Minggu, 31 Januari 2016

KRITIK TRRHADAP TEOR RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH IBNU TAIMIYAH

Kritik Terhadap Teori Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah ala Ibnu Taymiyyah (Melacak akar pemikiran Wahabi)

Selama ini sering sekali kita mendengar perdebatan menyoal masalah tawassul dengan Nabi dan para wali Allah, soal mencari berkah melalui pembacaan shalawat, mencari berkah melalui ibadah di tempat-tempat tertentu yang diyakini sebagai petilasan para Nabi dan wali Allah, berkirim bacaan Al-Qur’an kepada saudara yang meninggal, hingga masalah rutinitas pembacaan tahlil yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat muslim. Perdebatan ini tentu tidak akan menyeruak dengan mudahnya kecuali ada akar yang menumbuhkannya dan ada penggagas yang memulainya. Kalau kita tengok ke dalam kebiasaan para sufi hal-hal yang tersebut di atas sebenarnya sudah muncul sejak abad kedua dan ketiga hijriyah. Dan permasalahan itu tidak pernah diperdebatkan oleh para ulama Salafush Shalih. Namun hal itu berubah seiring munculnya tokoh muslim bernama Abu Al-Abbas Taqiyiuddin Ahmad bin Abdussalam bin Abdullah bin Taymiyyah al-Harani atau yang biasa dikenal dengan Ibnu Taymiyyah. Ibnu Taymiyyah lahir di Harran, Turki, 1263 M/661 H dan meninggal di Damaskus, Suriah 1328 M/728 H. Ia memunculkan satu kaidah baru di dalam ranah ilmu tauhid dan akidah dengan teorinya yang membagi tauhid ke dalam 3 bagian, yaitu tauhid rububiyyah (meyakini bahwa Allah adalah pencipta alam semesta), tauhid uluhiyyah (meyakini bahwa hanya Allah yang berhak disembah), tauhid asma wa sifat (meyakini berbagai nama-nama dan sifat-sifat Allah). Teori ini biasa dikenal dengan teori “Ushul Al-Tsalatsah” (Pokok Yang Tiga). Teori yang baru dikenal keberadaannya pada abad ke-7 hijriyah ini atau 700 tahun sejak masa Rasulullah SAW akhirnya mendapat pengikut seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Al-Dzahabi, dan di abad ke-18 ada Muhammad bin Abdul Wahab yang menjadi pengikut setia teori ini dan bahkan menyebarkannya ke banyak negeri di dunia Islam.

Namun apakah teori ini benar sesuai ajaran Rasulullah SAW? Apakah teori tauhid yang dibagi tiga ini memang teori yang dianut para sahabat dan ulama Salafush Shalih? Sementara kemunculannya kita ketahui bersama baru 700 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW. Apakah mungkin Rasulullah SAW melupakan perkara mendasar dan besar seperti ini dari ajarannya? Apakah mungkin para sahabat tidak amanah sehingga ajaran ini tidak diketahui hingga 700 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW? Apakah umat Islam selama 700 tahun telah salah dalam bertauhid karena tidak memakai teori ini? Mari kita ulas di dalam pembahasan berikut.

Tulisan ini saya tulis berdasarkan pada karya Dr. Abdullah Umar Kamil yang berjudul “Bayanul Khatha’ fi Taqsim al-Tsalatsi li al-Tauhid” (Penjelasan Kekeliruan Pembagian Tauhid menjadi Tiga).

Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya memunculkan dan mengembangkan teori ini berdasar pada penafsiran secara sepotong dari Surat Luqman ayat 25, Al-Mu’minun 86-87, dan surat Yusuf ayat 106. Berikut cuplikan ayat-ayat tersebut:

و لئن سألتهم من خلق السماوات و الأرض ليقولنّ الله

“Jika kamu (Muhammad) menanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik) “Siapa yang menciptakan langit dan bumi?” pastilah mereka akan menjawab “Allah”.” (QS: Luqman: 25)

قل من رب السماوات السبع و رب العرش العظيم () سيقولون لله

“Katakan lah “Siapa Tuhan langit yang tujuh dan Tuhan Arsy yang agung?” Mereka akan menjawab “(Itu semua) milik Allah”.” (QS: Al-Mu’minun: 86-87)

و ما يؤمن أكثرهم بالله إلّا و هم مشركون

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam Keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS: Yusuf: 106)

Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya menjadikan ketiga ayat ini sebagai landasan pemikiran mereka dalam menyerang kelompok di luar kelompok mereka, utamanya adalah pengikut madzhab Abu Hassan Al-‘Asy’ari secara khusus dan Ahlussunnah Wal Jama’ah secara umum. Ayat ini oleh Ibnu Taymiyyah ditafsirkan sebagai isyarat tentang tauhid rububiyyah yang mana juga diyakini oleh orang-orang musyrik. Dengan kata lain orang musyrik juga bertauhid tapi tauhid rububiyyah. Sangat rancu sekali bukan? Kita semua pasti sudah paham bahwa tauhid itu adalah suatu sifat yang berlawanan dengan syirik. Bagaimana mungkin seorang musyrik itu bertauhid? Dan sama-sama kita pahami bahwa seorang musyrik adalah mereka yang menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya baik dalam hal penciptaan atau pun penyembahan. Orang yang memahami bahwa Allah SWT itu adalah Pencipta alam dan Pengatur segala isinya pasti lah dia tidak akan menyembah sesembahan selain Allah. Sedangkan orang musyrik meski pun mereka mengatakan bahwa Allah SWT adalah pencipta seluruh alam semesta tapi mereka masih yakin bahwa ada zat lain yang bisa menciptakan madharat dan manfaat. Ada zat lain yang mengatur berbagai urusan di alam semesta ini. Ini artinya—kalau pun tauhid rububiyah itu adalah hal yang berbeda dengan tauhid uluhiyah—orang musyrik pun belum bertauhid rububiyyah. Oleh sebab itu lah ayat-ayat yang disebutkan di atas turun untuk membantah mereka.

Jika kita melihat kepada beberapa kitab tafsir induk, semisal Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Kabir Imam Al-Razi, dan kitab tafsir kontemporer semisal Tafsir Al-Maraghi, tidak satu pun dari kitab-kitab tersebut dan tidak satu pun dari para mufassir yang yang mengatakan bahwa ayat-ayat itu ditujukan kepada orang-orang mukmin. Namun sebaliknya bahwa ayat-ayat itu turun untuk mereka orang-orang yang sudah jelas musyrik dengan menyembah berhala, patung-patung, dan benda-benda alam seperti pohon, batu, gunung, dan laut. Para mufassir di dalam banyak kitab tafsir babon juga tidak ada yang menyebutkan bahwa ayat-ayat ini muncul sebagai penjelasan adanya tauhid dibagi tiga. Juga tidak ada satu pun hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa tauhid rububiyyah itu berbeda dengan tauhid uluhiyyah. Tidak ada pula nash yang shahih yang menjelaskan bahwa orang yang bertauhid rububiyyah itu belum dianggap sebagai muslim dan mukmin. Penafsiran ketiga ayat tersebut sebagai dasar hukum pembagian tauhid menjadi tiga, dan tauhid rububiyyah itu belum cukup untuk menjadikan seseorang disebut mukmin hanya muncul setelah 700 tahun setelah Rasulullah SAW wafat yaitu setelah Ibnu Taymiyyah mencetuskan teori Ushul Ats-Tsalatsah.

Lebih dalam lagi Ibnu Taymiyyah menjelaskan masalah ini di dalam kitabnya “Manhaj Al-Sunnah” mengomentari tauhid yang dipegang oleh pengikut Asy’ariyyah dan para ulama kalam, “Mereka telah keluar dari tauhid yang sebenarnya, yaitu tauhid uluhiyyah, dan penetapan tauhid asma wa sifat, dan mereka tidak mengenal tauhid kecuali hanya tauhid rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu dan menjadi rabb-nya (pengelolanya).”

Di karyanya yang lain yang berjudul “Risalah Ahlu al-Sifat” Ibnu Taymiyyah mengatakan bahwa, “Tauhid rububiyyah saja tidak lah menafikan kekafiran dan tidak mencukupi (untuk menjadikan seseorang itu mukmin).”

Di masa yang lain, pengikut dan penyebar ajaran Ibnu Taymiyyah, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab juga menuliskan di dalam banyak karyanya semisal apa yang dituangkan di dalam bukunya “Kasyfusy Syubuhat”. “Dan Nabi terakhir Muhammad SAW telah menghancurkan berbagai gambar-gambar orang-orang Shalih. Allah mengutusnya kepada kaum yang beribadah, berhaji, bersedekah, dan sering berzikir kepada Allah. Akan tetapi mereka menjadikan beberapa dari makhluk sebagai perantara antara mereka dan Allah. Lalu mereka berkata: ‘yang kami kehendaki dari mereka adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan kami mengharapkan syafa’at mereka di sisi Allah, seperti malaikat, Nabi Isa, Maryam, dan orang-orang sholeh selain mereka.” (Kasyfusy Syubuhat hal 3-4)

Muhammad bin Abdul Wahab juga berkata yang senada di dalam “Kasyfusy Syubuhat”, “Mereka orang-orang musyrik mengakui dan mempersaksikan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan bahwasannya tidak ada yang bisa memberi rejeki kecuali Dia. Dan bahwasannya tidak ada yang bisa menghidupkan dan mematikan kecuali Dia. Dan bahwa tidak ada yang mengatur segala urusan kecuali Dia. Dan seluruh apa yang ada di langit yang tujuh beserta isinya, dan bumi yang tujuh beserta isinya adalah hamba-Nya dan berada di bawah aturan dan kekuasaan-Nya.” Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan banyak dalil tentang klaimnya tersebut lalu meneruskan dengan mengataka, “Kalau anda mencari hakikat mengapa Rasulullah SAW memerangi mereka (orang-orang musyrik) itu karena seluruh doa hanya ditujukan kepada Allah, seluruh sembelihan hanya ditujukan kepada Allah, seluruh permohonan hanya ditujukan kepada Allah, dan seluruh ibadah itu ditujukan kepada Allah. Dan anda tahu bahwa pengakuan mereka terhadap tauhid rububiyah (bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur alam semesta) TIDAK LAH MEMBUAT MEREKA MASUK KE DALAM ISLAM, karena maksud mereka itu adalah malaikat, pada nabi, atau para wali, dalam rangka menginginkan syafa'at mereka (malaikat, nabi, dan wali) dan mendekatkan diri kepada Allah. Dan itu lah YANG MENGHALALKAN DARAH DAN HARTA MEREKA (red: boleh membunuh dan merampas harta mereka). Dan ketika itu orang-orang tahu tentang tauhid yang diserukan para Rasul dan orang-orang musyrik enggan mengakuinya." (Muhammad bin Abdul Wahab, "Kasyfu Asy-Syubuhat", Darul Iman, Alexandria, tanpa tahun, hal 16)

Dr. Abdullah Umar Kamil sendiri membantah dua pernyataan ulama garis keras ini di dalam bukunya “Bayanul Khata’ fit Taqsim Al-Tsalatsi lit Tauhid” dengan pernyataannya, “Apakah Rasulullah SAW telah berusaha mendiamkan permasalahan besar seperti ini? Demikian pula para ulama besar umat Islam? Sehingga baru muncul (teori ini) pada abad ke-7 Hijriyyah? Apakah umat Islam pada 7 abad itu bukan lah bagian dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Apakah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pengikut pembagian tauhid ini?”

Lebih lanjut Dr. Abdullah Umar Kamil menjelaskan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga ini tidak lah masuk akal karena baginya sesembahan yang haqq adalah rabb yang haqq. Sedangkan sesembahan yang batil adalah robb yang batil. Dan tidak lah layak untuk diibadahi dan disembah kecuali Dia adalah robb yang haqq. Dan tidaklah berarti bahwa kita boleh menyembah kepada zat yang tidak kita yakini sebagai Zat Pemberi manfaat dan madharat. Dan ini sudah menjadi kaidah umum.

Allah SWT sebagai “Rabb” (Pencipta dan Pengatur alam semesta) dan Allah SWT sebagai sesembahan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Karena Allah SWT adalah Pencipta alam semesta maka Dia menjadi satu-satunya zat yang berhak disembah. Dan karena Allah SWT adalah satu-satu sesembahan maka pastilah Dia Yang Menciptakan alam semesta.

Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah Nabawiyyah banyak sekali menerangkan bahwa Allah SWT yang merupakan Pencipta juga merupakan satu-satunya Zat yang berhak di sembah. Di antaranya disebutkan di dalam Al-Qur’an An-Naml ayat 25:

ألا يسجدوا لله الذي يخرج الخبء في السماوات و الأرض

“Agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.”

Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa tidak ada yang pantas diberi sujud kecuali Dia yang kekuasaannya sempurna di langit dan di bumi.

Di ayat yang lain di surat Ali Imran ayat 80 Allah SWT berfirman:

ولا يأمركم أن تتخذوا الملائكة و النبيين أربابا

“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan.”

Di dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa mereka orang-orang musyrik juga meyakini adanya banyak “Rabb” (pencipta dan pengatur). Terbukti mereka meyakini bahwa malaikat dan para Nabi juga ikut berperan dalam menciptakan berbagai hal di alam semesta ini. Padahal Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya mengatakan bahwa mereka orang-orang musyrik itu mengesakan Allah sebagai pencipta alam semesta dengan tauhid rububiyyah, dan mereka mengakui bahwa tidak ada pencipta (Rabb) selain Allah. Akan tetapi mereka menyekutukan Allah di dalam tauhid uluhiyyah.

Dapat dilihat pula di dalam surat Al-Syu’araa ayat 97-98 yang menceritakan keadaan orang-orang kafir pada hari kiamat:

تالله إن كنّا لفي ضلال مبين () إذ نسويكم برب العالمبن

 "Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, Karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam".

Pada ayat ini diceritakan bahwa orang-orang kafir dan musyrik menyamakan berhala-berhala mereka dengan Robb semesta Allah SWT. Ini artinya orang musyrik juga meyakini ada “robb” lain yang juga menciptakan beberapa hal di alam semesta.

Di ayat yang lain diceritakan kepada kita tentang perjanjian kita dengan Allah SWT sewaktu kita masih ada di alam ruh sebelum dilahirkan ke dunia sebagaimana disebut di dalam surat Al-A’raaf ayat 172:

وإذ أخذ ربك من بني ءادم من ظهورهم ذريتهم و أشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنّا كنّا عن هذا غافلين

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

Dari ayat ini orang-orang yang berakal sehat dan tidak dipenuhi dengan kebencian atau kemarahan pasti lah bisa memahami bahwa kalau lah tauhid rububiyyah—yang menurut Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya disebut sebagai tauhidnya orang-orang musyrik—saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang itu mukmin dan selamat di hari akhir, maka perjanjian yang diambil Allah dari anak manusia tidak lah sah, dan pasti perkataan para orang musyrik di akhirat; "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." juga tidak lah sah. Dan perjanjian yang dilakukan Allah di dalam ayat ini juga menggunakan lafaz “Robb” yang artinya pencipta dan pengatur, namun perjanjian ini sudah termasuk di dalamnya pengakuan tauhid uluhiyyah yang mana dengan mengakui Allah sebagai Robb artinya sudah bersedia untuk tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya.

Ada pun di dalam Sunnah Nabawiyyah disebutkan dengan sanad yang shahih oleh Imam Muslim bahwa di dalam kubur mayit akan ditanyai oleh dua orang malaikat dengan pertanyaan “Man robbuka?” dan bukan dengan pertanyaan “Man ilahuka?” Kenapa kedua malaikat itu tidak mengatakan “Man ilahuka?”? Ini tidak lain karena kedua malaikat itu tidak membedakan kalimat “Robb” dan kalimat “Ilah”. Dengan kata lain Robb pasti lah Ilah yang berhak disembah.

Dr. Abdullah Umar Kamil menganalisa lebih jauh mengapa Ibnu Taymiyyah sampai melakukan kekeliruan dalam membagi tauhid menjadi 3 ini. Banyak faktor yang menjadikan “bid’ah” ini terjadi. Setidaknya ada dua faktor yang mendorong Ibnu Taymiyyah memunculkan teori ini.

Yang pertama adalah pandangan Ibnu Taymiyyah yang sempit yang memandang bahwa di masa Rasulullah SAW orang musyrik itu hanya satu jenis yaitu mereka orang-orang musyrik yang menyembah berhala saja.

Yang kedua adalah pandangan Ibnu Taymiyyah yang memahami bahwa “Rububiyyah” itu hanya mencakup penciptaan saja. Padahal jumhur ulama sepakat bahwa Rububiyyah itu mengandung banyak makna misalnya keyakinan bahwa Allah SWT itu adalah Pencipta alam semesta, keyakinan bahwa Allah SWT adalah pengatur segala urusan di alam semesta ini, keyakinan bahwa Allah yang akan membangkitkan seluruh makhluk di hari kiamat, juga keyakinan bahwa Allah adalah yang menciptakan manfaat dan madharat, dan juga keyakinan bahwa Allah adalah yang mengabulkan segala permohonan dan permintaan hamba-hambanya. Yang artinya jika semua hal tadi tidak terpenuhi maka keyakinan bahwa Allah itu adalah Robb itu tidak sempurna.

Perlu diketahui juga bahwa di masa Rasulullah ada banyak kelompok orang-orang kafir dan musyrik yang mereka berbeda satu sama lain dalam hal kemusyrikan. Semisal orang-orang Dahriyun (orang-orang yang menolak hari kebangkitan), orang-orang atheis yang tidak mempercayai adanya Tuhan, orang-orang majusi yang meyakini adanya dualism Tuhan, orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dengan berhala-berhala mereka dalam hal pengaturan alam semesta, dan orang-orang ahli kitab yang menyembah banyak tuhan.

Dan bagaimana bisa seorang Ibnu Taymiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahab hanya memaknai “rububiyyah” hanya terbatas pada pengakuan bahwa Allah lah yang Menciptakan alam semesta??

Setali tiga uang dengan pendahulunya Ibnu Taymiyyah, Muhammad bin Abdul Wahab juga keliru dalam memahami tata cara ibadah orang-orang Arab pada masa sebelum Rasulullah SAW. Muhammad bin Abdul Wahab menganggap bahwa mereka orang-orang musyrik beribadah, berhaji, bersedekah, dan berzikir kepada Allah sebagaimana halnya umat Islam beribadah, berhaji, bersedekah, dan berzikir. Padahal banyak sekali catatan sejarah yang mengungkapkan bahwa tata cara haji dan ritual ibadah orang-orang musyrik Quraisy dan Arab tidak lah sama dengan umat Islam di masa Rasulullah. Orang-orang musyrik berhaji dengan telanjang, mereka juga memberikan persembahan kepada patung-patung yang di letakkan di sekitar Ka'bah, dan orang kaya di antara mereka justru menindas kaum miskin mereka dan bahkan menjadikan mereka budak. Artinya cara mereka beribadah dengan menyekutukan Allah itu sama sekali tidak sama dengan cara ibadah umat Muslim. Kalau Muhammad bin Abdul Wahab menyamakan umat Muslim dengan orang-orang musyrik yang beribadah kepada patung, benda-benda alam, dan berbagai ritual paganisme lainnya, ini adalah tuduhan yang sangat keji yang dilemparkan kepada para hamba Allah yang meyakini tidak ada manfaat dan madharat selain dari Allah dan Allah adalah satu-satunya sesembahan yang layak disembah. Apakah Muhammad bin Abdul Wahab lupa bahwa mereka yang baru bersyahadat saja Allah sudah mengharamkan darah dan hartanya?

Penggunaan kata “ilah” di dalam Al-Qur’an.

Di dalam Al-Qur’an kita akan menemukan penggunaan kata “ilah” yang berarti sesembahan di banyak tempat dan hampir semuanya merupakan kata dalam bentuk umum dengan meletakkan kalimat jalalah “Allah” sebagai bentuk khusus dan pensucian Allah dari berbagai sifat yang mustahil bagi-Nya, dan sebagai pensucian Nama-Nya,

Sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-An’am ayat 3:

و هو الله في السماوات و في الأرض يعلم سركم و جهركم ويعلم ما تكسبون

“Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.”

Di ayat yang lain juga disebutkan:

هو الذي في السماء إله و في الأرض إله وهو الحكيم العليم

“Dia lah yang menjadi sesembahan di langit dan menjadi sesembahan di bumi, dan Dia lah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 84)

Dari dua ayat tersebut. Dr. Abdullah Umar Kamil menjelaskan bahwa lafaz Jalalah (Allah) di dalam ayat yang pertama memiliki makna “Ilah” atau sesembahan sebagaimana lafah “Ilah” di ayat yang kedua, yang berarti sesembahan. Sehingga bisa diambil makna “Dia lah Sesembahan yang disifati ini dan itu…”

Menurut para ahli bahasa Arab lafaz “Ilah” itu memiliki keterkaitan erat dengan pengaruh yang diberikan oleh entitasnya sebagai sesembahan. Yang mana zat yang menamai dirinya sebagai “ilah” atau sesembahan pastilah dia zat yang meminta untuk disembah dan memiliki kekuasaan mutlak terhadap sesembahannya, baik dalam hal penciptaannya, pengaturannya, pemenuhan hajat hidupnya, dan bahkan sampai pemberian balasan untuk setiap perbuatannya.

Lebih lanjut Dr. Abdullah Umar Kamil menguraikan bahwa setiap zat yang berdiri dengan sifat rububiyah dan berbagai pekerjaan yang mengikutinya maka dia adalah “Ilah” atau sesembahan.

Di ayat yang lain dapat kita ambil contoh sebagai bukti bahwa penggunaan kata “Ilah” atau sesembahan justru mengandung makna rububiyah semisal pada Surat Al-Anbiya ayat 22:

لو كان فيهما ءالهة إلّا الله لفسدتا

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.”

Dari ayat ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa adanya banyak sesembahan itu terbukti sebagai keyakinan yang salah apabila kita menafsiri lafaz “ilah” di dalam ayat ini sebagai zat yang mengatur dan mengelola bumi dan langit. Artinya lafaz “ilah” di sini memiliki arti rububiyyah.

Penggunaan kata “Rabb” di dalam Al-Qur’an dan Bahasa Arab

Ibnu Mandzur di dalam kitabnya “Lisanul ‘Arab” pada pembahasa kata “Rabab” menyebutkan bahwa “Ar-Rabb” adalah Allah Azza wa Jalla, dan tidak disebutkan kata “Ar-Rabb” untuk selain Allah kecuali dengan idhofah (penyandaran). Penggunaan kata “Ar-Rabb” dengan alif dan lam di depannya ditujukan untuk selain Allah hanya ada pada masa Jahiliyah seperti ditujukan kepada raja, tuan, dan para pembesar.

Penggunaan kata “Rabb” di dalam bahasa Arab memiliki beberapa fungsi seperti misalnya:

“Rabbul Walad” yang artinya pendidik anak. “Rabbul Dhai’ah”  yang artinya penjaga desa atau negeri. “Fulan Rabba qaumahu” yang berarti si fulan memimpin kaumnya. Atau bisa memiliki artinya si Empunya semisal di dalam Al-Qur’an surat Qurays ayat 3:

فليعبدوا ربّ هذا البيت

“Dan sembahlah Rabb (yang memiliki) Rumah ini (Baitullah)” (QS. Quraiys: 3)

Dan kita bisa menyimpulkan bahwa kata “Rabb” yang hakiki memiliki makna; zat yang di tangannya diletakkan berbagai urusan mulai dari mengatur, mengelola, mendirikan kemaslahatan, hingga memaksa dan menguasai. Dan kata “rabb” tidak hanya memiliki arti menciptakan saja sebagai mana dipahami oleh Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya.

Di dalam Surat Al-Baqarah ayat 21 disebutkan:

يأيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم

“Wahai manusia sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian.”

Kata “Rabb” di dalam ayat ini mengandung makna “mudabbir” atau pengatur dan pengelola dan di dalam ayat ini ada na’at atau penyambung menggunakan kata “alladzi” yang menyambungkan kalimat “Rabbakum” dengan kalimat “khalaqakum”. Yang mana bisa diambil makna bahwa perintah menyembah (uluhiyah) itu berbarengan dengan perintah tauhid rububiyah (pengakuan bahwa Allah adalah Rabb) dan dua hal ini tidak bisa dipisahkan.

Jika kita meninjau pensifatan syirik kepada orang-orang musyrik di dalam Al-Qur’an kita akan mendapati bahwa mereka orang-orang musyrik juga menyukutukan Allah di dalam hal rububiyyah semisal di dalam surat Fathir ayat 13 yang artinya:

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. yang (berbuat) demikian Itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.”

Ini berarti bahwa orang-orang musyrik juga mempersekutukan Allah di dalam hal kepemilikan langit dan bumi beserta isinya yang artinya mereka syirik di dalam masalah rububiyyah.

Surat Al-Ahqaaf ayat 4 menjadi dalil shahih akan salahnya pandangan Ibnu Taymiyyah dan para pengikutnya bahwa orang-orang musyrik bertauhid di dalam masalah penciptaan. Mari kita simak:

قل أرءينم ما تدعون من دون الله أروني ماذا خلقوا من الأرض أم لهم شرك في السماوات

“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku Apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau Adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit?”

Imam Fakhruddin Ar-Razi sendiri menjelaskan menyoal ayat-ayat yang seolah menunjukkan tauhid rububiyyah itu dimiliki oleh orang-orang musyrik dengan penjelasan gamblang tentang Surat Luqman ayat 25 dengan mengatakan:

“Bahwasannya Allah Ta’alaa setelah menjelaskan bahwa Dia menciptakan langit dengan tanpa tiang dan telah memberikan nikmat lahir dan batin, yang mana mereka mengakui itu tanpa mengingkarinya, dan hal ini berkonsekuensi kepada adanya segala pujian itu untuk Allah. Karena pencipta langit dan bumi dibutuhkan oleh seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi. Dan dengan adanya segala puji itu hanya untuk Allah maka hal ini menuntut supaya tidak ada yang disembah selain Dia, akan tetapi mereka (orang-orang musyrik) tidak mengetahuinya.”

Di dalam penafsirannya yang lain yang terkait dengan ayat ini Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan ketika menafsiri ayat pertama dari surat Al-‘Alaq, bahwa pertanyaan yang dilemparkan kepada orang-orang musyrik atau pernyataan dakwah kepada mereka dengan tema penciptaan yang sangat susah mereka sangkali adalah salah satu metode debat yang diajarkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Ini juga sebagai fase yang harus dilalui ketika berdakwah kepada orang-orang musyrik dengan mengungkapkan hal yang mereka mau tidak mau akan mengakuinya. Namun bukan berarti orang musyrik setelah mengakui bahwa Allah Pencipta alam itu menandakan bahwa mereka telah bertauhid dengan tauhid rububiyyah. Karena sudah dijelaskan di atas bahwa rububiyyah tidak terbatas hanya pada masalah penciptaan. Artinya pengakuan orang musyrik bahwa Allah adalah pencipta tetap tidak berarti mereka telah bertauhid dengan tauhid rububiyyah, namun mereka tetap musyrik—bahkan dalam hal rububiyyah—dengan mereka masih meyakini bahwa ada beberapa urusan di dalam mengatur alam dan segala yang ada di dalamnya yang dikerjakan oleh berhala-berhala yang mereka jadikan sebagai sekutu Allah, meski pun mereka mengakui bahwa Allah lah yang menciptakan alam semesta ini.

Maha Suci Allah dari segala persekutuan baik di dalam menciptakan atau pun mengatur alam semesta. Akhirnya penulis memohon pertolongan kepada Allah untuk selalu terlindung dari kesyirikan dan kesalahan dalam memahami Al-Qur’an. Semoga kita sama-sama mau belajar untuk memperbaiki pemahaman kita tentang Islam yang kita anut bersama ini. Wallahu a’lam bish shawab.


Tambak, 27 Januari 2016

Al-Faqir ilallah
By: Zulfahani Hasyim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar