau juga berfatwa : ‎

فتاوى ابن حجر الهيثمى - (ج 1 / ص 4)‏
وقد تقرر أن الحديث الضعيف والمرسل والمنقطع والمعضل والموقوف يعمل بها في فضائل الأعمال إجماعاً ولا شك أن صوم ‏رجب من فضائل الأعمال فيكتفي فيه بالأحاديث الضعيفة ونحوها ولا ينكر ذلك إلا جاهل مغرور

Sesungguhnya telah ditetapkan bahwa hadits Dhaif, Mursal, Munqothi', Mu`dhal serta hadist ‎Mauquf itu bisa diamalkan dalam fadhailul a'maal sesuai dengan kesepakatan para ulama', DAN ‎TIDAK ADA KERAGUAN MENGENAI 'KEUTAMAAN PUASA RAJAB' ADALAH TERMASUK DARI ‎FADHAILUL A`MAAL, maka cukupkanlah dalam mengamalkannya dengan hadits hadits dhaif dan ‎seumpamanya, SERTA TIDAK ADA ORANG YANG INGKAR TERHADAP HAL ITU KECUALI ORANG ‎TERSEBUT BODOH YANG TERTIPU.

=======

Kyai Dodi, apa bnr toh hds dhoif dlm fadhoilul amal boleh diamalkan scr ijma'?

Pendapat Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Tabyiinul ‘Ajab bimaa waroda fii syahri Rojab : ‎

تبيين العجب بما ورد في شهر رجب - (ج 1 / ص 2)‏
لم يرد في فضل شهر رجب، ولا في صيامه، ولا في صيام شيء منه، - معين، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه - حديث صحيح ‏يصلح للحجة، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ، رويناه عنه بإسناد صحيح، وكذلك رويناه عن ‏غيره، ولكن اشتهر أن أهل العلم يتسامحون في إيراد الأحاديث في الفضائل وإن كان فيها ضعف، ما لم تكن موضوعة. وينبغي ‏مع ذلك اشتراط أن يعتقد العامل كون ذلك الحديث ضعيفا، وأن لا يشهر بذلك، لئلا يعمل المرء بحديث ضعيف، فيشرع ما ليس ‏بشرع، أو يراه بعض الجهال فيظن أنه سنة صحيحة.‏
وقد صرح بمعنى ذلك الأستاذ أبو محمد بن عبد السلام وغيره. وليحذر المرء من دخوله تحت قوله صلى الله عليه وسلم: "من ‏حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكذابين". فكيف بمن عمل به.‏
ولا فرق في العمل بالحديث في الأحكام، أو في الفضائل، إذ الكل شرع.‏

Terjemah : Mengenai keutamaan bulan Rojab tidak terdapat hadis shahih yang bisa dijadikan ‎hujjah mengenai puasa Rojab, puasa sesuatu dari bulan Rojab yang tertentu, sholat malam secara ‎khusus di bulan Rojab. Imam Abu Ismail Al Harowiy telah lebih dahulu menetapkan hal ini dimana ‎kami meriwayatkan dari beliau dan lainnya dengan isnad yang shahih. Tetapi AHLI ILMU TELAH ‎MASYHUR UNTUK MEMBERIKAN KELONGGARAN DALAM PERMASALAHAN HADIS2 YANG ‎MENERANGKAN TENTANG FADHOIL (KEUTAMAAN2 AMAL) MESKIPUN BERUPA HADIS DHOIF, ‎SELAGI BUKAN HADIS MAUDHU’..... Dst

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkaar halaman 8 menjelaskan:

قال العلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم : يجوز ويستحب العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن ‏موضوعا ‏‎

Ulama dari ahli hadits ahli fiqh dan yang lainnya berkata: Boleh, bahkan dianjurkan mengamalkan ‎dengan hadits dha'if didalam fadhail, targhib dan tarhib selama tidak maudhu'‎.

فتاوى الرملي – (ج 6 / ص 276)
‏( سُئِلَ ) عَنْ مَعْنَى قَوْلِهِمْ يُعْمَلُ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ هَلْ مَعْنَاهُ إثْبَاتُ الْحُكْمِ بِهِ ، وَإِذَا قُلْتُمْ مَعْنَاهُ ذَلِكَ فَمَا ‏الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِ ابْنِ دَقِيقِ الْعِيدِ فِي كَلَامٍ عَلَى شُرُوطِ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ ، وَأَنْ لَا يَلْزَمَ عَلَيْهِ إثْبَاتُ حُكْمٍ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّهُ قَدْ ‏حَكَى النَّوَوِيُّ فِي عِدَّةٍ مِنْ تَصَانِيفِهِ إجْمَاعَ أَهْلِ الْحَدِيثِ عَلَى الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي الْفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا خَاصَّةً وَقَالَ ابْنُ ‏عَبْدِ الْبَرِّ أَحَادِيثُ الْفَضَائِلِ لَا يَحْتَاجُ فِيهَا إلَى مَنْ يَحْتَجُّ بِهِ وَقَالَ الْحَاكِمُ سَمِعْت أَبَا زَكَرِيَّا الْعَنْبَرِيَّ يَقُولُ الْخَبَرُ إذَا وَرَدَ لَمْ يُحَرِّمْ ‏حَلَالًا وَلَمْ يُحَلِّلْ حَرَامًا وَلَمْ يُوجِبْ ؛ حُكْمًا وَكَانَ فِيهِ تَرْغِيبٌ أَوْ تَرْهِيبٌ أُغْمِضَ عَنْهُ وَتُسُوهِلَ فِي رِوَايَتِهِ ، وَلَفْظُ ابْنِ مَهْدِيٍّ ‏فِيمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيّ فِي الْمَدْخَلِ إذَا رَوَيْنَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَالْأَحْكَامِ شَدَّدْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ‏وَانْتَقَدْنَا فِي الرِّجَالِ ، وَإِذَا رَوَيْنَا فِي الْفَضَائِلِ وَالثَّوَابِ وَالْعِقَابِ سَهَّلْنَا فِي الْأَسَانِيدِ وَتَسَامَحْنَا فِي الرِّجَالِ .
وَلَفْظُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ الْمَيْمُونِيِّ عَنْهُ : الْأَحَادِيثُ الرَّقَائِقُ يُحْتَمَلُ أَنْ يُتَسَاهَلَ فِيهَا حَتَّى يَجِيءَ شَيْءٌ فِيهِ حُكْمٌ وَقَالَ فِي ‏رِوَايَةِ عَيَّاشٍ عَنْ ابْنِ إِسْحَاقَ : رَجُلٌ نَكْتُبُ عَنْهُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ يَعْنِي الْمَغَازِيَ وَنَحْوَهَا ، وَإِذَا جَاءَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ أَرَدْنَا قَوْمًا ‏هَكَذَا وَقَبَضَ أَصَابِعَ يَدَيْهِ الْأَرْبَعَ .
وَقَدْ عُلِمَ أَنَّ كَلَامَ ابْنِ دَقِيقِ الْعِيدِ مُوَافِقٌ لِكَلَامِ الْأَئِمَّةِ وَهُوَ خَارِجٌ بِقَوْلِهِمْ مِنْ فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ وَعُلِمَ أَيْضًا أَنَّ الْمُرَادَ الْأَعْمَالُ ‏وَعُلِمَ أَيْضًا أَنَّ الْمُرَادَ بِفَضَائِلِ الْأَعْمَالِ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ وَفِي مَعْنَاهَا الْقَصَصُ وَنَحْوُهَا .

Dari keterangan yang telah disebutkan diatas kita bisa mengetahui bahwa‏ ‏para Fuqoha’ (ahli ‎fiqh) dan ahli hadis mempermudah dalam bab yang‏ ‏berkenaan dengan fadhoilul a’mal, ‎demikian pula dalam permasalahan‏ ‏targhib dan tarhib degan bab-bab kemudahan dengan ‎bersandar pada hadis‏ ‏yang dhoif dan mengamalkannya. Maka tidak (selayaknya) mengingkari‏ ‏pendapat jumhur ulama tentang kebolehan beramal dengan berlandaskan pada‏ ‏hadis dhoif ‎pada bab-bab ini, meskipun salah seorang diantara mereka‏ ‏menginginkan agar tidak ‎berpegangan pada hadis hadis dhoif pada bab bab‏ ‏ini dan mereka mengira bahwa pendapat ‎mereka dikuti oleh sebagian ulama‏, ‏maka permasalahan ini adalah baginya, akan tetapi tidak ‎‎(layak) baginya‎‏ ‏untuk membawa orang-orang untuk mengikuti pendapatnya dimana dia‏ ‏mengetahui bahwa permasalahan tersebut luas. Kami memohon hidayah‏, ‏taufiq dan jalan ‎kebenaran kepada Allah‏.

Imam Ibnu Kastir.

قال: ويجوز رواية ما عدا الموضوع في باب الترغيب والترهيب، والقصص والمواعظ، ونحو ذلك، إلا في صفات الله عز ‏وجل، وفي باب الحلال والحرام‎. (‎الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار ‏الكتب العلمية، ص. 85‏‎)

‎“(Ibnu Katsir) berkata: ‘Dan boleh meriwayatkan selain hadis maudhu’ (palsu) pada bab targhib ‎‎(stimulus/anjuran) dan tarhib (ancaman), kisah-kisah dan nasehat, dan yang seperti itu, kecuali ‎pada sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla dan pada bab halal & haram”
‎(lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad ‎Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, hal. 85).‎

مع أنهم أجمعوا على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال (شرح سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 98‏‎)

‎“… sementara mereka (para ahli hadis) telah berijma’ (bersepakat) atas bolehnya ‎mengamalkan hadis dha’if (lemah) di dalam fadha’il al-a’mal (keutamaan amalan) “ (lihat Syarh ‎Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 98).‎

باب التشدد في أحاديث الأحكام والتجوز في فضائل الأعمال. قد ورد واحد من السلف انه لا يجوز حمل الأحاديث المتعلقة ‏بالتحليل والتحريم الا عمن كان بريئا من التهمة بعيدا من الظنة واما أحاديث الترغيب والمواعظ ونحو ذلك فإنه يجوز ‏كتبها عن سائر المشايخ (الكفاية في علم الرواية، الخطيب البغدادي، ج. 1، ص. 133‏‎)

‎“Bab bersikap ketat pada hadis-hadis hukum, dan bersikap longgar pada fadha’il al-a’mal. Telah ‎datang satu pendapat dari seorang ulama salaf bahwasanya tidak boleh membawa hadis-hadis ‎yang berkaitan dengan penghalalan dan pengharaman kecuali dari orang (periwayat) yang ‎terbebas dari tuduhan, jauh dari dugaan. Adapun hadis-hadis targhib (stimulus/anjuran) dan ‎mawa’izh (nasehat) dan yang sepertinya, maka boleh menulisnya (meriwayatkannya) dari ‎seluruh masyayikh (para periwayat hadis)” (lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-‎Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, hal. 85).‎


Imam Nawawi Asy-Syafi'i juga menambahkan ‎:

وقد قدمنا اتفاق العلماء على العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال دون الحلال والحرام

‎“Telah kami jelaskan kesepakatan para ulama mengenai bolehnya beramal dengan hadits ‎dha’if dalam Fadha’il A’mal (keutamaan amal), bukan masalah halal dan haram.” (Al-‎Majmu’ (3/226)‎

Senin, 04 April 2016

PENJELASAN LENGKAP TENTANG MEMAKAI JILBAB SEPERTI PUNUK ONTA

NUonline
Kalimat “kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring” acapkali dipahami untuk menyamakan wanita-wanita yang memakai jilbab tetapi kelihatan menonjol di belakang jilbab. Pertanyaannya apakah benar penyamaan itu benar? Untuk menjawabnya maka kami akan menjelaskan apa sebenarnya arti dari kata asnimah al-bukht­.

Kata asnimah adalah bentuk plural atau jamak dari kata sanam. Dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur dikatakan sanam al-ba’ir wa an-naqah artinya adalah punggung unta yang paling tinggi atau menonjol. Atau kita terjemahkan dengan punuk unta.

سَنَامُ الْبَعِيرِ وَالنَّاقَةِ أَعْلَى ظَهْرِهَا وَالْجَمْعُ أَسْنِمَةٌ

“Sanam al-ba’ir wa an-naqah (punuk unta) adalah punggung unta yang paling tinggi, dan bentuk plural atau jamak dari kata sanam adalah asnimah. (Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, Bairut-Dar ash-Shadir, cet ke-1, tt, juz, 12, h. 306)

Sedang kata al-bukht maknanya adalah salah satu jenis unta yang besar punuknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam kitab tafsir-nya yaitu al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an.

وَالْبُخْتُ ضَرْبٌ مِنَ الْإِبِلِ عِظَامُ الْأَجْسَامِ، عِظَامُ الْأَسْنِمَةِ

“Al-bukht adalah salah satu jenis unta yang besar badannya yaitu besar punuknya”. (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Riyadl-Daru ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M, juz, 12, h. 311)

Berangkat dari penjelasan ini maka sabda Rasulullah saw: “Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring” diartikan dengan “kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang besar punuknya dan miring”.

Lantas bagaimana maksud bentuk kepala yang seperti punuk unta yang punuknya besar dan miring? Sebagaimana pertanyaan di atas. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Menurut an-Nawawi, tafsir atau penjelasan yang masyhur adalah mereka para wanita-wanita itu membesarkan kepalanya dengan kerudung (khimar), sorban (‘imamah) dan selainnya yaitu dari sesuatu yang digulung di atas kepala sehingga menyerupai punuk-punuk unta.

Sedang menurut al-Marizi, mereka wanita-wanita itu suka memandang laki-laki, tidak menjaga pandangan dan tidak menundukkan kepala-kepala mereka.

Selanjutnya menurut al-Qadli ‘Iyadl adalah mereka memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu mengumpulkan di tengah kepala, maka menjadi seperti punuk unta. Hal ini sebagaimana dikemukan an-Nawawi dalam Syarh Muslim.

وَأَمَّا رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ فَمَعْنَاهُ يُعَظِّمْنَ رُؤُوسَهُنَّ بِالْخُمُرِ وَالْعَمَائِمِ وَغَيْرِهَا مِمَّا يُلَفُّ عَلَى الرَّأْسِ حَتَّى تُشْبِهَ أَسْنِمَةَ الْإِبِلِ الْبُخْتِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ فِي تَفْسِيرِهِ قَالَ الْمَازِرِيُّ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَاهُ يَطْمَحْنَ إِلَى الرِّجَالِ وَلَا يَغْضُضْنَ عَنْهُمْ وَلَا يُنَكِّسْنَ رُؤُوسَهُنَّ وَاخْتَارَ الْقَاضِي أَنَّ الْمَائِلَاتِ تُمَشِّطْنَ الْمِشْطَةَ الْمَيْلَاءِ قَالَ وَهِيَ ضَفْرُ الْغَدَائِرِ وَشَدُّهَا إِلَى فَوْقُ وَجَمْعُهَا فِي وَسَطِ الرَّأْسِ فَتَصِيرُ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ قَالَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِالتَّشْبِيهِ بِأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ إِنَّمَا هُوَ لِارْتِفَاعِ الْغَدَائِرِ فَوْقَ رُؤُوسِهِنَّ وَجَمْعِ عَقَائِصِهَا هُنَاكَ وَتَكَثُّرِهَا بِمَا يُضَفِّرْنَهُ حَتَّى تَمِيلَ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنْ جَوَانِبِ الرَّأْسِ كَمَا يَمِيلُ السَّنَامُ

 “Adapun “kepala-kepala mereka seperti punuk untu” maka pengertiannya adalah mereka membesarkan kepala-kepala dengan khimar (kerudung) tutup kepala wanita (al-khumur) dan kain sorban (al-‘ama`im) atau yang lainnya dari sesuatu yang digelung (dikonde) di atas kepala sehingga menyerupai punuk unta. Ini adalah tafsir yang masyhur. Menurut al-Maziri kalimat tersebut boleh diartikan dengan mereka memandang laki-laki tidak menahan pandangan atau memejamkan matanya dari melihat laki-laki dan tidak menundukkan kepalanya. Menurut al-Qadli ‘Iyadl bawha “wanita-wanita yang cenderaung (al-mailat)” maksudnya adalah mereka menyisir rambut mereka dengan model sisiran rambut para pelacur. Yaitu memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu mengumpulkan di tengah kepala, maka menjadi seperti punuk unta. Menurut al-Qadli ‘Iyadl, hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan menyerupai punuk unta itu karena tingginya jalinan rambut di atas kepala, terkumpulnya jalinan rambut di situ, dan menjadi kelihatan banyak (lebat) dengan sesuatu yang mereka pilin sehingga miring ke salah satu sisi dari beberapa sisi kepala sebagaimana miringnya punuk”. (Muhyiddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim, Bairut-Daru Ihya` at-Turats al-‘Arabiy, cet ke-2, 1392 H, juz, 17, h. 191)      

Kalau kita cermati pendapat an-Nawawi yang mengacu kepada pendapat mayoritas ulama dan pendapat Qadli ‘Iyadl maka kita akan menemukan titik kesamaan. Yaitu sama-sama membuat rambut kepala terlihat banyak atau lebat dari yang semestinya dan menaikkannya di atas kepala, bukan di belakang kepala, sehingga menyerupai punuk unta.

Yang membedakan keduanya hanya pada soal teknisnya saja. Kalau yang pertama menambahkan pada rambutnya dengan semisal sorban, kerudung atau yang lainnya yang digelungkan di atas kepala. Sedang yang kedua, dengan rambutnya sendiri, dengan cara  memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu mengumpulkan di tengah kepala, sehingga menjadi menonjol seperti punuk unta dan miring ke salah satu sisi kepalanya.

Dengan demikian jika penjelasan di atas ditarik dalam konteks pertanyaan Sdri. Nanin mengenai rambut yang panjang kemudian diikat dan terlihat menonjol di bagian belakang jilbab tetapi tidak menonjol di atas kepala, maka tidak masuk seperti punuk unta. Begitu juga dengan pemakaian daleman cemol. Sebab, tidak menjulang di atas kepala. Namun hal ini sepanjang tidak sampai menampakkan perhiasan kewanitaannya (izhhar az-zinah) dan menimbulkan fitnah.

Demikian penjelasan singkat ini, semoga bisa menambah wawasan kita semua. Dan saran kami jangan menggunakan pakaian termasuk juga jilbab yang terlalu mencolok yang dimaksudka untuk menarik perhatian dan pandangan lawan jenis. (Mahbub Ma’afi Ramdlan).

😍😍😍😍😍😍😍😍😍
Diteruskan dengan hasil kajian KISWAH ASWAJA NU CENTER


JILBAB “PUNUK ONTA” AHLI NERAKA?

Trend busana terus berkembang, termasuk pula jilbab “punuk onta” sebagai fashion muslimah yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan. Bila tidak cermat, orang akan terjebak memvonis pemakainya sebagai ahli neraka yang tidak akan masuk surga sama sekali. Pemahaman itu bermula dari hadits:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا. ― رواه مسلم

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, beliau berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Dua golongan termasuk ahli neraka yang belum pernah Aku lihat, yaitu (1) kaum yang punya cambuk seperti ekor sapi yang digunakannya untuk memukul orang-orang; dan (2) perempuan-perempuan yang memakai baju tapi telanjang (berbaju transparan/menutupi sebagian tubuh dan membuka selainnya), yang berjalan lenggak-lenggok penuh kesombongan dan mengoyangkan pundaknya, dan yang membesarkan jilbab/kerudung di kepalanya sehingga seperti punuk onta bukhti (yang jenjang lehernya) yang miring (ke kanan atau ke kiri). Perempuan-perempuan itu tidak akan masuk ke surga dan tidak akan mencium aromanya, padahal sungguh aromanya tercium dari jarak sekian dan sekian (500 tahun perjalanan).” (HR. Muslim)

Apakah kalimat لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ (mereka tidak akan masuk surga) dapat dipahami secara mutlak sehingga siapa saja yang memakai jilbab “punuk onta” tidak masuk surga sama sekali?

Terkait hal ini ulama menjelaskan, maksud kalimat لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ (mereka tidak masuk surga) adalah (1) tidak masuk surga bersama golongan pertama (al-faizin as-sabiqin) atau (2) memang tidak masuk surga sama sekali bila pelakunya menganggap halal perbuatannya tersebut, seperti penjelasan Syaikh Aburra’uf al-Munawi (Faidh al-Qadir, IV/275-276):

لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ ― مَعَ الْفَائِزِينَ السَّابِقِينَ أَوْ مُطْلَقًا إِنِ اسْتَحْلَلْنَ ذَلِكَ.

Sabda Rasulullah saw: “Mereka tidak masuk akan surga”, maksudnya bersama golongan yang beruntung yang pertama masuk surga atau tidak masuk surga secara mutlak bila mereka menganggap halal perbuatannya.”

Atau seperti dalam ungkapan al-Qadhi ‘Iyadh (Mirqah al-Mafatih, XI/95):

مَعْنَاهُ أَنَّهُنَّ لَا يَدْخُلْنَهَا وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا حِينَ مَا يَدْخُلُهَا وَيَجِدُ رِيحَهَا الْعَفَائِفُ الْمُتَوَرِّعَاتِ، لَا أَنَّهُنَّ لَا يَدْخُلْنَ أَبَدًا.

Artinya mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aromanya saat memasukinya, sementara perempuan-perempuan yang terjaga dan penuh wira’i menciumnya; tidak berarti mereka tidak akan masuk surga selama-lamanya.

Kenapa demikian? Karena bila hadits tersebut hanya dipahami secara literal/lahiriah, maka akan bertentangan dengan hadits lain yang menegaskan, semua orang yang mati dalam kondisi tidak menyekutukan Allah pada selain-Nya akan masuk surga, meskipun dalam hidupnya melakukan maksiat (Mirqah al-Mafatih, XI/95), sebagaimana diriwayatkan:

عَنِ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا ذَرٍّ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَبَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِكَ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ. ― متفق عليه

Diriwayatkan dari al-Ma’mur bin Suwaid, ia berkata: “Saya mendengar dari Abu Dzar ra meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda: “Malaikat Jibril as mendatangiku, lalu menyampaikan kabar gembira: “Sungguh siapa saja dari umatmu yang mati dalam kondisi tidak menyekutukan Allah terhadap apapun maka Ia masuk surga.” Aku (Abu Dzar ra) bertanya: “Meskipun ia zina dan mencuri?” Nabi saw menjawab: “Meskipun ia zina dan mencuri!” (Muttafaq ‘Alaih)

Kesimpulannya, perempuan yang berjilbab “punuk onta” tidak bisa dianggap sebagai ahli neraka secara mutlak, namun tergantung apakah ia menganggapnya halal atau tidak. Bila menganggapnya halal maka ia termasuk ahli neraka; dan bila tidak maka ia tetap berkesempatan masuk surga meskipun tidak besertaan golongan pertama.

Hal ini sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang tidak mengafirkan pelaku dosa (selain dosa-dosa yang menyebabkan kekafiran) seperti yang dinyatakan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam as-Syafi’i, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat yang paling shahih darinya. Berbeda dengan sekte Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa meskipun dosa kecil, dan sekte Muktazilah yang mengeluarkan pelaku dosa besar dari keimanannya. Wallahu a’lam.

Referensi:

1. Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Jil dan Dar al-Auqaf al-Jadidah, tth.), juz I, h. 66 dan juz VI, h. 178.
2. Abdurra’uf al-Munawi, Faidh al-Qadir, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H/1994 M), juz IV, h. 275-276.
3. Al-Mula ‘Ali al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, juz XI, h. 95.
4. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih, (al-Yamamah-Bairut: Dar Ibn Katsir, 1407 H/1987 M), juz I, h. 697.
5. Burhanuddin al-Laqqani, Hidayah al-Murid li Jauharah at-Tauhid, (Kairo: Dar al-Bashair, 1430 H/2009 M), juz II, h. 1150.



Sumber:
Grup Whatsapp, Kajian Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Divisi KISWAH Aswaja NU Center Jatim

----------
Lengkapnya Baca di link:

http://aswajamuda.com/jilbab-punuk-onta-ahli-neraka/

-------