Minggu, 31 Januari 2016

KRITIK TRRHADAP TEOR RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH IBNU TAIMIYAH

Kritik Terhadap Teori Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah ala Ibnu Taymiyyah (Melacak akar pemikiran Wahabi)

Selama ini sering sekali kita mendengar perdebatan menyoal masalah tawassul dengan Nabi dan para wali Allah, soal mencari berkah melalui pembacaan shalawat, mencari berkah melalui ibadah di tempat-tempat tertentu yang diyakini sebagai petilasan para Nabi dan wali Allah, berkirim bacaan Al-Qur’an kepada saudara yang meninggal, hingga masalah rutinitas pembacaan tahlil yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat muslim. Perdebatan ini tentu tidak akan menyeruak dengan mudahnya kecuali ada akar yang menumbuhkannya dan ada penggagas yang memulainya. Kalau kita tengok ke dalam kebiasaan para sufi hal-hal yang tersebut di atas sebenarnya sudah muncul sejak abad kedua dan ketiga hijriyah. Dan permasalahan itu tidak pernah diperdebatkan oleh para ulama Salafush Shalih. Namun hal itu berubah seiring munculnya tokoh muslim bernama Abu Al-Abbas Taqiyiuddin Ahmad bin Abdussalam bin Abdullah bin Taymiyyah al-Harani atau yang biasa dikenal dengan Ibnu Taymiyyah. Ibnu Taymiyyah lahir di Harran, Turki, 1263 M/661 H dan meninggal di Damaskus, Suriah 1328 M/728 H. Ia memunculkan satu kaidah baru di dalam ranah ilmu tauhid dan akidah dengan teorinya yang membagi tauhid ke dalam 3 bagian, yaitu tauhid rububiyyah (meyakini bahwa Allah adalah pencipta alam semesta), tauhid uluhiyyah (meyakini bahwa hanya Allah yang berhak disembah), tauhid asma wa sifat (meyakini berbagai nama-nama dan sifat-sifat Allah). Teori ini biasa dikenal dengan teori “Ushul Al-Tsalatsah” (Pokok Yang Tiga). Teori yang baru dikenal keberadaannya pada abad ke-7 hijriyah ini atau 700 tahun sejak masa Rasulullah SAW akhirnya mendapat pengikut seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Al-Dzahabi, dan di abad ke-18 ada Muhammad bin Abdul Wahab yang menjadi pengikut setia teori ini dan bahkan menyebarkannya ke banyak negeri di dunia Islam.

Namun apakah teori ini benar sesuai ajaran Rasulullah SAW? Apakah teori tauhid yang dibagi tiga ini memang teori yang dianut para sahabat dan ulama Salafush Shalih? Sementara kemunculannya kita ketahui bersama baru 700 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW. Apakah mungkin Rasulullah SAW melupakan perkara mendasar dan besar seperti ini dari ajarannya? Apakah mungkin para sahabat tidak amanah sehingga ajaran ini tidak diketahui hingga 700 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW? Apakah umat Islam selama 700 tahun telah salah dalam bertauhid karena tidak memakai teori ini? Mari kita ulas di dalam pembahasan berikut.

Tulisan ini saya tulis berdasarkan pada karya Dr. Abdullah Umar Kamil yang berjudul “Bayanul Khatha’ fi Taqsim al-Tsalatsi li al-Tauhid” (Penjelasan Kekeliruan Pembagian Tauhid menjadi Tiga).

Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya memunculkan dan mengembangkan teori ini berdasar pada penafsiran secara sepotong dari Surat Luqman ayat 25, Al-Mu’minun 86-87, dan surat Yusuf ayat 106. Berikut cuplikan ayat-ayat tersebut:

و لئن سألتهم من خلق السماوات و الأرض ليقولنّ الله

“Jika kamu (Muhammad) menanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik) “Siapa yang menciptakan langit dan bumi?” pastilah mereka akan menjawab “Allah”.” (QS: Luqman: 25)

قل من رب السماوات السبع و رب العرش العظيم () سيقولون لله

“Katakan lah “Siapa Tuhan langit yang tujuh dan Tuhan Arsy yang agung?” Mereka akan menjawab “(Itu semua) milik Allah”.” (QS: Al-Mu’minun: 86-87)

و ما يؤمن أكثرهم بالله إلّا و هم مشركون

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam Keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS: Yusuf: 106)

Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya menjadikan ketiga ayat ini sebagai landasan pemikiran mereka dalam menyerang kelompok di luar kelompok mereka, utamanya adalah pengikut madzhab Abu Hassan Al-‘Asy’ari secara khusus dan Ahlussunnah Wal Jama’ah secara umum. Ayat ini oleh Ibnu Taymiyyah ditafsirkan sebagai isyarat tentang tauhid rububiyyah yang mana juga diyakini oleh orang-orang musyrik. Dengan kata lain orang musyrik juga bertauhid tapi tauhid rububiyyah. Sangat rancu sekali bukan? Kita semua pasti sudah paham bahwa tauhid itu adalah suatu sifat yang berlawanan dengan syirik. Bagaimana mungkin seorang musyrik itu bertauhid? Dan sama-sama kita pahami bahwa seorang musyrik adalah mereka yang menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya baik dalam hal penciptaan atau pun penyembahan. Orang yang memahami bahwa Allah SWT itu adalah Pencipta alam dan Pengatur segala isinya pasti lah dia tidak akan menyembah sesembahan selain Allah. Sedangkan orang musyrik meski pun mereka mengatakan bahwa Allah SWT adalah pencipta seluruh alam semesta tapi mereka masih yakin bahwa ada zat lain yang bisa menciptakan madharat dan manfaat. Ada zat lain yang mengatur berbagai urusan di alam semesta ini. Ini artinya—kalau pun tauhid rububiyah itu adalah hal yang berbeda dengan tauhid uluhiyah—orang musyrik pun belum bertauhid rububiyyah. Oleh sebab itu lah ayat-ayat yang disebutkan di atas turun untuk membantah mereka.

Jika kita melihat kepada beberapa kitab tafsir induk, semisal Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Kabir Imam Al-Razi, dan kitab tafsir kontemporer semisal Tafsir Al-Maraghi, tidak satu pun dari kitab-kitab tersebut dan tidak satu pun dari para mufassir yang yang mengatakan bahwa ayat-ayat itu ditujukan kepada orang-orang mukmin. Namun sebaliknya bahwa ayat-ayat itu turun untuk mereka orang-orang yang sudah jelas musyrik dengan menyembah berhala, patung-patung, dan benda-benda alam seperti pohon, batu, gunung, dan laut. Para mufassir di dalam banyak kitab tafsir babon juga tidak ada yang menyebutkan bahwa ayat-ayat ini muncul sebagai penjelasan adanya tauhid dibagi tiga. Juga tidak ada satu pun hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa tauhid rububiyyah itu berbeda dengan tauhid uluhiyyah. Tidak ada pula nash yang shahih yang menjelaskan bahwa orang yang bertauhid rububiyyah itu belum dianggap sebagai muslim dan mukmin. Penafsiran ketiga ayat tersebut sebagai dasar hukum pembagian tauhid menjadi tiga, dan tauhid rububiyyah itu belum cukup untuk menjadikan seseorang disebut mukmin hanya muncul setelah 700 tahun setelah Rasulullah SAW wafat yaitu setelah Ibnu Taymiyyah mencetuskan teori Ushul Ats-Tsalatsah.

Lebih dalam lagi Ibnu Taymiyyah menjelaskan masalah ini di dalam kitabnya “Manhaj Al-Sunnah” mengomentari tauhid yang dipegang oleh pengikut Asy’ariyyah dan para ulama kalam, “Mereka telah keluar dari tauhid yang sebenarnya, yaitu tauhid uluhiyyah, dan penetapan tauhid asma wa sifat, dan mereka tidak mengenal tauhid kecuali hanya tauhid rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu dan menjadi rabb-nya (pengelolanya).”

Di karyanya yang lain yang berjudul “Risalah Ahlu al-Sifat” Ibnu Taymiyyah mengatakan bahwa, “Tauhid rububiyyah saja tidak lah menafikan kekafiran dan tidak mencukupi (untuk menjadikan seseorang itu mukmin).”

Di masa yang lain, pengikut dan penyebar ajaran Ibnu Taymiyyah, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab juga menuliskan di dalam banyak karyanya semisal apa yang dituangkan di dalam bukunya “Kasyfusy Syubuhat”. “Dan Nabi terakhir Muhammad SAW telah menghancurkan berbagai gambar-gambar orang-orang Shalih. Allah mengutusnya kepada kaum yang beribadah, berhaji, bersedekah, dan sering berzikir kepada Allah. Akan tetapi mereka menjadikan beberapa dari makhluk sebagai perantara antara mereka dan Allah. Lalu mereka berkata: ‘yang kami kehendaki dari mereka adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan kami mengharapkan syafa’at mereka di sisi Allah, seperti malaikat, Nabi Isa, Maryam, dan orang-orang sholeh selain mereka.” (Kasyfusy Syubuhat hal 3-4)

Muhammad bin Abdul Wahab juga berkata yang senada di dalam “Kasyfusy Syubuhat”, “Mereka orang-orang musyrik mengakui dan mempersaksikan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan bahwasannya tidak ada yang bisa memberi rejeki kecuali Dia. Dan bahwasannya tidak ada yang bisa menghidupkan dan mematikan kecuali Dia. Dan bahwa tidak ada yang mengatur segala urusan kecuali Dia. Dan seluruh apa yang ada di langit yang tujuh beserta isinya, dan bumi yang tujuh beserta isinya adalah hamba-Nya dan berada di bawah aturan dan kekuasaan-Nya.” Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan banyak dalil tentang klaimnya tersebut lalu meneruskan dengan mengataka, “Kalau anda mencari hakikat mengapa Rasulullah SAW memerangi mereka (orang-orang musyrik) itu karena seluruh doa hanya ditujukan kepada Allah, seluruh sembelihan hanya ditujukan kepada Allah, seluruh permohonan hanya ditujukan kepada Allah, dan seluruh ibadah itu ditujukan kepada Allah. Dan anda tahu bahwa pengakuan mereka terhadap tauhid rububiyah (bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur alam semesta) TIDAK LAH MEMBUAT MEREKA MASUK KE DALAM ISLAM, karena maksud mereka itu adalah malaikat, pada nabi, atau para wali, dalam rangka menginginkan syafa'at mereka (malaikat, nabi, dan wali) dan mendekatkan diri kepada Allah. Dan itu lah YANG MENGHALALKAN DARAH DAN HARTA MEREKA (red: boleh membunuh dan merampas harta mereka). Dan ketika itu orang-orang tahu tentang tauhid yang diserukan para Rasul dan orang-orang musyrik enggan mengakuinya." (Muhammad bin Abdul Wahab, "Kasyfu Asy-Syubuhat", Darul Iman, Alexandria, tanpa tahun, hal 16)

Dr. Abdullah Umar Kamil sendiri membantah dua pernyataan ulama garis keras ini di dalam bukunya “Bayanul Khata’ fit Taqsim Al-Tsalatsi lit Tauhid” dengan pernyataannya, “Apakah Rasulullah SAW telah berusaha mendiamkan permasalahan besar seperti ini? Demikian pula para ulama besar umat Islam? Sehingga baru muncul (teori ini) pada abad ke-7 Hijriyyah? Apakah umat Islam pada 7 abad itu bukan lah bagian dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Apakah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pengikut pembagian tauhid ini?”

Lebih lanjut Dr. Abdullah Umar Kamil menjelaskan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga ini tidak lah masuk akal karena baginya sesembahan yang haqq adalah rabb yang haqq. Sedangkan sesembahan yang batil adalah robb yang batil. Dan tidak lah layak untuk diibadahi dan disembah kecuali Dia adalah robb yang haqq. Dan tidaklah berarti bahwa kita boleh menyembah kepada zat yang tidak kita yakini sebagai Zat Pemberi manfaat dan madharat. Dan ini sudah menjadi kaidah umum.

Allah SWT sebagai “Rabb” (Pencipta dan Pengatur alam semesta) dan Allah SWT sebagai sesembahan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Karena Allah SWT adalah Pencipta alam semesta maka Dia menjadi satu-satunya zat yang berhak disembah. Dan karena Allah SWT adalah satu-satu sesembahan maka pastilah Dia Yang Menciptakan alam semesta.

Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah Nabawiyyah banyak sekali menerangkan bahwa Allah SWT yang merupakan Pencipta juga merupakan satu-satunya Zat yang berhak di sembah. Di antaranya disebutkan di dalam Al-Qur’an An-Naml ayat 25:

ألا يسجدوا لله الذي يخرج الخبء في السماوات و الأرض

“Agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.”

Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa tidak ada yang pantas diberi sujud kecuali Dia yang kekuasaannya sempurna di langit dan di bumi.

Di ayat yang lain di surat Ali Imran ayat 80 Allah SWT berfirman:

ولا يأمركم أن تتخذوا الملائكة و النبيين أربابا

“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan.”

Di dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa mereka orang-orang musyrik juga meyakini adanya banyak “Rabb” (pencipta dan pengatur). Terbukti mereka meyakini bahwa malaikat dan para Nabi juga ikut berperan dalam menciptakan berbagai hal di alam semesta ini. Padahal Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya mengatakan bahwa mereka orang-orang musyrik itu mengesakan Allah sebagai pencipta alam semesta dengan tauhid rububiyyah, dan mereka mengakui bahwa tidak ada pencipta (Rabb) selain Allah. Akan tetapi mereka menyekutukan Allah di dalam tauhid uluhiyyah.

Dapat dilihat pula di dalam surat Al-Syu’araa ayat 97-98 yang menceritakan keadaan orang-orang kafir pada hari kiamat:

تالله إن كنّا لفي ضلال مبين () إذ نسويكم برب العالمبن

 "Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, Karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam".

Pada ayat ini diceritakan bahwa orang-orang kafir dan musyrik menyamakan berhala-berhala mereka dengan Robb semesta Allah SWT. Ini artinya orang musyrik juga meyakini ada “robb” lain yang juga menciptakan beberapa hal di alam semesta.

Di ayat yang lain diceritakan kepada kita tentang perjanjian kita dengan Allah SWT sewaktu kita masih ada di alam ruh sebelum dilahirkan ke dunia sebagaimana disebut di dalam surat Al-A’raaf ayat 172:

وإذ أخذ ربك من بني ءادم من ظهورهم ذريتهم و أشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنّا كنّا عن هذا غافلين

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

Dari ayat ini orang-orang yang berakal sehat dan tidak dipenuhi dengan kebencian atau kemarahan pasti lah bisa memahami bahwa kalau lah tauhid rububiyyah—yang menurut Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya disebut sebagai tauhidnya orang-orang musyrik—saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang itu mukmin dan selamat di hari akhir, maka perjanjian yang diambil Allah dari anak manusia tidak lah sah, dan pasti perkataan para orang musyrik di akhirat; "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." juga tidak lah sah. Dan perjanjian yang dilakukan Allah di dalam ayat ini juga menggunakan lafaz “Robb” yang artinya pencipta dan pengatur, namun perjanjian ini sudah termasuk di dalamnya pengakuan tauhid uluhiyyah yang mana dengan mengakui Allah sebagai Robb artinya sudah bersedia untuk tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya.

Ada pun di dalam Sunnah Nabawiyyah disebutkan dengan sanad yang shahih oleh Imam Muslim bahwa di dalam kubur mayit akan ditanyai oleh dua orang malaikat dengan pertanyaan “Man robbuka?” dan bukan dengan pertanyaan “Man ilahuka?” Kenapa kedua malaikat itu tidak mengatakan “Man ilahuka?”? Ini tidak lain karena kedua malaikat itu tidak membedakan kalimat “Robb” dan kalimat “Ilah”. Dengan kata lain Robb pasti lah Ilah yang berhak disembah.

Dr. Abdullah Umar Kamil menganalisa lebih jauh mengapa Ibnu Taymiyyah sampai melakukan kekeliruan dalam membagi tauhid menjadi 3 ini. Banyak faktor yang menjadikan “bid’ah” ini terjadi. Setidaknya ada dua faktor yang mendorong Ibnu Taymiyyah memunculkan teori ini.

Yang pertama adalah pandangan Ibnu Taymiyyah yang sempit yang memandang bahwa di masa Rasulullah SAW orang musyrik itu hanya satu jenis yaitu mereka orang-orang musyrik yang menyembah berhala saja.

Yang kedua adalah pandangan Ibnu Taymiyyah yang memahami bahwa “Rububiyyah” itu hanya mencakup penciptaan saja. Padahal jumhur ulama sepakat bahwa Rububiyyah itu mengandung banyak makna misalnya keyakinan bahwa Allah SWT itu adalah Pencipta alam semesta, keyakinan bahwa Allah SWT adalah pengatur segala urusan di alam semesta ini, keyakinan bahwa Allah yang akan membangkitkan seluruh makhluk di hari kiamat, juga keyakinan bahwa Allah adalah yang menciptakan manfaat dan madharat, dan juga keyakinan bahwa Allah adalah yang mengabulkan segala permohonan dan permintaan hamba-hambanya. Yang artinya jika semua hal tadi tidak terpenuhi maka keyakinan bahwa Allah itu adalah Robb itu tidak sempurna.

Perlu diketahui juga bahwa di masa Rasulullah ada banyak kelompok orang-orang kafir dan musyrik yang mereka berbeda satu sama lain dalam hal kemusyrikan. Semisal orang-orang Dahriyun (orang-orang yang menolak hari kebangkitan), orang-orang atheis yang tidak mempercayai adanya Tuhan, orang-orang majusi yang meyakini adanya dualism Tuhan, orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dengan berhala-berhala mereka dalam hal pengaturan alam semesta, dan orang-orang ahli kitab yang menyembah banyak tuhan.

Dan bagaimana bisa seorang Ibnu Taymiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahab hanya memaknai “rububiyyah” hanya terbatas pada pengakuan bahwa Allah lah yang Menciptakan alam semesta??

Setali tiga uang dengan pendahulunya Ibnu Taymiyyah, Muhammad bin Abdul Wahab juga keliru dalam memahami tata cara ibadah orang-orang Arab pada masa sebelum Rasulullah SAW. Muhammad bin Abdul Wahab menganggap bahwa mereka orang-orang musyrik beribadah, berhaji, bersedekah, dan berzikir kepada Allah sebagaimana halnya umat Islam beribadah, berhaji, bersedekah, dan berzikir. Padahal banyak sekali catatan sejarah yang mengungkapkan bahwa tata cara haji dan ritual ibadah orang-orang musyrik Quraisy dan Arab tidak lah sama dengan umat Islam di masa Rasulullah. Orang-orang musyrik berhaji dengan telanjang, mereka juga memberikan persembahan kepada patung-patung yang di letakkan di sekitar Ka'bah, dan orang kaya di antara mereka justru menindas kaum miskin mereka dan bahkan menjadikan mereka budak. Artinya cara mereka beribadah dengan menyekutukan Allah itu sama sekali tidak sama dengan cara ibadah umat Muslim. Kalau Muhammad bin Abdul Wahab menyamakan umat Muslim dengan orang-orang musyrik yang beribadah kepada patung, benda-benda alam, dan berbagai ritual paganisme lainnya, ini adalah tuduhan yang sangat keji yang dilemparkan kepada para hamba Allah yang meyakini tidak ada manfaat dan madharat selain dari Allah dan Allah adalah satu-satunya sesembahan yang layak disembah. Apakah Muhammad bin Abdul Wahab lupa bahwa mereka yang baru bersyahadat saja Allah sudah mengharamkan darah dan hartanya?

Penggunaan kata “ilah” di dalam Al-Qur’an.

Di dalam Al-Qur’an kita akan menemukan penggunaan kata “ilah” yang berarti sesembahan di banyak tempat dan hampir semuanya merupakan kata dalam bentuk umum dengan meletakkan kalimat jalalah “Allah” sebagai bentuk khusus dan pensucian Allah dari berbagai sifat yang mustahil bagi-Nya, dan sebagai pensucian Nama-Nya,

Sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-An’am ayat 3:

و هو الله في السماوات و في الأرض يعلم سركم و جهركم ويعلم ما تكسبون

“Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.”

Di ayat yang lain juga disebutkan:

هو الذي في السماء إله و في الأرض إله وهو الحكيم العليم

“Dia lah yang menjadi sesembahan di langit dan menjadi sesembahan di bumi, dan Dia lah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 84)

Dari dua ayat tersebut. Dr. Abdullah Umar Kamil menjelaskan bahwa lafaz Jalalah (Allah) di dalam ayat yang pertama memiliki makna “Ilah” atau sesembahan sebagaimana lafah “Ilah” di ayat yang kedua, yang berarti sesembahan. Sehingga bisa diambil makna “Dia lah Sesembahan yang disifati ini dan itu…”

Menurut para ahli bahasa Arab lafaz “Ilah” itu memiliki keterkaitan erat dengan pengaruh yang diberikan oleh entitasnya sebagai sesembahan. Yang mana zat yang menamai dirinya sebagai “ilah” atau sesembahan pastilah dia zat yang meminta untuk disembah dan memiliki kekuasaan mutlak terhadap sesembahannya, baik dalam hal penciptaannya, pengaturannya, pemenuhan hajat hidupnya, dan bahkan sampai pemberian balasan untuk setiap perbuatannya.

Lebih lanjut Dr. Abdullah Umar Kamil menguraikan bahwa setiap zat yang berdiri dengan sifat rububiyah dan berbagai pekerjaan yang mengikutinya maka dia adalah “Ilah” atau sesembahan.

Di ayat yang lain dapat kita ambil contoh sebagai bukti bahwa penggunaan kata “Ilah” atau sesembahan justru mengandung makna rububiyah semisal pada Surat Al-Anbiya ayat 22:

لو كان فيهما ءالهة إلّا الله لفسدتا

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.”

Dari ayat ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa adanya banyak sesembahan itu terbukti sebagai keyakinan yang salah apabila kita menafsiri lafaz “ilah” di dalam ayat ini sebagai zat yang mengatur dan mengelola bumi dan langit. Artinya lafaz “ilah” di sini memiliki arti rububiyyah.

Penggunaan kata “Rabb” di dalam Al-Qur’an dan Bahasa Arab

Ibnu Mandzur di dalam kitabnya “Lisanul ‘Arab” pada pembahasa kata “Rabab” menyebutkan bahwa “Ar-Rabb” adalah Allah Azza wa Jalla, dan tidak disebutkan kata “Ar-Rabb” untuk selain Allah kecuali dengan idhofah (penyandaran). Penggunaan kata “Ar-Rabb” dengan alif dan lam di depannya ditujukan untuk selain Allah hanya ada pada masa Jahiliyah seperti ditujukan kepada raja, tuan, dan para pembesar.

Penggunaan kata “Rabb” di dalam bahasa Arab memiliki beberapa fungsi seperti misalnya:

“Rabbul Walad” yang artinya pendidik anak. “Rabbul Dhai’ah”  yang artinya penjaga desa atau negeri. “Fulan Rabba qaumahu” yang berarti si fulan memimpin kaumnya. Atau bisa memiliki artinya si Empunya semisal di dalam Al-Qur’an surat Qurays ayat 3:

فليعبدوا ربّ هذا البيت

“Dan sembahlah Rabb (yang memiliki) Rumah ini (Baitullah)” (QS. Quraiys: 3)

Dan kita bisa menyimpulkan bahwa kata “Rabb” yang hakiki memiliki makna; zat yang di tangannya diletakkan berbagai urusan mulai dari mengatur, mengelola, mendirikan kemaslahatan, hingga memaksa dan menguasai. Dan kata “rabb” tidak hanya memiliki arti menciptakan saja sebagai mana dipahami oleh Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya.

Di dalam Surat Al-Baqarah ayat 21 disebutkan:

يأيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم

“Wahai manusia sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian.”

Kata “Rabb” di dalam ayat ini mengandung makna “mudabbir” atau pengatur dan pengelola dan di dalam ayat ini ada na’at atau penyambung menggunakan kata “alladzi” yang menyambungkan kalimat “Rabbakum” dengan kalimat “khalaqakum”. Yang mana bisa diambil makna bahwa perintah menyembah (uluhiyah) itu berbarengan dengan perintah tauhid rububiyah (pengakuan bahwa Allah adalah Rabb) dan dua hal ini tidak bisa dipisahkan.

Jika kita meninjau pensifatan syirik kepada orang-orang musyrik di dalam Al-Qur’an kita akan mendapati bahwa mereka orang-orang musyrik juga menyukutukan Allah di dalam hal rububiyyah semisal di dalam surat Fathir ayat 13 yang artinya:

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. yang (berbuat) demikian Itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.”

Ini berarti bahwa orang-orang musyrik juga mempersekutukan Allah di dalam hal kepemilikan langit dan bumi beserta isinya yang artinya mereka syirik di dalam masalah rububiyyah.

Surat Al-Ahqaaf ayat 4 menjadi dalil shahih akan salahnya pandangan Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya bahwa orang-orang musyrik bertauhid di dalam masalah penciptaan. Mari kita simak:

قل أرءينم ما تدعون من دون الله أروني ماذا خلقوا من الأرض أم لهم شرك في السماوات

“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku Apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau Adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit?”

Imam Fakhruddin Ar-Razi sendiri menjelaskan menyoal ayat-ayat yang seolah menunjukkan tauhid rububiyyah itu dimiliki oleh orang-orang musyrik dengan penjelasan gamblang tentang Surat Luqman ayat 25 dengan mengatakan:

“Bahwasannya Allah Ta’alaa setelah menjelaskan bahwa Dia menciptakan langit dengan tanpa tiang dan telah memberikan nikmat lahir dan batin, yang mana mereka mengakui itu tanpa mengingkarinya, dan hal ini berkonsekuensi kepada adanya segala pujian itu untuk Allah. Karena pencipta langit dan bumi dibutuhkan oleh seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi. Dan dengan adanya segala puji itu hanya untuk Allah maka hal ini menuntut supaya tidak ada yang disembah selain Dia, akan tetapi mereka (orang-orang musyrik) tidak mengetahuinya.”

Di dalam penafsirannya yang lain yang terkait dengan ayat ini Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan ketika menafsiri ayat pertama dari surat Al-‘Alaq, bahwa pertanyaan yang dilemparkan kepada orang-orang musyrik atau pernyataan dakwah kepada mereka dengan tema penciptaan yang sangat susah mereka sangkali adalah salah satu metode debat yang diajarkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Ini juga sebagai fase yang harus dilalui ketika berdakwah kepada orang-orang musyrik dengan mengungkapkan hal yang mereka mau tidak mau akan mengakuinya. Namun bukan berarti orang musyrik setelah mengakui bahwa Allah Pencipta alam itu menandakan bahwa mereka telah bertauhid dengan tauhid rububiyyah. Karena sudah dijelaskan di atas bahwa rububiyyah tidak terbatas hanya pada masalah penciptaan. Artinya pengakuan orang musyrik bahwa Allah adalah pencipta tetap tidak berarti mereka telah bertauhid dengan tauhid rububiyyah, namun mereka tetap musyrik—bahkan dalam hal rububiyyah—dengan mereka masih meyakini bahwa ada beberapa urusan di dalam mengatur alam dan segala yang ada di dalamnya yang dikerjakan oleh berhala-berhala yang mereka jadikan sebagai sekutu Allah, meski pun mereka mengakui bahwa Allah lah yang menciptakan alam semesta ini.

Maha Suci Allah dari segala persekutuan baik di dalam menciptakan atau pun mengatur alam semesta. Akhirnya penulis memohon pertolongan kepada Allah untuk selalu terlindung dari kesyirikan dan kesalahan dalam memahami Al-Qur’an. Semoga kita sama-sama mau belajar untuk memperbaiki pemahaman kita tentang Islam yang kita anut bersama ini. Wallahu a’lam bish shawab.


Tambak, 27 Januari 2016

Al-Faqir ilallah
By: Zulfahani Hasyim

Senin, 25 Januari 2016

HUKUM MENJUAL, MENKONSUMSI DAN MEMBUDIDAYA ULAT JATI

#BISMILLAH

HUKUM MENJUAL, MEMBUDIDAYAKAN DAN MENGKONSUMSI ULAT JATI

Pertanyaan dari K. Ikhwan Kediri:
“Nderek tanglet,, haram nopo harom menjual, mengkonsumsi, menernak ulat jati (entung)?”
(Tanya,,, Haram apa haram menjual, mengkonsumsi, membudidayakan ulat jati (Jawa: entung)?”.

JAWABAN :

Alur :
Ulat, seperti halnya cicak, kecoa, jangkrik dan sejenisnya menurut mayoritas para ulama di kategorikan sebagai khasyarot/hewan melata. Dalam tinjauan hukum fiqh, titik tekan analisa para ulama terletak pada dua hal :
1. Bermanfaat atau tidaknya.
2. Istiqdzar(menjijikkan) atau tidaknya.
Oleh karenanya hukum yang timbul pun bervariasi, mulai dari khilaf sampai tafshil/terperinci.

A). HUKUM MENJUAL ULAT JATI
       #- Khilaf dan Tafshil :
- Menurut Madzhab Syafi’i, TIDAK SAH JUAL BELINYA(HARAM).
- Menurut Madzhab Hanafi, SAH jika memang terbukti bermanfaat. Kalau tidak bermanfaat mayoritas ulama sepakat mengharamkan jual belinya.

B). HUKUM MEMAKAN ULAT JATI
       #- Khilaf antar Madzhab:
- Menurut Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, ImamAhmad dan Imam Abu Dawud, hukumnya HARAM.
- Menurut Imam Malik, HALAL hukumnya, karena tidak ada Nash yg mengharamkan secara jelas, kecuali binatang tadi sudah menjadi bangkai, maka dihukumi HARAM.

C). HUKUM MEMELIHARA & BUDIDAYA ULAT JATI
Memelihara &  membudidayakan binatang diperbolehkan jika memenuhi tiga syarat :
1-  Ada manfaatnya,
2-  Manfaat tsb. hukumnya mudah,
3-  Dan manfaat tsb. sudah umum atau diketahui  khalayak.
Karena manfaat dari entung jati hanya ditemukan dengan cara memakannya, sedangkan hukum memakan ulat jati adalah Haram menurut Syafi'iyyah, maka memelihara/budidaya ulat jati juga dihukumi HARAM.
Mengenai adanya kemungkinan seseorang yg ahli hingga bisa memanfaatkannya itu tidak tergolong manfaat yg senilai dg harta.

والله أعلم بالصواب

REFERENSI :

المحلى
(الثَّانِي) مِنْ شُرُوطِ الْمَبِيعِ (النَّفْعُ) فَمَا لَا نَفْعَ فِيهِ لَيْسَ بِمَالٍ، فَلَا يُقَابَلُ بِهِ. (فَلَا يَصِحُّ بَيْعُ الْحَشَرَاتِ) بِفَتْحِ الشِّينِ كَالْحَيَّاتِ وَالْعَقَارِبِ وَالْفِئْرَانِ وَالْخَنَافِسِ وَالنَّمْلِ وَنَحْوِهَا إذْ لَا نَفْعَ فِيهَا يُقَابَلُ بِالْمَالِ وَإِنْ ذُكِرَ لَهَا مَنَافِعُ فِي الْخَوَاصِّ

حاشية قليوبى ج ۲ ص ۱۹۸
(وَلَا يَصِحُّ بَيْعُ الْحَشَرَاتِ) أَيْ غَيْرِ الْمَأْكُولَةِ وَنَحْوِهَا كَمَا مَرَّ وَأَصْلُهَا صِغَارُ دَوَابِّ الْأَرْضِ وَالْمُرَادُ هُنَا الْأَعَمُّ. قَوْلُهُ: (وَالنَّمْلِ) بِالْمِيمِ بِخِلَافِ النَّحْلِ بِالْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ فَبَيْعُهُ صَحِيحٌ بِشَرْطِهِ الْآتِي.

المذاهب اﻷربعة 2 ص: 209
 الحنفية - قالوا: لا يصح بيع الخمر والخنزير والدم، إلی أن قال،،،،،
ويصخ بيع الزبل ويسمى "سرجين أو شرقين" وكذا بيع البعر. ويصح الانتفاع به وجعله وقوداً، ويصح بيع كلب الصيد والحراسة ونحوه من الجوارح كالأسد والذئب والفيل وسائر الحيوانات سوى الخنزير إذا كان ينتفع بها أو بجلودها على المختار وكذلك يصح بيع الحشرات والهوام كالحيات والعقارب إذا كان ينتفع بها. والضابط في ذلك: أن كل ما فيه منفعة تحل شرعاً فإن بيعه يجوز

الموسوعة 17 ص: 280
بَيْعُ الْحَشَرَاتِ:
٤ - اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى عَدَمِ جَوَازِ بَيْعِ الْحَشَرَاتِ الَّتِي لاَ نَفْعَ فِيهَا، إِذْ يُشْتَرَطُ فِي الْمَبِيعِ أَنْ يَكُونَ مُنْتَفَعًا بِهِ، فَلاَ يَجُوزُ بَيْعُ الْفِئْرَانِ، وَالْحَيَّاتِ وَالْعَقَارِبِ، وَالْخَنَافِسِ، وَالنَّمْل وَنَحْوِهَا، إِذْ لاَ نَفْعَ فِيهَا يُقَابَل بِالْمَال، أَمَّا إِذَا وُجِدَ مِنَ الْحَشَرَاتِ مَا فِيهِ مَنْفَعَةٌ، فَإِِنَّهُ يَجُوزُ بَيْعُهُ كَدُودِ الْقَزِّ، حَيْثُ يَخْرُجُ مِنْهُ الْحَرِيرُ الَّذِي هُوَ أَفْخَرُ الْمُلاَبِسِ، وَالنَّحْل حَيْثُ يُنْتِجُ الْعَسَل.
وَقَدْ نَصَّ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ عَلَى جَوَازِ بَيْعِ دُودِ الْعَلَقِ، لِحَاجَةِ النَّاسِ إِلَيْهِ لِلتَّدَاوِي بِمَصِّهِ الدَّمَ، وَزَادَ ابْنُ عَابِدِينَ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ دُودَ الْقِرْمِزِ (١) . قَال: وَهُوَ أَوْلَى مِنْ دُودِ الْقَزِّ وَبَيْضِهِ فَإِِنَّهُ يُنْتَفَعُ بِهِ فِي الْحَال، وَدُودِ الْقَزِّ فِي الْمَآل.
كَمَا نَصَّ الشَّافِعِيَّةُ عَلَى جَوَازِ بَيْعِ الْيَرْبُوعِ وَالضَّبِّ وَنَحْوِهِ مِمَّا يُؤْكَل، وَقَال الْحَنَابِلَةُ: بِجَوَازِ بَيْعِ الدِّيدَانِ لِصَيْدِ السَّمَكِ.
وَقَدْ عَدَّى الْحَنَفِيَّةُ الْحُكْمَ إِِلَى هَوَامِّ الْبَحْرِ
أَيْضًا، كَالسَّرَطَانِ وَنَحْوِهِ، فَلاَ يَجُوزُ بَيْعُهَا عِنْدَهُمْ.
وَمَحَل عَدَمِ الْجَوَازِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ فِيمَا لاَ يُؤْكَل مِنْهَا، وَأَمَّا مَا يُؤْكَل مِنْهَا فَإِِنَّهُ يَجُوزُ بَيْعُهُ مُطْلَقًا حَتَّى لَوْ لَمْ يُعْتَدْ أَكْلُهُ كَبَنَاتِ عِرْسٍ.
وَقَدْ وَضَعَ الْحَصْكَفِيُّ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ ضَابِطًا لِبَيْعِ الْحَشَرَاتِ، فَقَال: إِنَّ جَوَازَ الْبَيْعِ يَدُورُ مَعَ حِل الاِنْتِفَاعِ (١)

وقال القاضي الطبري -رحمه الله -: الصحيح عندي جواز بيع بزر القز وهو الذي اختاره.
وحكي عن أبي حنيفة -رحمه الله -أنه قال: لا يجوز بيع بزره ويجوز بيع الدود، وأما دود القز ظاهرة يجوز بيعها لأنها ظاهرة ينتفع بها، وأما بيع القز والدود في جوفه إن باعه جزافًا جاز، وإن باعه وزنًا لم يجز للجهل بقدر القز، ويجوز بيع الدود الذي خرج من القز وقد خرج جناحه، ويسمى فراشًا، وإن ترك القز في الظل حتى يخرج منه الدود، ويجوز بيعه بكل حالٍ؛ لأنه قز برد فهو كالإبريسم.
وأما بيع النحل مع الكندرج والكوارة، أو من غير الكوارة: قال ابن سريج: يجوز؛ لأنه يعلم مقداره بخروجه منها ودخوله فيها، وهذا إذا كان مسدودًا لا يقدر على الطيران منه كالطير في البرج، أو لا يقدر على الطيران لصغره.
وقال أبو حامد -رحمه الله -: فيه وجهان، والصحيح أنه لا يجوز، لأنه لا يمكن حصر عددها وبيع ما لا ينحصر عدده لا يجوز. قال: فإن فرخ في موضع أو في الكوارة وشوهد، أو خرج من الكوارة واجتمع في غصن شجرة ثم أُخذ فرعه وقطع رأسها وطلي داخلها بغسلٍ ونزل على رأس الموضع الذي اجتمعوا فيه وأدخن تحته حتى [ق ٤٨ أ] دخلوا القريحةّ فيجوز بيعها حينئذٍ، لأنه معلوم ويشاهده الكل. وبه قال أحمد، ومحمد بن الحسن.

المجموع الجزء التاسع ص : 16
وأما الصرارة فحرام على أصح الوجهين كالخنفساء والله سبحانه أعلم (فرع) فى مذاهب العلماء فى حشرات الأرض كالحيات والعقارب والجعلان وبنات وردان والفار ونحوها مذهبنا أنها حرام وبه قال أبو حنيفة وأحمد وداود وقال مالك حلال لقوله تعالى قل لا أجد فيما أوحى إلى محرما على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة الأية.

المذاهب الأربعة الجزء الثانى ص: 3
المالكية: لا نزاع عندهم فى تحريم كل ما يضر فلا يجوز أكل الحشرات الضارة قولا واحدا أما إذا اعتاد قوم أكلها ولم تضرهم وقبلتها أنفسهم فالمشهور عندهم لا تحرم فإذا أمكن مثلا تذكية الثعبان بقطع جزء عند رأسه ومثله من عنذ ذنبه بحالة لا يبقى معها سم وقبلت النفس أكله بدون أن يلحق منه ضرر حل أكله ومثله سائر الحشرات ونقل عن بعض المالكية تحريم الحشرات مطلقا لأنها من الخبائث وهو وجيه وعلى القول المشهور من حلها فلا تحل إلا إذا قصدت تذكيتها وتذكيتها فعل ما يميتها بالنار أو بالماء الساخن أو بالأسنان أو غير ذلك كما تقدم.

الفقه على المذاهب الاربعة
و يحرم اكل حشرات الارض صغار دوابها كعقرب و ثعبان و فارة و ضفدع و نمل و نحو ذلك

حياة الحيوان الكبرى 1 ص: 42دار الكتب العلمية
الاساريع : بفتح الهمزة دود احمر يكون فى البقل ينسلخ فيصير فراشا. قال ابن مالك قال ابن السكيت و الاصل يسرع بالفتح الا انه ليس فى الكلام يفعل. و قال قوم الاساريع دود حمر الرؤوس، بيض الاجساد تكون فى الرمل يشبه بها اصابع النساء. انتهى

المحلى ج 4 ص ۲۶۱
وَتَحِلُّ نَعَامَةٌ وَكُرْكِيٌّ وَبَطٌّ وَدَجَاجٌ وَمَا عَلَى شَكْلِ عُصْفُورٍ وَزُرْزُورٍ) بِفَتْحِ أَوَّلِهِ (وَإِوَزٍّ) بِكَسْرِ أَوَّلِهِ وَفَتْحِ ثَانِيهِ. (وَدَجَاجٍ) بِفَتْحِ أَوَّلِهِ (وَحَمَامٍ وَهُوَ كُلُّ مَا عَبَّ) أَيْ شَرِبَ الْمَاءَ مِنْ غَيْرِ مَصٍّ (وَهَدَرَ) أَيْ صَوَّتَ (وَمَا عَلَى شَكْلِ عُصْفُورٍ) بِضَمِّ أَوَّلِهِ. (وَإِنْ اخْتَلَفَ لَوْنُهُ وَنَوْعُهُ كَعَنْدَلِيبِ) بِفَتْحِ الْعَيْنِ وَالدَّالِ الْمُهْمَلَتَيْنِ بَيْنَهُمَا نُونٌ وَآخِرُهُ مُوَحَّدَةٌ بَعْدَ تَحْتَانِيَّةِ. (وَصَعْوَةٍ) بِفَتْحِ الصَّادِ وَسُكُونِ الْعَيْنِ الْمُهْمَلَتَيْنِ، (وَزُرْزُورٍ) بِضَمِّ أَوَّلِهِ لِأَنَّهَا مِنْ الطَّيِّبَاتِ قَالَ تَعَالَى {أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ} [المائدة: ٤] . (لَا خُطَّافٍ) بِضَمِّ الْخَاءِ وَتَشْدِيدِ الطَّاءِ فِي الصِّحَاحِ (وَنَمْلٌ وَنَحْلٌ وَذُبَابٌ) بِضَمِّ الْمُعْجَمَةِ (وَحَشَرَاتٌ) بِفَتْحِ الشِّينِ (كَخُنْفُسَاء) بِضَمِّ الْخَاءِ وَفَتْحِ الْفَاءِ، وَبِالْمَدِّ (وَدُودٍ) أَيْ فَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِاسْتِخْبَاثِهَا وَفِي التَّنْزِيلِ فِي صِفَةِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ، وَتَقَدَّمَ حِلُّ أَكْلِ دُودِ الْخَلِّ، وَالْفَاكِهَةِ مَعَهُ.
(فأما اقتناؤها فينظر فيه فان لم يكن فيها منفعة مباحة كالخمر والخنزير والميتة والعذرة لم يجز اقتناؤها لِمَا رَوَى أَنَسٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ (سأل رجل النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَمْرِ تصنع خلا فكرهه وقال أهرقها) ولان اقتناء ما لا منفعة فيه سفه فلم يجز فان كان فيه منفعة مباحة كالكلب جاز اقتناؤه للصيد والماشية والزرع لما روى سالم بن عبد الله عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال (مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ ماشية نقص من أجره يوم قيراطان)
المجموع. ٢٣١-٢٣٢/٩

 واستثنى من النهي الكلبَ الضّاريَ وهو الصيود، وكلب الماشية وهي التي تحرس النَّعم، وكلبَ الزرع وهي التي تحرس المزارع في أيام الحصدِ والدياسة والتنقية؛ فمن اقتنى كلباً إعجابا بصورته، فهو مرتكبُ محرّمٍ، وإذا اقتناه وهو منتفع به بالجهات الثلاثة التي استثناها النبي صلى الله عليه وسلم، فلا بأس.
نهاية المطلب.  ٤٩٣/٥

فَرْعٌ: لَهُ حَبْسُ حَيَوَانٍ وَلَوْ لِسَمَاعِ صَوْتِهِ، أَوْ التَّفَرُّجِ عَلَيْهِ، أَوْ نَحْوَ كَلْبٍ لِلْحَاجَةِ إلَيْهِ مَعَ إطْعَامِهِ.حاشيتا قليوبي وعميرة4/95

 ( ومنها حبس البلبل ونحوه ) كالطوطي والقمري قيل إن كان للهو ، وإن للانتفاع مثل حبس الدجاجة والبط للتسمين فيجوز وكذا حبس الطيور التي بها يصطاد انتهى
مغني المحتاج الجزء الثاني ص: 394

( و ) حرم أيضا ( بيع نحو عنب ممن ) علم أو ( ظن أنه يتخذه مسكرا ) للشرب والأمرد ممن عرف بالفجور به والديك للمهارشة والكبش للمناطحةوالحرير لرجل يلبسه وكذا بيع نحو المسك لكافر يشتري لتطييب الصنم والحيوان لكافر علم أنه يأكله بلا ذبحوعبارة شيخ الإسلام ومحل تحريم بيعه ذلك ممن ذكر إذا تحقق أو ظن أنه يفعل ذلك فإن توهمه كره اه
I'anah at-Thaalibin III/23-24

فَلَوْ بَاعَ الْعِنَبَ مِمَّنْ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا بِأَنْ يَعْلَمَ أو يَظُنَّ منه ذلك أو الْأَمْرَدَ من مَعْرُوفٍ بِالْفُجُورِ بِهِ وَنَحْوِ ذلك من كل تَصَرُّفٍ يُفْضِي إلَى مَعْصِيَةٍ كَبَيْعِ الرَّطْبِ مِمَّنْ يَتَّخِذُهُ نَبِيذًا وَبَيْعِ دِيكِ الْهِرَاشِ وَكَبْشِ النِّطَاحِ مِمَّنْ يُعَانِي ذلك حَرُمَ لِأَنَّهُ تَسَبُّبٌ إلَى مَعْصِيَةٍ وَيَصِحُّ لِرُجُوعِ النَّهْيِ لِغَيْرِهِ
Asnaa al-Mathoolib II/41

ويصح بيع جارية الغناء وكبش النطاح وديك الهراش ولو زاد الثمن لذلك قصد أو لا لأن المقصود أصالة الحيوان ويصح بيع الأطباق والثياب والفرش المصورة بصور الحيوان
Mughni al-Muhtaaj II/12

NB :
Rumusan ini diputuskan dlm musyawaroh Grup FKSL via Whatsapp(WA) pada hari Rabu/20 Januari 2016 dg tembusan dan pengawasan dari Al Mukarromuun :

 - KH. M. Azizi Chasbulloh (Malang/Blitar)
 - KH. Akhmad Shampthon Masduqi (Malang)
 - KH. M. Ridlwan Qoyyum (Nganjuk)
 - K. Zahro Wardy (Trenggalek)

Musyawirin :
- KH. M. Hizbulloh Al Haq (Pule Nganjuk)
- KH. Ahmad Zainuri (Gresik)
- K. Thohari Muslim (Nganjuk)
- K. Fatkhun Nuha (Grobogan )
- K. Nidhom Subkhi (Malang)
- K. Ahmad Khafidh (Malang)
- K. Syamsuri Abd. Qohar (Pasuruan)
- KH. Adibuddin (Bangkalan)
- K. Syukron Ma'mun (Brebes)
- K. M. Khoirin (Demak)
- K. Asnawi Ridlwan (Bogor)
- K. Ashfiya' (Nganjuk)
- K. Habibulloh Mu'in (Nganjuk)
- K. Kholid Afandi (Bojonegoro)
- K. Ahmad Muntaha (Surabaya)
- H. Anang Mas'ulun A. Nashir (Sidoarjo)
dan segenap Musyawirin lainnya yg tdk bisa kami sebutkan satu persatu,,,

TENTANG HAMIL, HAID DAN NIFAS

#Bismillah

Pertanyaan dari member FKSL

Assalamu'alaikum,
nderek tangklet,
menawi nembe ngandut 11 minggu lajeng pendarahan kados hed trus dokter memvonis keguguran (kiret),
Lajeng pendarahan bakdane kiret puniko tasek aran hed nopo nifas ?

Terjemah bahasa Indonesia:
Mau tanya,
Seumpama ada wanita sedang hamil 11 minggu lalu mengalami pendarahan seperti saat haid, dan ternyata dokter memvonis keguguran,
Apakah darah yg keluar setelah keguguran itu termasuk darah haid atau darah nifas?

Wassalamu'alaykum wr.wb.

RUMUSAN JAWABAN :

Dalam masalah nifas, para ulama' berbeda pendapat(KHILAF) dalam menentukan batasan bayi(janin) yg lahir/keluar sehingga menyebabkan darah yg keluar setelahnya bisa dihukumi nifas, yaitu :
1- PENDAPAT PERTAMA :
Mensyaratkan wujudnya shuroh kholq (bentuk manusia), ditandai dengan adanya semisal rambut, kuku atau adanya sketsa/gambaran/garis2 walaupun masih samar.
Sedangkan hal tersebut bisa diketahui dari keterangan/penjelasan dari seseorang yg ahli semisal bidan, dokter ahli kandungan atau yg lainnya.
2- PENDAPAT KEDUA :
Mengharuskan bayi/janin yg keluar sudah berupa mudghoh(Gumpalan Daging), Yakni : Tanpa memandang apakah sudah tampak wujud manusia atau belum. Jika masih berupa alaqoh (gumpalan darah), maka darah setelahnya tidak bisa dihukumi darah nifas.
3- PENDAPAT KETIGA :
Mencukupkan wujudnya 'alaqoh, Yakni : hanya dengan wujudnya alaqoh(gumpalan darah), maka darah setelahnya bisa dihukumi darah nifas, walaupun belum terlihat wujud manusia.

Catatan :
Ketika si ibu selesai melahirkan walaupun tanpa disertai air ketuban, dan masih berupa air mani(sperma), 'alaqoh atau mudghoh maka baginya diwajibkan mandi besar.
Dan jika setelah melahirkan si ibu mengeluarkan darah dan jarak antara melahirkan dan mulai keluarnya darah tdk lebih dari 15 hari (masa paling sedikitnya suci) maka darah tsb disebut darah nifas (khilaf).
Dan baginya wajib mandi ketika darah tsb berhenti.
Dan jika lebih dari 15 hari maka disebut darah fasad atau darah haid kalau memang memenuhi syarat2nya haid.

Rumusan Tambahan :

Proses terjadinya manusia dlm kandungan:
1-  Berupa Nuthfah(air mani/sperma) selama 40 hari terhitung setelah terjadinya ijtima' (pertemuan antara sperma dan ovum).
2-  Berupa 'Alaqoh(gumpalan darah) mulai hari ke-41 sampai hari ke-80.
3-  Berupa Mudghoh (gumpalan daging) mulai hari ke-81 sampai hari ke-120.
4-  Ketika sudah saatnya, Alloh mengutus malaikat untuk menjadikannya wujud manusia.
5-  Kemudian ditentukan takdirnya yang meliputi jenis kelamin, rizki, bahagia apa celaka?, usia dsb.
6-  Maka lahirlah dia kemuka bumi ini dlm wujud manusia yg sempurna.

والله أعلم بالصواب

Referensi :

حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء الأول ص: 341-342 دار الفكر
(والنفاس) لغة الولادة وشرعا (هو الدم الخارج) من فرج المرأة (عقب الولادة) أي بعد فراغ الرحم من الحمل. وسمي نفاسا لأنه يخرج عقب نفس، فخرج بما ذكر دم الطلق والخارج مع الولد فليسا بحيض لأن ذلك من آثار الولادة ولا نفاس لتقدمه على خروج الولد بل ذلك دم فساد، نعم المتصل من ذلك بحيضها المتقدم حيض. تنبيه: قوله عقب حذف الياء التحتية هو الأفصح ومعناه أن لا يكون متراخيا عما قبله.
(قوله أي بعد فراغ الرحم) إنما فسر بذلك لأن كلام المتن يشمل الدم الخارج بعد الولد الأول، فمقتضاه أنه يسمى نفاسا مع أنه لا يسمى نفاسا بل إن كان قبله حيض بأن حاضت قبل الولد ولم يزد المجموع على خمسة عشر يوما كان حيضا وإلا كان دم فساد. (قوله من الحمل) أي ولو علقة أو مضغة. وهذان لا يسميان ولادة إلا أن يقال إنهما في حكمها، وقول الشارح بعد فراغ الرحم من الحمل إشارة إلى أن الولادة ليست بقيد ويتعلق بالعلقة ثلاثة أحكام تسمية الدم عقبها نفاسا ووجوب الغسل ويفطر بها الصائم وتزيد عليها المضغة بأمرين: انقضاء العدة وثبوت الاستيلاد إن كان فيها صورة آدمي

حاشية الجمل - (ج 2 / ص 356)
( قَوْلُهُ: بَعْدَ فَرَاغِ الرَّحِمِ ) أَيْ عَقِبَهُ مِنْ الْحَمْلِ وَلَوْ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً قَالَ الْقَوَابِلُ فِيهَا خَلْقُ آدَمِيٍّ أَيْ وَقَبْلَ مُضِيِّ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنْ نَحْوِ الْوِلَادَةِ فَمَا بَيْنَ التَّوْأَمَيْنِ حَيْضٌ فِي وَقْتِهِ أَوْ دَمُ فَسَادٍ فِي غَيْرِهِ وَكَذَا مَا يَخْرُجُ مَعَ الْوَلَدِ ا هـ بِرْمَاوِيٌّ وع ش عَلَى م ر. وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر وَالنِّفَاسُ الدَّمُ الْخَارِجُ بَعْدَ فَرَاغِ الرَّحِمِ مِنْ الْحَمْلِ فَخَرَجَ بِذَلِكَ دَمُ الطَّلْقِ وَالْخَارِجُ مَعَ الْوَلَدِ فَلَيْسَ بِحَيْضٍ لِكَوْنِهِ مِنْ آثَارِ الْوِلَادَةِ وَلَا نِفَاسَ لِتَقَدُّمِهِ عَلَى خُرُوجِ الْوَلَدِ بَلْ هُوَ دَمُ فَسَادٍ إلَّا أَنْ يَتَّصِلَ بِحَيْضِهَا الْمُتَقَدِّمِ, فَإِنَّهُ يَكُونُ حَيْضًا انْتَهَتْ

حاشية البجيرمي على المنهج  - (ج 2 / ص 45)
( قَوْلُهُ مِنْ الْحَمْلِ ) وَلَوْ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً, قَالَ الْقَوَابِلُ: فِيهَا خَلْقُ آدَمِيٍّ فَمَا بَيْنَ التَّوْأَمَيْنِ حَيْضٌ فِي وَقْتِهِ وَدَمٌ فَسَادٌ فِي غَيْرِهِ, وَكَذَا مَا يَخْرُجُ مَعَ الْوَلَدِ, فَلَيْسَ بِحَيْضٍ لِكَوْنِهِ مِنْ آثَارِ الْوِلَادَةِ وَلَا نِفَاسَ لِتَقَدُّمِهِ عَلَى خُرُوجِ الْوَلَدِ, بَلْ هُوَ دَمٌ فَسَادٌ إلَّا أَنْ يَتَّصِلَ بِحَيْضِهَا الْمُتَقَدِّمِ فَإِنَّهُ يَكُونُ حَيْضًا كَمَا فِي شَرْحِ م ر وع ش, قَالَ م ر فِي شَرْحِهِ: وَحُكْمُ النِّفَاسِ مُطْلَقًا حُكْمُ الْحَيْضِ إلَّا فِي شَيْئَيْنِ: أَحَدُهُمَا أَنَّ الْحَيْضَ يُوجِبُ الْبُلُوغَ وَالنِّفَاسَ لَا يُوجِبُهُ لِثُبُوتِهِ قَبْلَهُ بِالْإِنْزَالِ الَّذِي حَبِلَتْ مِنْهُ.
وَالثَّانِي أَنَّ الْحَيْضَ يَتَعَلَّقُ بِهِ الْعِدَّةُ وَالِاسْتِبْرَاءُ, وَيُخَالِفُهُ أَيْضًا فِي أَنَّ أَقَلَّ النِّفَاسِ لَا تَسْقُطُ بِهِ الصَّلَاةُ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَسْتَغْرِقَ وَقْتَ الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ إنْ وُجِدَ فِي الْأَثْنَاءِ فَقَدْ تَقَدَّمَ وُجُوبَهَا, وَإِنْ وُجِدَ فِي الْأَوَّلِ فَقَدْ لَزِمَتْ بِالِانْقِطَاعِ ا هـ.

تحفة المحتاج  ٤١٣/١
(فصل) فإذا تقرر ما وصفنا من حكم النفاس، وقدره، فلا يخلو حال المرأة في ولادتها من أحد أمرين: إما أن تضع ما فيه خلق مصور أم لا، فإن لم يكن فيما وضعته خلق مصور لا جلي ولا خفي، كالعلقة والمضغة التي لا تصير بها أم ولد، ولا تجب فيها عدة لم يكن الدم الخارج معه نفاسا، وكان دم استحاضة أو حيض على حسب حاله؛ لأنه لما لم يحكم لما وضعته حكم الولد فيما سوى النفاس، فكذلك في النفاس وإن كان فيه خلق مصور تقضي به العدة وتصير به أم ولد، فلا يخلو من أن ترى معه دما أم لا، فإن لم تر معه دما، وقد يوجد هذا كثيرا في نساء الأكراد فقد اختلف أصحابنا في وجوب الغسل عليها على وجهين:
أحدهما: وهو محعلي بن أبي هريرة أنه لا غسل عليها، وبه قال أبو حنيفة، لأن وجوب الغسل متعلق بانقطاع الدم، فإن عدم الدم لم يجب الغسل.
والوجه الثاني: وهو قول أبي العباس بن سريج، أن الغسل عليها واجب به، وبه قال مالك؛ لأن الولد مخلوق من مائها وماء الزوج، فإذا ولدت فكأنما قد أنزلت،

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  - (ج 4 / ص 321)
( وَأَقَلُّ النِّفَاسِ ) وَهُوَ الدَّمُ الْخَارِجُ بَعْدَ فَرَاغِ جَمِيعِ الرَّحِمِ, وَإِنْ وَضَعَتْ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً فِيهَا صُورَةٌ خَفِيَّةٌ أَخْذًا مِمَّا مَرَّ فِي الْغُسْلِ, إذْ لَا تُسَمَّى وِلَادَةً إلَّا حِينَئِذٍ كَمَا صَرَّحُوا بِهِ فَلَا تَخَالُفَ بَيْنَ مَا ذَكَرُوهُ هُنَا وَفِي الْعَدَدِ خِلَافًا لِمَنْ ظَنَّهُ, وَإِطْلَاقُهُمْ أَنَّهَا لَا تَنْقَضِي بِعَلَقَةٍ مَحْمُولٌ عَلَى الْأَغْلَبِ أَنَّهُ لَا صُورَةَ فِيهَا خَفِيَّةٌ مِنْ النَّفْسِ, وَهُوَ الدَّمُ, إذْ بِهِ قِوَامُ الْحَيَاةِ أَوْ لِخُرُوجِهِ عَقِبَ نَفْسٍ وَإِذَا لَمْ يَتَّصِلْ بِالْوِلَادَةِ فَابْتِدَاؤُهُ مِنْ رُؤْيَةِ الدَّمِ عَلَى تَنَاقُضٍ لِلْمُصَنِّفِ فِيهِ وَعَلَيْهِ فَزَمَنُ النَّقَاءِ لَا نِفَاسَ فِيهِ فَيَلْزَمُهَا فِيهِ أَحْكَامُ الطَّاهِرَاتِ لَكِنَّهُ مَحْسُوبٌ مِنْ السِّتِّينَ كَمَا قَالَهُ الْبُلْقِينِيُّ

تفسير الطبري.  ١٨٦/٥
وقال آخرون في ذلك، ما: حدثنا به موسى بن هارون، قال: ثنا عمرو بن حماد، قال: ثنا أسباط، عن السدي، عن أبي مالك، عن أبي صالح، عن ابن عباس. وعن مرة الهمداني، عن ابن مسعود، وعن ناس، من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قوله: {هو الذي يصوركم في الأرحام كيف يشاء} [سورة: آل عمران، آية رقم: ٦] قال: " إذا وقعت النطفة في [ص: ١٨٧] الأرحام، طارت في الجسد أربعين يوما، ثم تكون علقة أربعين يوما، ثم تكون مضغة أربعين يوما، فإذا بلغ أن يخلق بعث الله ملكا يصورها، فيأتي الملك بتراب بين أصبعيه فيخلطه في المضغة ثم يعجنه بها ثم يصورها كما يؤمر، فيقول: أذكر أو أنثى؟ أشقي أو سعيد؟ وما رزقه؟ وما عمره؟ وما أثره؟ وما مصائبه؟ فيقول الله، ويكتب الملك، فإذا مات ذلك الجسد، دفن حيث أخذ ذلك التراب

الحاوى الكبير  ـ  الماوردى - (ج 11 / ص 443)
 مَسْأَلَةٌ : قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ : ( وَلَوْ طَرَحَتْ مَا تَعْلَمُ أَنَّهُ وَلَدٌ مُضْغَةً أَوْ غَيْرَهَا حَلَّتْ عدة الحامل ( قَالَ الْمُزَنِيُّ ) رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : فِي كِتَابَيْنِ لَا تَكُونُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ حَتَّى يَبِينَ فِيهِ مِنْ خَلْقِ الْإِنْسَانِ شَيْءٌ وَهَذَا أَقْيَسُ ) .

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ : اعْلَمْ أَنَّ إِسْقَاطَ الْوَلَدِ يَتَعَلَّقُ بِهِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ : أَحَدُهَا : انْقِضَاءُ الْعِدَّةِ .
 وَالثَّانِي : كَوْنُهَا أُمَّ وَلَدٍ .
 وَالثَّالِثُ : وُجُوبُ الْعِدَّةِ .
 وَلَهُ فِي هَذِهِ الْأَحْكَامِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ : أَحَدُهَا : أَنْ تَكُونَ مُضْغَةً .
 وَالثَّانِي : أَنْ تَكُونَ دُونَهَا .
وَالثَّالِثُ : أَنْ تَكُونَ فَوْقَهَا ، وَإِنْ كَانَ دُونَ الْمُضْغَةِ نُطْفَةً أَوْ عَلَقَةً لَمْ يَتَعَلَّقْ بِإِلْقَائِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأَحْكَامِ الثَّلَاثَةِ ، فَلَا تَنْقَضِي الْعِدَّةُ وَلَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَلَا يَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ ؛ لِأَنَّهُ دَمٌ فَصَارَ كَدَمِ الْحَيْضِ وَلَا يَتِمُّ بِهِ الْقُرُوءُ بِخِلَافِ الْحَيْضِ ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَدُمْ دَوَامَ الْحَيْضِ ، فَإِنِ اتَّصَلَ بِهِ الدَّمُ حَتَّى صَارَ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَهُوَ دَمُ حَيْضٍ يَتِمُّ بِهِ الطُّهْرُ وَلَا يَكُونُ نِفَاسًا ؛ لِأَنَّ النِّفَاسَ مَا اتَّصَلَ بِوَضْعِ الْوَلَدِ ، فَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْمُضْغَةِ فَهُوَ مَا اسْتَكْمَلَ خَلْقُهُ وَتَشَكَّلَتْ أَعْضَاؤُهُ وَلَمْ يَبْقَ عَلَيْهِ إِلَّا التَّمَامُ وَالِاشْتِدَادُ ، فَهَذَا تَتَعَلَّقُ الْأَحْكَامُ الثَّلَاثَةُ بِهِ فَتَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ وَتَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَتَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ وَيَكُونُ مَا اتَّصَلَ بِهِ مِنَ الدَّمِ نِفَاسًا
الحاوى الكبير  ـ  الماوردى - (ج 11 / ص 444)
، وَإِنْ كَانَتْ مُضْغَةً فَلَهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ : أَحَدُهَا : أَنْ يَظْهَرَ فِيهِ بَعْضُ الْأَعْضَاءِ مَنْ عَيْنٍ ، أَوْ إِصْبَعٍ ، أَوْ تَبِينُ فِيهِ أَوَائِلُ التَّخْطِيطِ وَأَوَائِلُ الصُّورَةِ فَتَتَعَلَّقُ فِيهِ الْأَحْكَامُ الثَّلَاثَةُ ، وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ ظَاهِرًا مُشَاهَدًا أَوْ كَانَ خَفِيًّا تُفَرِّقُهُ الْقَوَابِلُ عِنْدَ إِلْقَائِهِ فِي الْمَاءِ الْجَارِي فَتَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ ، وَتَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَتَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ .
 وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ : أَنْ لَا تَبْلُغَ هَذِهِ الْحَدَّ وَتَضْعُفَ عَنْ قُوَّةِ الْحَمْلِ الْمُتَمَاسِكِ فَيَكُونُ بِالْعَلَقَةِ أَشْبَهَ ؛ لِأَنَّهُ أَوَّلُ أَحْوَالِ انْتِقَالِهِ عَنْهَا فَلَا يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنَ الْأَحْكَامِ الثَّلَاثَةِ .
 وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ : أَنْ يَكُونَ لَحْمًا مُتَمَاسِكًا قَدْ تَهَيَّأَ لِلِانْتِقَالِ إِلَى التَّصَوُّرِ وَالتَّخْطِيطِ ، وَلَمْ يَبْدُ فِيهِ تَصَوُّرٌ وَلَا تُخَطُّطٌ لَا ظَاهِرَ وَلَا خَفِيَّ ، فَظَاهِرُ مَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا فِي الْقَدِيمِ أَنَّ الْعِدَّةَ تَنْقَضِي بِهِ

الموسوعة الفقهية - (ج 2 / ص 5737)
والمراد بالحمل الّذي تنقضي العدّة بوضعه ما يتبيّن فيه شيء من خلقه ولو كان ميّتا أو مضغة تصوّرت, ولو صورة خفيّة تثبت بشهادة الثّقات من القوابل, وهذا عند جمهور الفقهاء « الحنفيّة والشّافعيّة والحنابلة ».
وكذلك إذا كانت مضغة لم تتصوّر لكن شهد الثّقات من القوابل أنّها مبدأ خلقة آدميّ لو بقيت لتصوّرت في المذهب عند الشّافعيّة وهو رواية عند الحنابلة لحصول براءة الرّحم به.
وقال الحنفيّة وهو قول آخر عند الشّافعيّة ورواية عند الحنابلة لا تنقضي به العدّة ; لأنّ الحمل اسم لنطفة متغيّرة, فإذا كان مضغة أو علقة لم تتغيّر ولم تتصوّر فلا يعرف كونها متغيّرة إلاّ باستبانة بعض الخلق.
أمّا إذا ألقت نطفة أو علقة أو دما أو وضعت مضغة لا صورة فيها فلا تنقضي العدّة به عندهم.

الموسوعة الفقهية - (ج 2 / ص 14081)
التّعريف
1 - المضغة في اللغة: القطعة من اللّحم قدر ما يمضغ وجمعها مضغ.
قال اللّه تعالى: « يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ ».
ولا يخرج المعنى الاصطلاحي عن المعنى اللغويّ.
الألفاظ ذات الصّلة
«العلقة»
2 - العلقة في اللغة: قطعة من الدّم الجامد متكوّنة من المنيّ.
ولا يخرج المعنى الاصطلاحي عن المعنى اللغويّ.
والصّلة أنّ المضغة طور من أطوار الجنين وكذلك العلقة, فالمضغة مرحلة بعد مرحلة العلقة.
قال اللّه تعالى: « وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ مِن سََُلالَةٍ مِّن طِينٍ, ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِين, ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَاماً فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْماً ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقاً آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ ».

الموسوعة الفقهية - (ج 63 / ص 4)
ذهب الفقهاء إلى أن السقط الذي استبان بعض خلقه كأصبع وغيره ولد تصير به المرأة نفساء, لأنه بدء خلق آدمي, وتصير الأمة أم ولد به إن ادعاه المولى, وكذلك تنقضي العدة به.
وأما إذا لم يستبن شيء من خلقه فقد اختلف الفقهاء فيه على قولين
القول الأول للشافعية, إن المرأة إذا ألقت مضغة أو علقة خفيت على غير القوابل, وقال القوابل إنه مبتدأ خلق آدمي فالدم الموجود بعده نفاس.
وقال المالكية لو ألقت دما اجتمع لا يذوب بصب الماء الحار عليه تنقضي به العدة وما بعده نفاس.
القول الثاني وهو قول الحنفية, فقالوا إنه إن لم يستبن من خلقه شيء فلا نفاس لها.
وقال الحنابلة يثبت حكم النفاس بوضع ما يتبين فيه خلق الإنسان على الصحيح من المذهب ونص عليه أحمد, فلو وضعت علقة أو مضغة لا تخطيط فيها لم يثبت بذلك حكم النفاس, نص عليه وقدمه في الفروع والمجد في شرحه وصححه وابن تميم والفائق.
وعنه يثبت- أي حكم النفاس- بمضغة, وعنه وعلقة.
وقيل يثبت لها حكم النفساء إذا وضعته لأربعة أشهر.

المجموع شرح المهذب ج٢ ص ١٣١
المسألة فالذي يوجب اغتسال الحي أربعة متفق عليها وهي إيلاج حشفة الذكر في فرج وخروج المني والحيض والنفاس وفي خروج الولد والعلقة والمضعة خلاف نذكره إن شاء الله تعالى قريبا ولم يذكره المصنف هنا وسنذكره قريبا وإنما لم يذكره لأنه مندرج عنده في خروج المني لأنه مني منعقد

المجموع ج٢ ص١٥٠
ولو ألقت علقة أو مضغة ففي وجوب الغسل الوجهان الأصح الوجوب ذكره المتولي وآخرون وقطع القاضي حسين والبغوي بالوجوب في المضغة وخص الوجهين بالعلقة قال الماوردي وهل يصح غسلها بمجرد وضعها أم لا يصح حتى تمضي ساعة: فيه وجهان بناء على الوجهين في أن أقل النفاس محدود بساعة أم لا والصحيح الذي يقتضيه إطلاق الجمهور صحة الغسل بمجرد الوضع والصحيح أن النفاس غير محدود والله أعلم

NB:
Rumusan ini diputuskan dlm musyawaroh Grup FKSL via Whatsapp(WA) pada hari Ahad/10 Januari 2016 dg tembusan dan pengawasan dari Al Mukarromuun:

 - KH. M. Azizi Chasbulloh (Malang/Blitar)
 - KH. Akhmad Shampthon Masduqi (Malang)
 - KH. M. Ridlwan Qoyyum (Nganjuk)
 - K. Zahro Wardy (Trenggalek)

Musyawirin:
- KH. M. Hizbulloh Al Haq (Pule Nganjuk)
- KH. Ahmad Zainuri (Gresik)
- K. Thohari Muslim (Nganjuk)
- K. Fatkhun Nuha (Grobogan )
- K. Nidhom Subkhi (Malang)
- K. Ahmad Khafidh (Malang)
- K. Syamsuri Abd. Qohar (Pasuruan)
- KH. Adibuddin (Bangkalan)
- K. Syukron Ma'mun (Brebes)
- K. M. Khoirin (Demak)
- K. Asnawi Ridlwan (Bogor)
- K. Ashfiya' (Nganjuk)
- K. Habibulloh Mu'in (Nganjuk)
- K. Kholid Afandi (Bojonegoro)
- K. Ahmad Muntaha (Surabaya)
- H. Anang Mas'ulun A. Nashir (Sidoarjo)
dan segenap Musyawirin lainnya yg tdk bisa kami sebutkan satu persatu.

DALIL MEMBACA AL QUR'AN SAMPAI KE MAYYIT

DALIL SUNNAH & SAMPAINYA " BACAAN SURAT AL FATIHAH " KEPADA MAYIT
VERSI WAHABI DAN AHLU SUNNAH

Fatihah Untuk Ahli Kubur

Anakku Teuku Wisnu, Ini Dalilnya Baca Al Fatihah Untuk Ahli Kubur

Beberapa hari yang lalu, publik sempat dihebohkan oleh pernyataan saudarakita Teuku Wisnu yang mengatakan bahwa menbaca Surat Alfatihah untuk ahli kubur itu tidak ada dalilnya, untuk itu kali ini kami akan membawakan beberapa dalil yang sudah kami himpun dari berbagi sumber yang menjadi dasar sampainya pahala bacaan Alquran termasuk alfatihah kepada ahli kubur.

Hadis membaca surat Al Fatihah untuk yang meninggal dunia

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya” (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Main 4/449)[2]

Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:

فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر 3 / 184)

“HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan” (Fath al-Bari III/184)

Surat Fatihah Adalah Doa

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah singgah di sebuah kabilah, yang kepala sukunya terkena gigitan hewan berbisa. Lalu sahabat melakukan doa ruqyah dengan bacaan Fatihah (tanpa ada contoh dan perintah dari Nabi). Kepala suku pun mendapat kesembuhan dan sahabat mendapat upah kambing. Ketika disampaikan kepada Nabi, beliau tersenyum dan berkata:

وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ أَصَبْتُمُ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ

“Dari mana kalian tahu bahwa surat Fatihah adalah doa? Kalian benar. Bagikan dan beri saya bagian dari kambing itu” (HR al-Bukhari dan Muslim, redaksi diatas adalah hadis al-Bukhari)

Di hadis ini sahabat membaca al-Fatihah untuk doa ruqyah adalah dengan ijtihad, bukan dari perintah Nabi. Mengapa para sahabat melakukannya, sebab hal ini tidak dilarang oleh Rasulullah. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam al-Hasyr: 7

 “… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”

Yang harus ditinggalkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah! Dalam masalah al-Fatihah ini tidak ada satupun hadis yang melarang membaca al-Fatihah dihadiahkan untuk mayit!

Bahkan membaca al-Fatihah untuk orang yang telah wafat juga telah diamalkan oleh para ulama, diantara ulama ahli Tafsir berikut:

وَأَنَا أُوْصِي مَنْ طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا فِيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي غُرْبَةٍ بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير الرازي : مفاتيح الغيب 18 / 183)

“(al-Razi berkata) Saya berwasiat kepada pembaca kitab saya dan yang mempelajarinya agar secara khusus membacakan al-Fatihah untuk anak saya dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang meninggal nan jauh dari teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan saya sendiri melakukan hal tersebut” (Tafsir al-Razi 18/233-234)

Sunnah Membaca Al Quran Di Kuburan

Imam al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi’iyah tentang membaca al-Quran di kuburan:

وَيُسْتَحَبُّ (لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع شرح المهذب للشيخ النووي 5 / 311)

“Dan dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh al-Syafi’i dan disepakati oleh ulama Syafi’iyah” (al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab V/311)

Di bagian lain Imam Nawawi juga berkata:

قَالَ الشَّافِعِي وَاْلأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ قَالُوْا فَإِنْ خَتَمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا (الأذكار النووية 1 / 162 والمجموع للشيخ النووي 5 / 294)

“Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah berkata: Disunahkan membaca sebagian dari al-Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus” (al-Adzkar I/162 dan al-Majmu’ V/294)

Murid Imam Syafi’i yang juga kodifikator Qaul Qadim[3], al-Za’farani, berkata:

وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا (الروح لابن القيم 1 / 11)

“Al-Za’farani (perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa”

Ibnu Hajar mengulas lebih kongkrit:

ِلأَنَّ الْقُرْآنَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ وَالذِّكْرُ يَحْتَمِلُ بِهِ بَرَكَةٌ لِلْمَكَانِ الَّذِي يَقَعُ فِيْهِ وَتَعُمُّ تِلْكَ الْبَرَكَةُ سُكَّانَ الْمَكَانِ وَأَصْلُ ذَلِكَ وَضْعُ الْجَرِيْدَتَيْنِ فِي الْقَبْرِ بِنَاءً عَلَى أَنَّ فَائِدَتَهُمَا أَنَّهُمَا مَا دَامَتَا رَطْبَتَيْنِ تُسَبِّحَانِ فَتَحْصُلُ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِهِمَا لِصَاحِبِ الْقَبْرِ … وَإِذَا حَصَلَتِ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِ الْجَمَادَاتِ فَبِالْقُرْآنِ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ مِنَ اْلآدَمِيِّ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الْحَيَوَانِ أَوْلَى بِحُصُوْلِ الْبَرَكَةِ بِقِرَاءَتِهِ وَلاَ سِيَّمَا إِنْ كَانَ الْقَارِئُ رَجُلاً صَالِحًا وَاللهُ أَعْلَمُ (الإمتاع بالأربعين المتباينة السماع للحافظ ابن حجر 1 / 86)

“Sebab al-Quran adalah dzikir yang paling mulia, dan dzikir mengandung berkah di tempat dibacakannya dzikir tersebut, yang kemudian berkahnya merata kepada para penghuninya (kuburan). Dasar utamanya adalah penanaman dua tangkai pohon oleh Rasulullah Saw di atas kubur, dimana kedua pohon itu akan bertasbih selama masih basah dan tasbihnya terdapat berkah bagi penghuni kubur. Jika benda mati saja ada berkahnya, maka dengan al-Quran yang menjadi dzikir paling utama yang dibaca oleh makhluk yang paling mulia sudah pasti lebih utama, apalagi jika yang membaca adalah orang shaleh” (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Imta’ I/86)

Dan hadis dari Ali secara marfu’:

وَحَدِيْثُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرْفُوْعًا مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ أَحَدَ عَشَرَ مَرَّةً وَوَهَبَ اَجْرَهُ لِلاَمْوَاتِ اُعْطِىَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ اْلأَمْوَاتِ رَوَاهُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ السَّمَرْقَنْدِي (التفسير المظهرى 1 / 3733 وشرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور للحافظ جلال الدين السيوطي 1 / 303)

“Barangsiapa melewati kuburan kemudian membaca surat al-Ikhlas 11 kali dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, maka ia mendapatkan pahala sesuai bilangan orang yang meninggal. Diriwayatkan oleh Abu Muhammad al-Samarqandi” (Tafsir al-Mudzhiri I/3733 dan al-Hafidz al-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur I/303)

Imam Ahmad Menganjurkan Membaca Alfatihan

Hal ini diperkuat oleh madzhab Imam Ahmad:

(وَتُسْتَحَبُّ قِرَاءَةٌ بِمَقْبَرَةٍ) قَالَ الْمَرُّوْذِيُّ سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُوْلُ إذَا دَخَلْتُمُ الْمَقَابِرَ فَاقْرَءُوْا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَاجْعَلُوْا ثَوَابَ ذَلِكَ إلَى أَهْلِ الْمَقَابِرِ فَإِنَّهُ يَصِلُ إلَيْهِمْ وَكَانَتْ هَكَذَا عَادَةُ اْلأَنْصَارِ فِي التَّرَدُّدِ إلَى مَوْتَاهُمْ يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ (مطالب أولي النهى للرحيباني الحنبلي 5 / 9)

“(Dianjurkan membaca al-Quran di kuburan) Al-Marrudzi berkata: Saya mendengar Imam Ahmad berkata: Jika kalian masuk ke kuburan maka bacalah surat al-Fatihah, al-Falaq, al-Nas dan al-Ikhlash. Jadikan pahalanya untuk ahli kubur, maka akan sampai pada mereka. Seperti inilah tradisi sahabat Anshar dalam berlalu-lalang ke kuburan untuk membaca al-Quran” (Mathalib Uli al-Nuha 5/9)

2 hal penting:

Pertama, Membaca Surat al-Fatihah kepada mayyit itu dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).

Kedua, Membaca al-Qur’an di kuburan itu bukan hal yang dilarang, bahkan ini perbuatan para kaum Anshar. Paling tidak, ini menurut Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).

Hal itu bisa kita temukan di kitab Mathalib Ulin Nuha, karangan Mushtafa bin Saad al-Hanbali (w. 1243 H). Beliau seorang ulama madzhab Hanbali kontemporer, seorang mufti madzhab Hanbali di Damaskus sejak tahun 1212 H sampai wafat. Kitab Mathalib Ulin Nuhaitu sendiri adalah syarah atau penjelas dari kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf al-Karmi (w. 1033 H). (Khairuddin az-Zirikly w. 1396 H, al-A’lam, h. 7/ 234)

Bahkan menurut Imam Ahmad hal diatas adalah konsensus para ulama:

قَالَ أَحْمَدُ الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ لِلنُّصُوْصِ الْوَارِدَةِ فِيْهِ وَلأَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ يَجْتَمِعُوْنَ فِي كُلِّ مِصْرٍ وَيَقْرَءُوْنَ وَيَهْدُوْنَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ فَكَانَ إجْمَاعًا (كشاف القناع عن متن الإقناع للبهوتي الحنبلي 4 / 431 ومطالب اولي النهى للرحيباني الحنبلي 5 / 10)

“Imam Ahmad berkata: Setiap kebaikan bisa sampai kepada mayit berdasarkan dalil al-Quran dan hadis, dan dikarenakan umat Islam berkumpul di setiap kota, mereka membaca al-Quran dan menghadiahkan untuk orang yang telah meninggal diantara mereka, tanpa ada pengingkaran. Maka hal ini adalah ijma’ ulama (Kisyaf al-Qunna’ IV/ 431 dan Mathalib Uli al-Nuha V/10)

PENDAPAT ULAMA SALAFI WAHABI

Ibnu Taimiyah

ibnutaymiyah vs wahhabi

Tentang hadiah pahala, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa jilid 24 halaman 306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah

Syaikh Abdullah al-Faqih

Bahkan ulama Salafi yang bernama Syaikh Abdullah al-Faqih berfatwa  berpendapat bahwa al-Fatihah bisa sampai kepada orang yang telah wafat,:

قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ، سَوَاءٌ الْفَاتِحَةُ أَوْ غَيْرُهَا وَإِهْدَاءُ ثَوَابِ قِرَاءَتِهَا إِلَى الْمَيِّتِ جَائِزٌ وَثَوَابُهَا يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ –إِنْ شَاءَ اللهُ- مَا لَمْ يَقُمْ بِالْمَيِّتِ مَانِعٌ مِنَ اْلاِنْتِفَاعِ بِالثَّوَابِ وَلاَ يَمْنَعُ مِنْهُ إِلاَّ الْكُفْرُ (فتاوى الشبكة الإسلامية معدلة رقم الفتوى 18949 حكم قراءة الفاتحة بعد صلاة الجنازة 3 / 5370)

“…. Membaca al-Quran baik al-Fatihah atau lainnya, dan menghadiahkan bacaannya kepada mayit, maka akan sampai kepadanya –Insya Allah- selama tidak ada yang menghalanginya, yaitu kekufuran (beda agama).” (Fatawa al-Islamiyah 3/5370)

Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H)

Beliau mengatakan bahwa bacaan al-Quran itu sampai dan boleh.

القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبا أو غير قريب. والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت

Pendapat kedua, adalah mayyit bisa mendapat manfaat dari apa yang dikerjakan orang yang masih hidup. Hukumnya boleh, orang membaca al-Quran lantas berkata; “Saya niatkan pahala ini untuk fulan atau fulanah. Baik orang itu kerabat atau bukan. Ini adalah pendapat yang rajih. (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin w. 1421 H, Majmu’ Fatawa wa Rasail, h. 7/ 159)

Jumat, 01 Januari 2016

HUKUM AQIQOH BAGI ANAK YANG SUDAH DEWASA ATAU SUDAH BERUMAH TANGGA

#BISMILLAH

Pertanyaan dari member FKSL

Pertanyaan :
Bagaimanakah hukum Aqiqoh dari/untuk anak yang sudah dewasa atau anak yang sudah berumah tangga?

Rumusan Jawaban :

Khilaf :
1. Madzhab Syafi’i :
Seorang anak yang sudah dewasa atau sudah berumah tangga tapi belum sempat diaqiqohi orang tua/walinya disunnahkan meng-aqiqohi dirinya sendiri, dikarenakan sudah gugurnya tuntutan terhadap orang tua/walinya.

2. Madzhab Hanbali/Hanabilah :
- Imam Ahmad : Tidak disunnahkan mengaqiqohi dirinya sendiri, karena Aqiqoh adalah termasuk hak orang tua.
- Imam Atho' : Tetap disunnahkan mengaqiqohi dirinya sendiri.

Sedangkan kesunnahan orang tua/wali meng-aqiqohi anaknya terperinci sbb. :

1. Madzhab Syafi'iyyah,
-  Orang tua/wali yang dalam keadaan kaya(mampu) disunnahkan meng-aqiqohi anaknya sampai masa baligh.
-  Sedangkan orang tua/Wali yg dalam keadaan miskin(tidak mampu) sejak anaknya lahir sampai masa maksimal nifas, tidak disunnahkan meng-aqiqohi (selebihnya tdk terkena khitob/tuntutan)

2. Madzhab Hanabilah,
Aqiqoh tetap disunnahkan meskipun orang tua/wali dalam keadaan miskin (tidak mampu), bahkan dianjurkan berhutang utk biaya Aqiqoh, dengan batas waktu sampai Baligh.
Kalau setelah Baligh apakah si anak sunnah melakukan aqiqoh untuk diri sendiri?, khilaf diatas. (lihat al Mughni)

والله أعلم بالصواب

Referensi :

توشيح على ابن القاسم ص 273
والعقيقة عن المولود مستحبة وفسر المصنف العقيقة بقوله وهي الذبيحة عن المولود يوم سابعه أي يوم سابع ولادته بحسب يوم الولادة من السبع ولو مات المولود قبل الأسابع ولا تفوت بالتأخير بعده فإن أخرت للبلوغ سقط حكمها في حق العاق عن المولود أما هو فمخير في العاق عن نفسه والترك فإن أخرت أي الذبيحة للبلوغ سقط حكمها في حق العاق عن المولود أي فلا يخاطب بها بعده لانقطاع تعلقه بالمولود حينئذ للاستقلاله أما هو أي المولود بعد بلوغه فمخير في العاق عن نفسه والترك فاما أن يعق عن نفسه أو يترك العقيقة لكن الأحسن أن يعق عن نفسه تداركا لما فات

المجموع شرح المهذب الجزء الثامن ص: 431
قال المصنف والاصحاب فلو ذبحها بعد السابع أو قبله وبعد الولادة أجزأه وان ذبحها قبل الولادة لم تجزه بلا خلاف بل تكون شاة لحم قال أصحابنا ولا تفوت بتأخيرها عن السبعة لكن يستحب أن لا يوخر عن سن البلوغ قال أبو عبد الله البوشيحى من أئمة أصحابنا ان لم تذبح في السابع ذبحت في الرابع عشر والا ففي الحادي والعشرين ثم هكذا في الاسابيع وفيه وجه آخر انه إذا تكررت السبعة ثلاث مرات فات وقت الاختيار قال الرافعي فان أخر حتى بلغ سقط حكمها في حق غير المولود وهو مخير في العقيقة عن نفسه قال واستحسن القفال والشاشي أن يفعلها للحديث المروي أن النبي صلى الله عليه وسلم (عق عن نفسه بعد النبوة) ونقلوا عن نصه في البويطي أنه لا يفعله واستغربوه هذا كلام الرافعي وقد رأيت أنا نصه في البويطي قال (ولا يعق عن كبير) هذا لفظه بحروفه نقله من نسخة معتمدة عن البويطي وليس هذا مخالفا لما سبق لان معناه (لا يعق عن البالغ غيره) وليس فيه نفي عقه عن نفسه (وأما) الحديث الذي ذكره في عق النبي صلى الله عليه وسلم عن نفسه فرواه البيهقي باسناده عن عبد الله ابن محرر بالحاء المهملة والراء المكررة عن قتادة عن أنس ان النبي صلى الله عليه وسلم (عق عن نفسه بعد النبوة) وهذا حديث باطل قال البيهقي هو حديث منكر وروى البيهقي باسناده عن عبد الرزاق قال إنما تركوا عبد الله بن محرر بسبب هذا الحديث قال البيهقي وقد روي هذا الحديث من وجه آخر عن قتادة ومن وجه آخر عن أنس وليس بشئ فهو حديث باطل وعبد الله ابن محرر ضعيف متفق على ضعفه قال الحفاظ هو متروك والله أعلم (فرع) لو مات المولود بعد اليوم السابع وبعد التمكن من الذبح فوجهان حكاهما الرافعي (أصحهما) يستحب ان يعق عنه (والثاني) يسقط بالموت

ويدخل وقتها بانصال جميع الولد لمن أيسر بها حينئذ بأن كانت فاضلة عما يعتبر في الفطرة على الأوجه فإن عجز عنها حين الولادة وأيسر بها قبل السابع استحب في حقه وكذا لو أيسر بها بعد السابع وقبل مضي أكثر النفاس فإنها تستحب له على الظاهر  ومقتضى كلام الأنوار ترجيحه وإن كان في ذلك تردد للأصحاب وإن لم يوسر بها بعد مضي أكثر النفاس لم يؤمر بها.  الباجوري 2 ص 303

الموسوعة الفقهية : ج30 ص 278
من تطلب منه العقيقة : 8 - ذهب الشافعية إلى أن العقيقة تطلب من الأصل الذي تلزمه نفقة المولود بتقدير فقره , فيؤديها من مال نفسه لا من مال المولود ,  ولا يفعلها من لا تلزمه النفقة إلا بإذن من تلزمه . ولا يقدح في الحكم { أن النبي صلى الله عليه وسلم قد عق عن الحسن , والحسين } , مع أن الذي تلزمه نفقتهما هو والدهما ; لأنه يحتمل أن نفقتهما كانت على الرسول صلى الله عليه وسلم لا على والديهما , ويحتمل أنه عليه الصلاة والسلام عق عنهما بإذن أبيهما . ومن بلغ من الأولاد ولم يعق عنه أحد يندب له أن يعق عن نفسه عند الشافعية . ويشترط في المطالب بالعقيقة عندهم : أن يكون موسرا بأن يقدر عليها فاضلة عن مؤنته ومؤنة من تلزمه نفقته قبل مضي أكثر مدة النفاس وهي ستون يوما فإن قدر عليها بعد ذلك لم تسن له . وذكر المالكية أن المطالب بالعقيقة هو الأب . وصرح الحنابلة أنه لا يعق غير أب إلا إن تعذر بموت أو امتناع , فإن فعلها غير الأب لم تكره ولكنها لا تكون عقيقة , وإنما { عق النبي صلى الله عليه وسلم عن الحسن والحسين } ; لأنه أولى بالمؤمنين من أنفسهم . وصرحوا بأنها تسن في حق الأب وإن كان معسرا , ويقترض إن كان يستطيع الوفاء . قال أحمد : إذا لم يكن مالكا ما يعق فاستقرض أرجو أن يخلف الله عليه ; لأنه أحيا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم .

الباجوري
قوله ولا تفوت بالتأخير
الى أن قال ... وهو محمول على على ما إذا كان موسرا بها قبل ذلك لكن حثل التأخير فلا ينافي ما سبق من أنه إذا طرأ اليسار بعد أكثر النفاس فلا تطلب منه

حاشية الشرواني
وَلَوْ كَانَ الْوَلِيُّ عَاجِزًا عَنْ الْعَقِيقَةِ حِينَ الْوِلَادَةِ ثُمَّ أَيْسَرَ بِهَا قَبْلَ تَمَامِ السَّابِعِ اُسْتُحِبَّ فِي حَقِّهِ وَإِنْ أَيْسَرَ بِهَا بَعْضِهَا َالسَّابِعِ مَعَ بَقِيَّةِ مُدَّةِ النِّفَاسِ أَيْ أَكْثَرِهِ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ لَمْ يُؤْمَرْ بِهَا وَفِيمَا إذَا أَيْسَرَ بِهَا بَعْدَ السَّابِعِ فِي مُدَّةِ النِّفَاسِ تَرَدُّدٌ لِلْأَصْحَابِ وَمُقْتَضِي كَلَامِ الْأَنْوَارِ تَرْجِيحُ مُخَاطَبَتِهِ بِهَا وَلَا يَفُوتُ عَلَى الْوَلِيِّ الْمُوسِرِ بِهَا حَتَّى يَبْلُغَ الْوَلَدُ فَإِنْ بَلَغَ يَحْسُنُ لَهُ أَنْ يَعُقَّ عَنْ نَفْسِهِ تَدَارُكًا لِمَا فَاتَ اهـ.

الحاوي الكبير
فَإِنْ كَانَ الْأَبُ مُعْسِرًا بِالْعَقِيقَةِ ثُمَّ أَيْسَرَ بِهَا نُظِرَ يَسَارُهُ، فَإِنْ كَانَ فِي وَقْتِهَا الْمَسْنُونِ وَهُوَ السَّابِعُ كَانَتْ سنة ذبحها متوجه إِلَيْهِ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ السَّابِعِ وَبَعْدَ مُدَّةِ النِّفَاسِ سَقَطَتْ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَالسَّابِعِ فِي مُدَّةِ النِّفَاسِ احْتَمَلَ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَكُونُ مُخَاطِبًا بِسُنَّةِ الْعَقِيقَةِ لِبَقَاءِ أَحْكَامِ الْوِلَادَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ مُخَاطِبًا بِسُنَّتِهَا لِمُجَاوِرَةِ الْمَشْرُوعِ مِنْ وَقْتِهَا.

الحاوي الكبير
وَإِنْ أَخَّرَهَا بَعْدَ السَّبْعَةِ كَانَتْ قَضَاءً مُجْزِيًا عَنْ سُنَّتِهِ، وَيَخْتَارُ أَلَّا يَتَجَاوَزَ بِهَا مُدَّةَ النِّفَاسِ لِبَقَاءِ أَحْكَامِ الْوِلَادَةِ، فَإِنْ أَخَّرَهَا عَنْ مُدَّةِ النِّفَاسِ فَيَخْتَارُ بَعْدَهَا أَنْ لَا يَتَجَاوَزَ بِهَا مُدَّةَ الرَّضَاعِ لِبَقَاءِ أَحْكَامِ الطُّفُولَةِ، فَإِنْ أَخَّرَهَا عَنْ مُدَّةِ الرَّضَاعِ فَيَجِبُ أَلَّا يَتَجَاوَزَ بِهَا مُدَّةَ الْبُلُوغ ِلِبَقَاءِ أَحْكَامِ الْمُصَغَّرِ، فَإِنْ أَخَّرَهَا حَتَّى يَبْلُغَ سَقَطَ حُكْمُهَا فِي حَقِّ غَيْرِهِ، وَكَانَ الْوَلَدُ مُجْزِئًا فِي الْعَقِيقَةِ عَنْ نَفْسِهِ وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَعُقَّ الْكَبِيرُ عَنْ نَفْسِهِ.
رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْمُثَنَّى بْنُ أَنَسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ - " عق عن نفسه بعدما نَزَلَتْ عَلَيْهِ النُّبُوَّةُ ".

المغني الجزء التاسع ص : 364 دار الفكر عبد الله بن أحمد بن قدامة المقدسى أبو محمد (من الكتب الحنابلة)
مسألة قال ويذبح يوم السابع قال أصحابنا السنة أن تذبح يوم السابع فإن فات ففي أربع عشرة فإن فات ففي إحدى وعشرين ويروى هذا عن عائشة وبه قال إسحاق وعن مالك في الرجل يريد أن يعق عن ولده فقال ما علمت هذا من أمر الناس وما يعجبني ولا نعلم خلافا بين أهل العلم القائلين بمشروعيتها في استحباب ذبحها يوم السابع
والأصل فيه حديث سمرة عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويسمى فيه ويحلق رأسه وأما كونه في أربع عشرة ثم في إحدى وعشرين فالحجة فيه قول عائشة رضي الله عنها وهذا تقدير الظاهر أنها لا تقوله ألا توقيفا وإن ذبح قبل ذلك أو بعده أجزأه لأن المقصود يحصل وإن تجاوز أحدا وعشرين احتمل أن يستحب في كل سابع فيجعله في ثمانية وعشرين فإن لم يكن ففي خمسة وثلاثين وعلى هذا قياسا على ما قبله واحتمل أن يجوز في كل وقت لأن هذا قضاء فائت فلم يتوقف كقضاء الأضحية وغيرها

وإن لم يعق أصلا فبلغ الغلام وكسب فلا عقيقة عليه وسئل أحمد عن هذه المسألة فقال ذلك على الوالد يعني لا يعق عن نفسه لأن السنة في حق غيره وقال عطاء والحسن يعق عن نفسه لأنها مشروعة عنه ولأنه مرتهن بها فينبغي أن يشرع له فكاك نفسه ولنا أنها مشروعة في حق الوالد فلا يفعلها غيره كالأجنبي كصدقة الفطر

NB :
Rumusan ini diputuskan dlm musyawaroh Grup FKSL via Whatsapp(WA) pada hari Rabo/30 Desember 2015 dg tembusan dan pengawasan dari Al Mukarromuun :

- KH. M. Azizi Chasbulloh (Malang/Blitar)
- KH. Akhmad Shampthon Masduqi (Malang)
- KH. M. Ridlwan Qoyyum (Nganjuk)
- K. Zahro Wardy (Trenggalek)

Musyawirin :
- KH. M. Hizbulloh Al Haq (Pule Nganjuk)
- KH. Ahmad Zainuri (Gresik)
- K. Thohari Muslim (Nganjuk)
- K. Fatkhun Nuha (Grobogan )
- K. Nidhom Subkhi (Malang)
- K. Ahmad Khafidh (Malang)
- K. Syamsuri Abd. Qohar (Pasuruan)
- KH. Adibuddin (Bangkalan)
- K. Syukron Ma'mun (Brebes)
- K. M. Khoirin (Demak)
- K. Habibulloh Muin (Nganjuk)
- K. Ashfiya' (Nganjuk)
- K. Ahmad Muntaha (Surabaya)
- H. Anang Mas'ulun A. Nashir (Sidoarjo)
- K. Kholid Affandi (Bojonegoro)
dan segenap Musyawirin lainnya yg tdk bisa kami sebutkan satu persatu.

SEPUTAR AQIQOH

#Bismillah

SEPUTAR AQIQOH

HUKUM MENGAQIQOHI ORANG/ANAK YANG SUDAH WAFAT
1. Jika belum baligh, terjadi khilaf :
- Tetap disunnahkan meng-aqiqohi.
- Tidak disunnahkan meng-aqiqohi sebab kematiannya.
(Al Majmu’ Far’un).
2. Jika sudah baligh diperbolehkan meng-aqiqohi bila ada wasiat sebagaimana diperbolehkannya melakukan qurban atas nama mayit (menurut sebagian pendapat).
(Lihat: Mughni al Muhtaj, Al Idloh dan Al Majmu’)

HUKUM AQIQOH SELAIN KAMBING

Selain kambing, diperbolehkan juga aqiqoh dg menyembelih sapi, unta atau sejenisnya walaupun digunakan untuk tujuh orang(musyarokah).
Bahkan mengakomodir dari madzhab shohabat Ibnu Abbas dalam kitab Bughyah Al Mustarsyidin, DIPERBOLEHKAN AQIQOH dengan menyembelih ayam, menthok atau sejenisnya dengan alasan yg penting ada unsur iroqoh dam(mengalirkan darah).
Bahkan Syaikhuna Ibnu Hajar menganjurkan hal tersebut bagi seseorang yg dlm keadaan Faqir. (Bughyah Al Mustarsyidin hal: 258)

HUKUM AQIQOH DI NIATI QURBAN

Mengenai hukum aqiqoh yg sekalian diniatkan utk qurban terjadi khilaf
--  Imam Romli memperbolehkan aqiqoh sekalian diniatkan qurban.
--  Imam Ibnu Hajar tidak memperbolehkan.
     (Lihat: Hasyiyah Al Jamal, Bughyah Al Mustarsyidin, Fatawi li Ibni hajar)

والله أعلم بالصواب

Referensi :

المجموع شرح المهذب الجزء الثامن ص: 431
(فرع) لو مات المولود بعد اليوم السابع وبعد التمكن من الذبح فوجهان حكاهما الرافعي (أصحهما) يستحب ان يعق عنه (والثاني) يسقط بالموت

مغني المحتاج ( ج 4 ص 638 )
( وَلَا ) تَضْحِيَةَ ( عَنْ مَيِّتٍ لَمْ يُوصِ بِهَا ) لقوله تعالى : { وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى } فَإِنْ أَوْصَى بِهَا جَازَ , فَفِي سُنَنِ أَبِي دَاوُد وَالْبَيْهَقِيِّ وَالْحَاكِمِ { أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ عَنْ نَفْسِهِ وَكَبْشَيْنِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَقَالَ : إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمَرَنِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ , فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ أَبَدًا } , لَكِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ شَرِيكٍ الْقَاضِي  وَهُوَ ضَعِيفٌ . وَقَدَّمْنَا أَنَّهُ إذَا ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ يَجِبُ عَلَيْهِ التَّصَدُّقُ بِجَمِيعِهَا , وَقِيلَ تَصِحُّ التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ وَإِنْ لَمْ يُوصِ بِهَا ; لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ , وَهِيَ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُهُ ,

الإيضاح ص 334
فرع لو ضحى عن غيره بغير إذنه أو عن ميت(2) لا يقع عنه إلا أن يكون قد أوصاه الميت(3) ولا يقع عن المباشر لأنه لم ينوها عن نفسه إلا أن يكون جعلها منذورة
(2) أي بلا وصية منه
(3)  أي لحديث علي رضي الله عنه ....الى ان قال : وأطلق أبو الحسن العبادي من الشافعية جواز تضحية عن الميت لأنها ضرب من الصدقة والصدقة تصح عن الميت وتنفعه وتصل اليه بالإجماع
قال القنوجي في شرح المنتهى كما في مفيد الأنام للشيخ عبد الله بن جاسر الحنبلي والتضحية عن ميت أفضل منها عن حي لعجزه واحتياجه لثواب

المجموع شرح المهذب - (ج 8 / ص 406)
(فرع)  لو ضحى عن غيره بغير اذنه لم يقع عنه (وأما) التضحية عن الميت فقد أطلق أبو الحسن العبادي جوازها لانها ضرب من الصدقة والصدقة تصح عن الميت وتنفعه وتصل إليه بالاجماع وقال صاحب العدة والبغوي لا تصح التضحية عن الميت إلا ان يوصي بها وبه قطع الرافعي في المجرد والله أعلم ... الى ان قال : واحتج العبادي وغيره في التضحية عن الميت بحديث على بن أبي طالب رضى الله عنه أنه كان (يضحى بكبشين عن النبي صلى الله عليه وسلم وبكبشين عن نفسه وقال ان رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرني أن أضحى عنه أبدا فأنا أضحى عنه أبدا) رواه أبو داود والترمذي والبيهقي قال البيهقي ان ثبت هذا كان فيه دلالة على صحة التضحية عن الميت والله أعلم

بغية المسترشدين ص 257
فائدة:  عن ابن عباس رضي الله عنه أنه يكفي في الأضحية إراقة الدم ولو من دجاجة وأوز كما قاله الميداني وكان شيخنا يأمر الفقير بتقليده ويقيس على الأضحية العقيقة ويقول لمن ولد له مولود عق بالديكة على مذهب ابن عباس.

حاشية الجمل 5 ص : 265
(قوله والتصدق) وذبحها أي الشاة أفضل من التصدق بقيمتها, ولو نوى بالشاة المذبوحة الأضحية والعقيقة حصلا خلافا لمن زعم خلافه ا هـ شرح م ر

المجموع - (ج 8 / ص 429)
(الثانية) السنة أن يعق عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة فان عق عن الغلام شاة حصل أصل السنة لما ذكره المصنف ولو ولد له ولدان فذبح عنهما شاة لم تحصل العقيقة ولو ذبح بقرة أو بدنة عن سبعة أولاد أو اشترك فيها جماعة جاز سواء أرادوا كلهم العقيقة أو أراد بعضهم العقيقة وبعضهم اللحم كما سبق في الاضحية (الثالثة) المجزئ في العقيقة هو المجزئ في الاضحية

بغية المسترشدين ص: 257 الهداية
(مسألة) مذهب الشافعي ولا نعلم له مخالفاً عدم جواز التضحية بالشاة عن أكثر من واحد، لكنها سنة كفاية عندنا  إلى أن قال... لو دبح شاة ونوى بها الأضحية والعقيقة أجزأه عنهما قاله م ر وقال ابن حجر لاتتداخلان إهـ.

التوشيح ص: 272
فلا تكفي عنهم عقيقة واحدة كما قال إبن حجر ولو أراد بالشاة الواحدة الأضحية والعقيقة لم يكفي خلافا للعلامة الرملي حيث قال لو نوى بالشاة المد بوحة الأضحية و العقيقة حصلا وعليه فتتداخل العقيقة مع الأضحية ويقاس علي ذلك أنه تكفي عقيقة واحدة عن الأولاد.

الفتاويى الكبرى لابن حجر الجزء الرابع ص: 252
(وسئل) رحمه الله تعالى عن ذبح شاة أيام الأضحية بنيتها ونية العقيقة فهل يحصلان أو لا ابسطوا الجواب؟ ( فأجاب ) نفع الله سبحانه وتعالى بعلومه بقوله الذي دل عليه كلام الأصحاب وجرينا عليه منذ سنين أنه لا تداخل في ذلك لأن كلا من الأضحية والعقيقة سنة مقصودة لذاتها ولها سبب يخالف سبب الأخرى والمقصود منها غير المقصود من الأخرى إذ الأضحية فداء عن النفس والعقيقة فداء عن الولد إذ بها نموه وصلاحه ورجاء بره وشفاعته. وبالقول بالتداخل يبطل المقصود من كل منهما فلم يمكن القول به نظير ما قالوه في سنة غسل الجمعة وغسل العيد وسنة الظهر وسنة العصر وأما تحية المسجد ونحوها فهي ليست مقصودة لذاتها بل لعدم هتك حرمة المسجد وذلك حاصل بصلاة غيرها وكذا صوم نحو الاثنين لأن القصد منه إحياء هذا اليوم بعبادة الصوم المخصوصة وذلك حاصل بأي صوم وقع فيه وأما الأضحية والعقيقة فليستا كذلك كما ظهر مما قررته وهو واضح والكلام حيث اقتصر على نحو شاة أو سبع بدنة أو بقرة أما لو ذبح بدنة أو بقرة عن سبعة أسباب منها ضحية وعقيقة والباقي كفارات في نحو الحلق في النسك فيجزي ذلك وليس هو من باب التداخل في شيء لأن كل سبع يقع مجزيا عما نوي به وفي شرح العباب لو ولد له ولدان ولو في بطن واحدة فذبح عنهما شاة لم يتأد بها . أصل السنة كما في المجموع وغيره وقال ابن عبد البر : لا أعلم فيه خلافا . ا هـ . وبهذا يعلم أنه لا يجزي التداخل في الأضحية والعقيقة من باب أولى لأنه إذا امتنع مع اتحاد الجنس فأولى مع اختلافه , والله سبحانه وتعالى أعلم بالصواب.

NB :
Rumusan ini diputuskan dlm musyawaroh Grup FKSL via Whatsapp(WA) pada hari Rabo/30 Desember 2015 dg tembusan dan pengawasan dari Al Mukarromuun :

- KH. M. Azizi Chasbulloh (Malang/Blitar)
- KH. Akhmad Shampthon Masduqi (Malang)
- KH. M. Ridlwan Qoyyum (Nganjuk)
- K. Zahro Wardy (Trenggalek)

Musyawirin :
- KH. M. Hizbulloh Al Haq (Pule Nganjuk)
- KH. Ahmad Zainuri (Gresik)
- K. Thohari Muslim (Nganjuk)
- K. Fatkhun Nuha (Grobogan )
- K. Nidhom Subkhi (Malang)
- K. Ahmad Khafidh (Malang)
- K. Syamsuri Abd. Qohar (Pasuruan)
- KH. Adibuddin (Bangkalan)
- K. Syukron Ma'mun (Brebes)
- K. M. Khoirin (Demak)
- K. Habibulloh Muin (Nganjuk)
- K. Ashfiya' (Nganjuk)
- K. Ahmad Muntaha (Surabaya)
- H. Anang Mas'ulun A. Nashir (Sidoarjo)
- K. Kholid Affandi (Bojonegoro)
dan segenap Musyawirin lainnya yg tdk bisa kami sebutkan satu persatu.