Jumat, 27 November 2015

PENJELASAN LENGKAP PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG MEMBACA AL QUR'AN KE MAYYIT

MELURUSKAN QOUL IMAM SYAFI'I MENGENAI BACAAN AL-QUR'AN TIDAK SAMPAI KEPADA ORANG MATI
PERMASALAHAN QAUL MASYHUR DALAM MADZHAB IMAM ASY-SYAFI’I YANG MENYATAKAN TIDAK SAMPAINYA BACAAN KEPADA MAYAT

Oleh: K. Muhammad Syakur Dewa. Patemon Probolinggo PP. Darut Tauhid.

Pernyataan qaul masyhur bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada orang mati adalah tidak mutlak, itu karena ada qaul lain dari Imam asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan sebaliknya. Disinilah kita perlu memahami sebuah kalimat ungkapan karakter bahasa, sebenarnya jika kita mau sedikit meluangkan Akal untuk sedikit berpikir, maka Ungkapan seperti itu tidak akan membuat kita heran, kenapa? karena memang sudah semestinya jika bacaan apapun tidak akan sampai pada Mayat!! bahkan tidak hanya bacaan saja, semua amalan kita tidak akan sampai ke orang lain, atau mayat.

Namun Pemikiran Salafi/Wahhabi tidak terbuka untuk ini rupanya. Demikian juga Perkataan jelek atau amalan jelek kita juga tidak akan sampai atau di bebankan kepada Orang lain atau Mayat, jika memang amalan jelek kita itu tidak ada sangkut pautnya dg Orang lain tersebut atau Mayat itu sendiri. Jadi Amalan kita itu sampai atau tidaknya berhubungan dengan kondisi dan hal-hal tertentu, seperti perkataan beliau Imam Syafi’i :

قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
“asy-Syafi’i berkata : aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” [1]
Demikianlah kita harus memahami Perkataan seorang Pembesar Agama Islam sekaliber Imam Syafi,i melalui para Ulama yang lain, entahlah jika Mereka Mendaulat Dirinya Setara Dengan Imam Syafi,i? Juga disebutkan oleh al-Imam al-Mawardi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibnu ‘Allan dan yang lainnya dalam kitab masing-masing yang redaksinya sebagai berikut :

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسناً

“Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’a disisi quburnya maka itu bagus” [2]
Kemudian hal ini dijelaskan oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :

أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. [3]

Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa:

وكلام الشافعي – رضي الله عنه – هذا تأييد للمتأخرين في حملهم مشهور المذهب على ما إذا لم يكن بحضرة الميت أو لم يدع عقبه
“dan perkataan Imam asy-Syafi’i ini (bacaan al-Qur’an disamping mayyit/kuburan) memperkuat pernyataan ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam membawa pendapat masyhur diatas pengertian apabila tidak dihadapan mayyit atau apabila tidak mengiringinya dengan do’a”. [4]
Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj :

قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له

“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit”.[5]
Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-Jumal didalam Futuuhat al-Wahab (Hasyiyatul Jumal) mengatakan pula sebagai berikut :

والتحقيق أن القراءة تنفع الميت بشرط واحد من ثلاثة أمور إما حضوره عنده أو قصده له، ولو مع بعد أو دعاؤه له، ولو مع بعد أيضا اه
“dan tahqiq bahwa bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga. Intahaa”.[6]

فرع : ثواب القراءة للقارئ ويحصل مثله أيضا للميت لكن إن كانت بحضرته، أو بنيته أو يجعل ثوابها له بعد فراغها على المعتمد في ذلك …. (قوله: أما القراءة إلخ) قال م ر: ويصل ثواب القراءة إذا وجد واحد من ثلاثة أمور؛ القراءة عند قبره والدعاء له عقبها ونيته حصول الثواب له
“(Cabang) pahala bacaan al-Qur’an adalah bagi si pembaca dan pahalanya itu juga bisa sampai kepada mayyit apabila dibaca dihadapan orang mati, atau meniatkannya, atau menjadikan pahalanya untuk orang mati setelah selesai membaca menurut pendapat yang kuat (muktamad) tentang hal itu,…. Frasa (adapun pembacaan al-Qur’an –sampai akhir-), Imam Ramli berkata : pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit apabila telah ada salah satu dari 3 hal : membaca disamping quburnya, mendo’akan untuknya mengiringi pembacaan al-Qur’an dan meniatkan pahalanya sampai kepada orang mati.”[7]
Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah:

فالاختيار أن يقول القارئ بعد فراغه: اللهمّ أوصلْ ثوابَ ما قرأته إلى فلانٍ؛ والله أعلم

“Dan yang dipilih (qaul mukhtar) agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.[8]

والمختار الوصول إذا سأل الله أيصال ثواب قراءته، وينبغى الجزم به لانه دعاء، فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعى، فلان يجوز بما هو له أولى، ويبقى الامر فيه موقوفا على استجابة الدعاء، وهذا المعنى لا يخص بالقراء بل يجرى في سائر الاعمال، والظاهر أن الدعاء متفق عليه انه ينفع الميت والحى القريب والبعيد بوصية وغيرها

“dan pendapat yang dipilih (qaul mukhtar) adalah sampai, apabila memohon kepada Allah menyampaikan pahala bacaannya, dan selayaknya melanggengkan dengan hal ini karena sesungguhnya ini do’a, sebab apabila boleh berdo’a untuk orang mati dengan perkara yang bukan bagi yang berdo’a, maka kebolehan dengan hal itu bagi mayyit lebih utama, dan makna pengertian semacam ini tidak hanya khusus pada pembacaan al-Qur’an saja saja, bahkan juga pada seluruh amal-amal lainnya, dan faktanya do’a, ulama telah sepakat bahwa itu bermanfaat bagi orang mati maupun orang hidup, baik dekat maupun jauh, baik dengan wasiat atau tanpa wasiat”. [9]
Al-Imam al-Bujairami didalam Tuhfatul Habib :

قوله: (لأن الدعاء ينفع الميت) والحاصل أنه إذا نوى ثواب قراءة له أو دعا عقبها بحصول ثوابها له أو قرأ عند قبره حصل له مثل ثواب قراءته وحصل للقارئ أيضا الثواب

“Frasa : (karena sesungguhnya do’a bermanfaat bagi mayyit), walhasil sesungguhnya apabila pahala bacaan al-Qur’an diniatkan untuk mayyit atau di do’akan menyampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit mengiringi bacaan al-Qur’an atau membaca al-Qur’an disamping qubur niscaya sampai pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit dan bagi si qari (pembaca) juga mendapatkan pahala”. [10]
Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri didalam As-Siraaj :

وتنفع الميت صدقة عنه ووقف مثلا ودعاء من وارث وأجنبي كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته ولا ينفعه غير ذلك من صلاة وقراءة ولكن المتأخرون على نفع قراءة القرآن وينبغي أن يقول اللهم أوصل ثواب ما قرأناه لفلان بل هذا لا يختص بالقراءة فكل أعمال الخير يجوز أن يسأل الله أن يجعل مثل ثوابها للميت فان المتصدق عن الميت لا ينقص من أجره شيء

“Bermanfaat bagi mayyit yakni shadaqah mengatas namakan mayyit, misalnya waqaf, dan (juga bermanfaat bagi mayyit yakni) do’a dari ahli warisnya dan orang lain, sebagaimana bermanfaatnya perkara yang dikerjakannya pada masa hidupnya, namun yang lainnya tidak memberikan manfaat seperti shalat dan membaca al-Qur’an, akan tetapi ulama mutakhkhirin menetapkan atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, oleh karena itu sepatutnya berdo’a : “ya Allah sampaikanlah pahala apa yang telah kami baca kepada Fulan”, bahkan hal semacam ini tidak hanya khusus pembacaan al-Qur’an saja tetapi seluruh amal-amal kebajikan lainnya juga boleh dengan cara memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, dan sesuangguhnya orang yang bershadaqah mengatas namakan mayyit pahalanya tidak dikurangi”. .[11]
Dari beberapa keterangan ulama-ulama Syafi’iyah diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaul masyhur pun sebenarnya menyatakan sampai apabila al-Qur’an dibaca hadapan mayyit termasuk membaca disamping qubur, [12] juga sampai apabila meniatkan pahalanya untuk orang mati yakni pahalanya ditujukan untuk orang mati, dan juga sampai apabila mendo’akan bacaan al-Qur’an yang telah dibaca agar disampaikan kepada orang yang mati. Sekali Lagi Wahabi Sebagai Peta Bi’ah Dunia seharusnya membaca lebih teliti.

CATATAN KAKI :
[1] Lihat : Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.
[2] Lihat : Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
[3] Lihat : Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23].
[4] Lihat : al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [2/27].
[5] Lihat : Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].
[6] Lihat : Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal [2/210].
[7] Lihat : Ibid [4/67] ;
[8] Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [293]
[9] Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522].
[10] Lihat : Tuhfatul Habib (Hasyiyah al-Bujairami alaa al-Khatib) [2/303]
[11] Lihat : as-Sirajul Wahaj ‘alaa Matni al-Minhaj lil-‘Allamah Muhammad az-Zuhri [1/344]
[12] Banyak komentar dan anjuran ulama Syafi’iyyah tentang membaca al-Qur’an di quburan untuk mayyit, sebagaimana yang sebagiannya telah disebutkan termasuk oleh al-Imam Syafi’i sendiri. Adapun berikut diantara komentar lainnya, yang juga berasal dari ulama Syafi’iyyah diantara lain : al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz bisyarhi al-Wajiz [5/249]

والسنة ان يقول الزائر سلام عليكم دار قوم مؤمنين وانا ان شاء الله عن قريب بكم لاحقون اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم وينبغي أن يدنو الزائر من القبر المزور بقدر ما يدنو من صاحبه لو كان حيا وزاره وسئل القاضى أبو الطيب عن ختم القرآن في المقابر فقال الثواب للقارئ ويكون الميت كالحاضرين يرجى له الرحمة والبركة فيستحب قراءة القرآن في المقابر لهذا المعني وأيضا فالدعاء عقيب القراءة أقرب الي الاجابة والدعاء ينفع الميت

“dan sunnah agar peziarah mengucapkan : “Salamun ‘Alaykum dara qaumi Mukminiin wa Innaa InsyaAllahu ‘an qariibi bikum laa hiquun Allahumma laa tahrimnaa ajrahum wa laa taftinnaa ba’dahum”, dan sepatutnya zair (peziarah) mendekat ke kubur yang diziarahi seperti dekat kepada sahabatnya ketika masih hidup ketika mengunjunginya, al-Qadli Abu ath-Thayyib ditanya tentang mengkhatamkan al-Qur’an dipekuburan maka beliau menjawab ; ada pahala bagi pembacanya, sedangkan mayyit seperti orang yang hadir yang diharapkan mendapatkan rahmat dan berkah baginya, Maka disunnahkan membaca al-Qur’an di pequburan berdasarkan pengertian ini (yaitu mayyit bisa mendapatkan rahmat dan berkah dari pembacaan al-Qur’an) dan juga berdo’a mengiringi bacaan al-Qur’an niscaya lebih dekat untuk diterima sebab do’a bermanfaat bagi mayyit”.
Al-Imam Ar-Ramli didalam Nihayatul Muhtaj ilaa syarhi al-Minhaj [3/36] :

ويقرأ ويدعو) عقب قراءته، والدعاء ينفع الميت وهو عقب القراءة أقرب للإجابة

“dan (disunnahkan ketika ziarah) membaca al-Qur’an dan berdo’a mengiri pembacaan al-Qur’an, sedangkan do’a bermanfaat bagi mayyit, dan do’a mengiringi bacaan al-Qur’an lebih dekat di ijabah”
Al-‘Allamah Syaikh Zainuddin bin ‘Abdil ‘Aziz al-Malibari didalam Fathul Mu’in [hal. 229] :

ويسن كما نص عليه أن يقرأ من القرآن ما تيسر على القبر فيدعو له مستقبلا للقبلة
“disunnahkan –sebagaimana nas (hadits) yang menerangkan tentang hal itu- agar membaca apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an diatas qubur, kemudian berdo’a untuk mayyit menghadap ke qiblat”
Imam Ahmad Salamah al-Qalyubiy didalam Hasyiyatani Qalyubi wa ‘Umairah pada pembahasan terkait ziarah qubur :

قوله: (ويقرأ) أي شيئا من القرآن ويهدي ثوابه للميت وحده أو مع أهل الجبانة، ومما ورد عن السلف أنه من قرأ سورة الإخلاص إحدى عشرة مرة، وأهدى ثوابها إلى الجبانة غفر له ذنوب بعدد الموتى فيها

“frasa (dan –disunnahkan- membaca al-Qur’an) yakni sesuatu yang mudah dari al-Qur’an, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada satu mayyit atau bersamaan ahl qubur lainnya, dan diantara yang telah warid dari salafush shalih adalah bahwa barangsiapa yang membaca surah al-Ikhlas 11 kali, dan menghadiahkan pahalanya kepada ahl qubur maka diampuni dosanya sebanyak orang yang mati dipekuburan itu”.
Syaikh Mushthafa al-Buhgha dan Syaikh Mushthafaa al-Khin didalam al-Fiqhul Manhaji ‘alaa Madzhab al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah [juz I, hal. 184] :

من آداب زيارة القبور: إذا دخل الزائر المقبرة، ندب له أن يسلم على الموتى قائلاً: ” السلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون. وليقرأ عندهم ما تيسر من القرآن، فإن الرحمة تنزل حيث يُقرأ القرآن،ثم ليدع لهم عقب القراءة، وليهدِ مثل ثواب تلاوته لأرواحهم، فإن الدعاء مرجو الإِجابة، وإذا استجيب الدعاء استفاد الميت من ثواب القراءة. والله اعلم.

“Diantara adab ziarah qubur : apabila seorang peziarah masuk area pekuburan, disunnahkan baginya mengucapkan salam kepada orang yang mati dengan ucapan : Assalamu ‘alaykum dara qaumin mukminiin wa innaa InsyaAllahu bikum laa hiquun”, kemudian disunnahkan supaya membaca apa yang mudah dari al-Qur’an disisi qubur mereka, sebab sesungguhnya rahmat akan diturunkan ketika dibacakan al-Qur’an, kemudian disunnahkan supaya mendo’akan mereka mengiringi bacaan al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala tilawahnya untuk arwah mereka, sebab sesungguhnya do’a diharapkan di ijabah, apabila do’a dikabulkan maka pahala bacaan al-Qur’an akan memberikan manfaat kepada mayyit , wallahu ‘alam.”
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali didalam kitab monumentalnya yaitu Ihyaa’ ‘Ulumuddin [4/492] :

ولا بأس بقراءة القرآن على القبور

“tidak apa-apa dengan membaca al-Qur’an diatas qubur”.

NB: Makalah ini beliau ambil dan jabarkan dari FKSl (Forum kajian santri Lirboyo), Karena beliau juga termasuk member yang potensial.

https://mobile.facebook.com/story.php?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C8745450203

HUKUM KERJA SAMA DALAM BUDIDAYA TERNAK AYAM POTONG

" SOLUSI KREATIF UNTUK PELAKU USAHA PETERNAKAN "
                     
Saat ini bisnis/usaha peternakan serta pembesaran bibit ayam potong menjadi komoditi yg sedang marak di beberapa daerah, pelaku bisnis ini tidak hanya dari kalangan individu/perorangan saja tapi juga sudah merambah kalangan2 badan usaha semacam CV, UD bahkan sampai PT. Memang tidak sedikit biaya yang dibutuhkan untuk operasional dalam bisnis ini dan tentunya disesuaikan dengan kapasitas tempat dan kemampuan pemodal pada tiap-tiap daerah.
Melihat beberapa praktek bisnis yg sudah berjalan, dalam tinjauan hukum fiqh, usaha yg dilakukan oleh pemodal dan peternak mengarah pada beberapa kriteria usaha, diantaranya :
1. AQAD IQRODL/akad penyaluran modal usaha dengan cara PINJAMAN, namun prosedur mekanisme dlm sistem penjualan ini ada ikatan perjanjian antara peternak & pemodal, yaitu PETERNAK HARUS MENJUAL KE PEMODAL (perusahaan/perorangan) DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN SEKIAN PERSEN UNTUK PEMODAL, sementara dalam sisi hukum fiqh praktek yg semacam itu "tidak diperbolehkan/haram hukumnya" jika PINJAMAN MODAL(iqrodl) ada unsur manfaat/keuntungan yg kembali kepada pemodal(muqridl), dan yg demikian ini tergolong riba qordli jika syarat penjualan disebutkan dlm aqad (fi sulbil aqdi).                  
 Merujuk pada sistem transaksi diatas, maka hukumnya TIDAK DIPERBOLEHKAN, karena termasuk RIBA QORDLI.

Sebagai catatan, walaupun dari pihak pemodal siap menanggung semua kerugian bukan berarti hal itu bisa menggugurkan hukum riba, sebab pihak pemodal ketika mengalami kerugian sudah dlm kondisi pasrah/menerima (mutabarri').

Sebagai solusi, syarat(keharusan) pihak peternak menjual ke pemodal serta pembagian keuntungan yang sekian persen tidak boleh disebutkan pada waktu pelaksanaan aqad iqrodl.

Referensi :

 الموسوعة الفقهية الكويتية - (ج 34 / ص 226)
( الصُّورَةُ الثَّالِثَةُ ) : 32 - إذَا شُرِطَ فِي عَقْدِ الْقَرْضِ أَنْ يَبِيعَهُ الْمُقْرِضُ شَيْئًا , أَوْ يَشْتَرِيَ مِنْهُ , أَوْ يُؤَجِّرَهُ , أَوْ يَسْتَأْجِرَ مِنْهُ , وَنَحْوَ ذَلِكَ , فَقَدْ نَصَّ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ عَلَى عَدَمِ جَوَازِ هَذَا الِاشْتِرَاطِ , وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ : بِمَا رَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : { لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ } . قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ : وَحَرُمَ الْجَمْعُ بَيْنَ السَّلَفِ وَالْبَيْعِ , لِمَا فِيهِ مِنْ الذَّرِيعَةِ إلَى الرِّبْحِ فِي السَّلَفِ بِأَخْذِ أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَى , وَالتَّوَسُّلِ إلَى ذَلِكَ بِالْبَيْعِ أَوْ الْإِجَارَةِ كَمَا هُوَ الْوَاقِعُ , وَقَالَ : وَأَمَّا السَّلَفُ وَالْبَيْعُ ; فَلِأَنَّهُ إذَا أَقْرَضَهُ مِائَةً إلَى سَنَةٍ , ثُمَّ بَاعَهُ مَا يُسَاوِي خَمْسِينَ بِمِائَةٍ , فَقَدْ جَعَلَ هَذَا الْبَيْعَ ذَرِيعَةً إلَى الزِّيَادَةِ فِي الْقَرْضِ الَّذِي مُوجِبُهُ رَدُّ الْمِثْلِ , وَلَوْلَا هَذَا الْبَيْعُ لَمَا أَقْرَضَهُ , وَلَوْلَا عَقْدُ الْقَرْضِ لَمَا اشْتَرَى ذَلِكَ مِنْهُ , ثُمَّ قَالَ : وَهَذَا هُوَ مَعْنَى الرِّبَا . وَلِأَنَّهُمَا جَعَلَا رِفْقَ الْقَرْضِ ثَمَنًا , وَالشَّرْطُ لَغْوٌ , فَيَسْقُطُ بِسُقُوطِهِ بَعْضُ الثَّمَنِ , وَيَصِيرُ الْبَاقِي مَجْهُولًا , قَالَ الْخَطَّابِيُّ : وَذَلِكَ فَاسِدٌ ; لِأَنَّهُ إنَّمَا يُقْرِضُهُ عَلَى أَنْ يُحَابِيَهُ فِي الثَّمَنِ , فَيَدْخُلَ الثَّمَنُ فِي حَدِّ الْجَهَالَةِ . وَلِأَنَّهُ شَرَطَ عَقْدًا فِي عَقْدٍ فَلَمْ يَجُزْ , كَمَا لَوْ بَاعَهُ دَارِهِ بِشَرْطِ أَنْ يَبِيعَهُ الْآخَرُ دَارِهِ , وَإِنْ شَرَطَ أَنْ يُؤَجِّرَهُ دَارِهِ

 الموسوعة الفقهية الكويتية - (ج 34 / ص 227)
بِأَقَلَّ مِنْ أُجْرَتِهَا , أَوْ عَلَى أَنْ يَسْتَأْجِرَ دَارَ الْمُقْرِضِ بِأَكْثَرَ مِنْ أُجْرَتِهَا كَانَ أَبْلَغَ فِي التَّحْرِيمِ . وَلِأَنَّ الْقَرْضَ لَيْسَ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَةِ , وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ عُقُودِ الْبِرِّ وَالْمُكَارَمَةِ , فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ لَهُ عِوَضٌ , فَإِنْ قَارَنَ الْقَرْضَ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ كَانَ لَهُ حِصَّةٌ مِنْ الْعِوَضِ , فَخَرَجَ عَنْ مُقْتَضَاهُ , فَبَطَلَ وَبَطَلَ مَا قَارَنَهُ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَةِ , وَوَجْهٌ آخَرُ : وَهُوَ أَنَّهُ إنْ كَانَ الْقَرْضُ غَيْرَ مُؤَقَّتٍ فَهُوَ غَيْرُ لَازِمٍ لِلْمُقْرِضِ , وَالْبَيْعُ وَمَا أَشْبَهَهُ مِنْ الْعُقُودِ اللَّازِمَةِ - كَالْإِجَارَةِ وَالنِّكَاحِ - لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَارِنَهَا عَقْدٌ غَيْرُ لَازِمٍ , لِتَنَافِي حُكْمَيْهِمَا . 33 - وَقَدْ ذَكَرَ الْحَنَفِيَّةُ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَسْأَلَةً تَتَعَلَّقُ بِهَذِهِ الصُّورَةِ , وَهِيَ شِرَاءُ الْمُقْتَرِضِ الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ الْمُقْرِضِ بِثَمَنٍ غَالٍ لِحَاجَتِهِ لِلْقَرْضِ , وَقَالُوا : يَجُوزُ وَيُكْرَهُ , وَقَدْ عَلَّقَ الْعَلَّامَةُ ابْنُ عَابِدِينَ عَلَى ذَلِكَ فَقَالَ : أَيْ يَصِحُّ مَعَ الْكَرَاهَةِ , وَهَذَا لَوْ وَقَعَ الشِّرَاءُ بَعْدَ الْقَرْضِ , لِمَا فِي الذَّخِيرَةِ , وَإِنْ لَمْ يَكُنْ النَّفْعُ مَشْرُوطًا فِي الْقَرْضِ , وَلَكِنْ اشْتَرَى الْمُسْتَقْرِضُ مِنْ الْمُقْرِضِ بَعْدَ الْقَرْضِ مَتَاعًا بِثَمَنٍ غَالٍ . فَعَلَى قَوْلِ الْكَرْخِيِّ : لَا بَأْسَ بِهِ , وَقَالَ الْخَصَّافُ : مَا أُحِبُّ لَهُ ذَلِكَ , وَذَكَرَ الْحَلْوَانِيُّ : إنَّهُ حَرَامٌ ; لِأَنَّهُ يَقُولُ لَوْ لَمْ أَكُنْ اشْتَرَيْته مِنْهُ طَالَبَنِي بِالْقَرْضِ فِي الْحَالِ , وَمُحَمَّدٌ لَمْ يَرَ بِذَلِكَ بَأْسًا

 قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع وسلف.
وهذا كما قال. لا يجوز بيع وسلف. صورته: أن يقول: بعتك هذا العبد بألف درهم على أن تفرضني ألفا أخرى. وقال: بعتك هذا بألف على أن أقرضك ألفا، وهو حرام. والمراد بالسلف القرض، ولأنه يؤدي إلى جهالة الثمن؛ لأن البائع ربما كان لا يبيعها بألف ولا القرض فقد وقعت منفعة القرض بوقف جزء منفعة مجهول معلوم إلى الألف الذي هو الثمن فلا يجوز.
إذا تقرر هذا، فلو أسلفه الألف في هذا الموضع كان قرضا فاسدا لا يملكه المستقرض بالقبض ولا بالتصرف؛ لأن المقرض لم يرض بإقراضه ألفا إلا أن يبيع داره منه بألف فيبطل القرض بشرط البيع كما يبطل البيع [ق ٦١ ب] بشرط القرض
بحر المذهب.  ٦٣/٥

 - التبرع لغة: مأخوذ من برع الرجل وبرع بالضم أيضا براعة، أي: فاق أصحابه في العلم وغيره فهو بارع، وفعلت كذا متبرعا أي: متطوعا، وتبرع بالأمر: فعله غير طالب عوضا. (١)
وأما في الاصطلاح، فلم يضع الفقهاء تعريفا للتبرع، وإنما عرفوا أنواعه كالوصية والوقف والهبة وغيرها، وكل تعريف لنوع من هذه الأنواع يحدد ماهيته فقط، ومع هذا فإن معنى التبرع عند الفقهاء كما يؤخذ من تعريفهم لهذه الأنواع، لا يخرج عن كون التبرع بذل المكلف مالا أو منفعة لغيره في الحال أو المآل بلا عوض بقصد البر والمعروف غالبا.
الموسوعة الفقهية الكويتية ج١٠ ص٦٥

والله أعلم بالصواب

NB :

Rumusan ini diputuskan dlm musyawaroh Grup FKSL via Whatsapp(WA) pada hari Selasa-Rabo/24-25 November 2015 dg tembusan dan pengawasan dari Al Mukarromuun :

 - KH. M. Azizi Chasbulloh (Malang/Blitar)
 - KH. Akhmad Shampthon Masduqi (Malang)
 - KH. Ridlwan Qoyyum (Nganjuk)
 - K. Zahro Wardy (Trenggalek)

Musyawirin :
- KH. Hizbulloh Al Haq (Pule Nganjuk)
- KH. Ahmad Zainuri (Gresik)
- K. Thohari Muslim (Nganjuk)
- K. Fatkhun Nuha (Grobogan )
- K. Nidhom Subkhi (Malang)
- K. Ahmad Hafidh (Malang)
- K. Syamsuri Abd. Qohar (Pasuruan),
- KH. Adibuddin (Bangkalan)
- K. Syukron Ma'mun (Brebes),
- K. M. Khoirin (Demak)
- K. Asnawi Ridlwan (Bogor)
- K. Ashfiya' (Nganjuk)
- K. Ahmad Muntaha (Surabaya)
- H. Anang Mas'ulun (Sidoarjo)
dan segenap Musyawirin lainnya yg tdk bisa kami sebutkan satu persatu,,,

KEBOHONGAN KLAIM WAHABI YANG MENGATAKAN " IMAM SYAIFI'I BERFATWA MEMBACA AL QUR'AN TIDAK SAMPAI KE MAYYIT"

IMAM ASY-SYAFI’I :
Pahala Bacaan al-Qur’an Bisa Sampai kepada Mayit

Asumsi bahwa al-Imam asy-Syafi’i Rohimahulloh mengatakan bahwa hadiah pahala membaca al Qur'an (Qiroatul Qur'an) kepada mayit tidak sampai adalah BENAR adanya dan merupakan al-qaul al-Masyhur. Namun, pendapat tersebut TIDAK BERLAKU SECARA MUTLAK.

Pendapat tersebut hanya berlaku dalam kondisi:

1. Pembacaan al-Qur’an tidak dilakukan di hadapan mayit dan pahalanya tidak diniatkan untuk dihadiahkan kepadanya, atau

2. Meniatkan untuknya tapi tanpa mengemasnya dalam konteks doa seperti

 اللهم اجْعَلْ وَأَوْصِلْ ثَوَابَ هَذِهِ الْقِرَاءَةِ لِـ ...

 “Ya Allah, jadikanlah dan sampaikanlah
 pahala (semisal) bacaan al-Qur’an ini untuk ...”

Pemahaman semacam ini tertulis secara jelas dalam berbagai kitab fikih Syafi'iyah seperti : Fath al-Mu’in, Tuhfah al-Muhtaj, al-Majmu' dan semisalnya. Pemahaman tersebut juga diperkuat dengan beberapa argumen sebagai berikut:

1. Meskipun Imam asy-Syafi’i rahimahulloh mengatakan bahwa hadiah pahala kepada mayit tidak sampai, tapi beliau berpendapat membolehkan dan menganggap baik membaca al-Qur’an di kuburan, sebagaimana riwayat :

الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لأبي بكر بن الخلال - ج 1 / ص 294
أخبرني روح بن الفرج ، قال : سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني ، يقول : سألت الشافعي عن القراءة ، عند القبور ؟ فقال : لا بأس بها.
الحاوى الكبير ـ الماوردى - (ج 3 / ص 55)
فَأَمَّا الْقِرَاءَةُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ : " وَرَأَيْتُ مَنْ أَوْصَى بِالْقِرَاءَةِ عِنْدَ قَبْرِهِ وَهُوَ عِنْدَنَا حَسَنٌ.

2. Pernyataan sebagian ulama Syafi’iyah yang menyatakan, bahwa perbedaan pendapat (asy-Syafi’i yang menyatakan tidak sampai dan Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad yang menyatakan sampai) terjadi dalam kondisi bila pembacaan al-Qur’an tidak diiringi dengan doa sebagaimana di atas. Lain halnya bila diiringi dengan doa, maka khilaf tersebut tidak berlaku, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Sulaiman al-Bujairimi :

تحفة الحبيب على شرح الخطيب - (ج 2 / ص 574)
ثم إن محل الخلاف حيث لم يخرجه مخرج الدعاء ، كأن يقول : اللهم اجعل ثواب قراءتي لفلان ، وإلا كان له إجماعاً كما ذكره في المدخل.
3. Ijma ulama tentang sampainya pahala doa kepada mayit, sebagaimana dikutip an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Catatan :
Statement/pernyataan golongan wahabi yg mengacu pada pendapatnya Imam Syafi'i hingga mereka mengklaim bahwa tidak sampainya pahala bacaan al-qur'an kepada mayit, tidak serta merta diasumsikan mutlak. Dikarenakan pendapat Imam Syafi'i yg juga merupakan pendapat yang masyhur tsb. hanya berlaku pada praktek/kondisi yang mana si pembaca murni hanya menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit. Lain halnya jika bacaan al-qur'an tsb. dihadiahkan dengan maksud mendo'akan si mayit, maka Imam Syafi'i menyatakan Sunnah dan pahalanya bisa sampai/bermanfaat bagi mayit.

 والله أعلم بالصواب

Referensi:
1. فتح المعين - (ج 3 / ص 220-222 (
أما القراءة فقد قال النووي ��ي شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل ثوابها للميت بمجرد قصده بها ولو بعدها وعليه الأئمة الثلاثة واختاره كثيرون من أئمتنا واعتمده السبكي وغيره فقال والذي دل عليه الخبر بالإستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وحمل جمع عدم الوصول الذي قاله النووي على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القاريء ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع وقد نص الشافعي والأصحاب على ندب قراءة ما تيسر عند الميت والدعاء عقبها أي لأنه حينئذ أرجى للإجابة ولأن الميت تناله بركة القراءة كالحي الحاضر قال ابن الصلاح وينبغي الجزم بنفع الل��م أوصل ثواب ما قرأته أي مثله فهو المراد وإن لم يصرح به لفلان لأنه إذا نفعه الدعاء بما ليس للداعي فماله أولى ويجري هذا في سائر الأعمال من صلاة وصوم وغيرهما.

2. الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لأبي بكر بن الخلال - ج 1 / ص 294
أخبرني روح بن الفرج ، قال : سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني ، يقول : سألت الشافعي عن القراءة ، عند القبور ؟ فقال : لا بأس بها.

3. الحاوى الكبير ـ الماوردى - (ج 3 / ص 55)
فَأَمَّا الْقِرَاءَةُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ : " وَرَأَيْتُ مَنْ أَوْصَى بِالْقِرَاءَةِ عِنْدَ قَبْرِهِ وَهُوَ عِنْدَنَا حَسَنٌ.

4. الغرر البهية في شرح البهجة (�� ٤ ص ٣٤)
قال في الروضة كأصلها ولا ينفعه قراءة القرآن عنه لكن أفتى القاضي بجواز الاستئجار للقراءة على القبر مدة معلومة وفيما يحمل عليه لتعود المنفعة إلى من له الإجارة طرق أحدها عن القاضي أبي الطيب أن الميت كالحاضر في شمول الرحمة النازلة عند القراءة واختاه النووي في الإجارة قال لأن موضع القراءة موضع بركة وتنزل فيه الرحمة وهذا مقصود ينفع الميت، والثاني أن يعقبها الدعاء لأن الدعاء يلحقه وهو بعدها أقرب إجابة وأكثر بركة، والثالث أن يجعل أجره الحاصل بقراءته للميت فهو دعاء بحصول الأجر له فينتفع به فقول الشافعي وغيره: إن القراءة لا تصل إنه محمول على غير ذلك بل قال ال��بكي بعد حمله كلامهم على ما إذا نوى القارئ أن يكون ثواب قراءته للميت بغير دعاء على أن الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه إذ قد ثبت أن القارئ لما قصد بقراءته نفع الملدوغ نفعته.

5. شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور - (ج 1 / ص 303)
وأما القراءة على القبر فجزم بمشروعيتها أصحابنا وغيرهم وقال الزعفراني سألت الشافعي رحمه الله عن القراءة عند القبر فقال لا بأس به وقال النووي رحمه الله في شرح المهذب يستحب لزائر القبور أن يقرأ ما تيسر من القرآن ويدعو لهم عقبها نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب وزاد في موضع آخر وإن ختموا القرآن على القبر كا�� أفضل

6. المجموع شرح المهذب - (ج 15 / ص 521-522)
واختلف العلماء في وصول ثواب قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل. وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل، والمختار أن يقول بعد القراءة: اللهم أوصل ثواب ما قرأته، والله أعلم اه وقال ابن النحوي في شرح المنهاج: لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور. والمختار الوصول إذا سأل الله أيصال ثواب قراءته، وينبغى الجزم به لانه دعاء، فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعى، فلان يجوز بما هو له أولى، ويبقى الامر فيه موقوفا على استجابة الدعاء، وهذا المعنى لا يخص بالقراء بل يجرى في سائر الاعمال، والظاهر أن الدعاء متفق عليه انه ينفع الميت والحى القريب والبعيد بوصية وغيرها. وعلى ذلك أحاديث كثيرة، بل كان أفضل الدعاء ان يدعو لاخيه بظهر الغيب وقد حكى النووي في شرح مسلم الاجماع على وصول الدعاء إلى الميت، وكذا حكى أيضا الاجماع على أن الصدقة تقع عن الميت ويصل ثوابها ولم يقيد ذلك بالولد.

7. شرح النووي على مسلم - (ج 7 / ص 90)
وقولها ( أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم ) فقوله ان تصدقت هو بكسر الهمزة من إن وهذا لا خلاف فيه قال القاضي هكذا الرواية فيه قال ولا يصح غيره لأنه انما سأل عما لم يفعله بعد وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل وأما الصلاة وسائر الطاعات فلا تصله عندنا ولا عند الجمهور وقال أحمد يصله ثواب الجميع كالحج.

NB :
Rumusan ini diputuskan dlm musyawaroh Grup FKSL via Whatsapp(WA) pada hari Kamis/26 November 2015 dg tembusan dan pengawasan dari Al Mukarromuun :

 - KH. M. Azizi Chasbulloh (Malang/Blitar)
 - KH. Akhmad Shampthon Masduqi (Malang)
 - KH. Ridlwan Qoyyum (Nganjuk)
 - K. Zahro Wardy (Trenggalek)

Musyawirin :
- KH. M. Hizbulloh Al Haq (Pule Nganjuk)
- KH. Ahmad Zainuri (Gresik)
- K. Thohari Muslim (Nganjuk)
- K. Fatkhun Nuha (Grobogan )
- K. Nidhom Subkhi (Malang)
- K. Ahmad Hafidh (Malang)
- K. Syamsuri Abd. Qohar (Pasuruan),
- KH. Adibuddin (Bangkalan)
- K. Syukron Ma'mun (Brebes),
- K. M. Khoirin (Demak)
- K. Asnawi Ridlwan (Bogor)
- K. Ashfiya' (Nganjuk)
- K. Ahmad Muntaha (Surabaya)
- H. Anang Mas'ulun (Sidoarjo)
dan segenap Musyawirin lainnya yg tdk bisa kami sebutkan satu persatu,,,

Kamis, 26 November 2015

KHUTBAH JUM'AH

Khutbah keutamaan dan Wirid Hari Jum'at
-------

الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد
قال الله تعالى: اعوذبالله من الشيطان الر جيم
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

Hadirin Jamaah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah
Dari mimbar khutbah jumat ini khatib mengajak kepada diri khatib dan jamaah sekalian untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Kita tahu derajat kemuliaan seorang hamba di sisi Allah hanyalah dinilai dengan ketakwaannya. Allah berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling Mulia kalian semua di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa

Jumat dianggap hari paling mulia dibanding hari lainnya. Pada hari itu pula seluruh umat Islam, khususnya laki-laki, berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan sholat Jum’at. Kemulian hari Jum’at ini dibuktikan dengan banyaknya ragam ibadah sunah yang dikerjakan khusus pada hari itu.
 Hadirin Jamaah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah
Syaikh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar dalam karyanya Bughyatul Musytarsyidin mengutarakan sebuah Faidah dalam pamungkas kitab beliau:

[فائدة]: ورد أن من قرأ الفاتحة والإخلاص والمعوذتين سبعاً سبعاً عقب سلامه من الجمعة قبل أن يثني رجليه غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر، وأعطي من الأجر بعدد من آمن بالله ورسوله، وبوعد من السوء إلى الجمعة الأخرى، وفي رواية زيادة وقبل أن يتكلم حفظ له دينه ودنياه وأهله وولده ويقول بعدها أربع مرات: اللهم يا غني يا حميد، يا مبدىء يا معيد، يا رحيم يا ودود، أغنني بحلالك عن حرامك، وبطاعتك عن معصيتك، وبفضلك عمن سواك، اهـ باعشن. ونقل عن أبي الصيف أن من قال هذا الدعاء يوم الجمعة سبعين مرة لم تمض عليه جمعتان حتى يستغني. ونقل عن أبي طالب المكي أن من واظب على هذا الدعاء من غير عدد أغناه الله تعالى عن خلقه ورزقه من حيث لا يحتسب، اهـ كردي.

Yang artinya kurang lebih: “[Faidah] Telah datang sebuah keterangan, Bahwa: “Barangsiapa membaca Fatihah, Ikhlas dan Mu’awwidzatain (Al Falaq-An Naas) Tujuh kali tujuh kali-Tujuh kali tujuh kali setelah salam sholat Jum’at sebelum melipat kedua kakinya. Maka, Dosa-dosanya yang telah lampau dan yang akan datang akan di ampuni serta akan mendapatkan pahala sejumlah orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Dan mendapat janji terhindar dari Su’ul Khaatimah sampai Jum’at selanjutnya”.
Dalam sebagian riwayat ada penambahan:
Dan sebelum ia berbicara. Maka, Ia akan dijaga Agama, Dunia, Keluarga dan Anaknya.

- Lalu, Setelah membaca Fatihah, Ikhlas dan Mu’awidzatain. Bacalah Do’a: Allahumma Yaa Ghaniyyu Yaa Hamiid, Yaa Mubdi-u Yaa Mu’iid, Yaa Rakhiimu Yaa Waduud, Aghnini/Aghninaa biKhalalika ‘An Haraamika, Wa Bitha’aathika ‘An Ma’shiyatiKa, Wa Bifadlika ‘Amman SiwaaKa (Yaa Allah,,,, Wahai Dzat yang maha kaya, wahai dzat yang maha terpuji, Wahai Dzat yang memulai segalanya, Wahai Dzat yang mengembalikan (seluruh makhluk padaNya), Wahai Dzat yang maha pengasih, Wahai Dzat yang maha mencintai. Berilah aku/kami kekayaan dengan rizki halalMu, berilah kami ketaatan untuk menjauhi maksiat kepadaMu dan meminta anugrahMu mengalahkan selainMu) Intaha Ba’isyun.
- Di Nukil dari Imam Abi Shaif: “Barangsiapa berdo’a dengan doa ini (Allahumma Yaa Ghaniyyu Yaa Hamid…) pada hari Jum’at tujuh puluh kali. Maka, dua jum’at tidak akan terlewatkan sehingga ia kaya”.
- Di Nukil dari Imam Abi Thalib Al Makkiy: “Barangsiapa yang membiasakan doa ini tanpa batasan hitungan. Maka, Allah akan membuat tidak tergantung dengan makhluk. Dan Allah akan memberikanyya rizki yang tidak di sangka-sangka”.

Hadirin Jamaah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah
Keutamaan hari juma’t lainnya tersurat dalam sabda Baginda Nabi SAW, berikut ini:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  “إِنَّ فِي الْجُمْعَةِ سَاعَةً لاَ يَسْأَلُ الله الْعَبْدُ فِيْهَا شَيْئًا إِلاَّ أَتَاهُ الله إِيَّاهُ (رواه مسلم وأبو داود)
Artinya: “Sesungguhnya pada hari Jum’at terdapat suatu waktu dimana hamba yang meminta kepada Allah sesuatu, pasti Allah akan mengabulkan permintaannya. (HR. Muslim dan Abu Daud). Dan hadist:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  “أَكْثِرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا” (رواه البيهقي)
Artinya: “Perbanyaklah kalian membaca salawat kepadaku pada hari Jum’at dan pada malamnya (malam Jum’at), karena barang siapa membaca salawat kepadaku sekali maka Allah akan membalasnya sebanyak sepuluh kali”. (HR. Baihaqi).

Hadirin Jamaah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah Dalam beberapa riwayat dikisahkan bahwa Nabi SAW melakukan aktivitas tertentu di hari Jum’at. Aktifitas tersebut tidak melulu bersifat ritual, semisal  wiridan, do’a, sholat, dan sejenisnya.. Akan tetapi, beliau juga suka mengerjakan ibadah yang bersifat sosial.  Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya, ‘Amal Yaum wa Lailah, mengatakan:
 ويقرأ بعد الجمعة قبل أن يتكلم: الإخلاص والمعوذتين (سبعا سبعا). ويكثر من الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم يوم
الجمعة وليلة الجمعة.ويصلى راتبة الجمعة التي بعدها في بيته لا في المسجد. وما ذا يفعل بعدها؟ ويمشى بعدها لزيارة أخ أو عيادة مريض أو حضور جنازة أو عقد نكاح
“Nabi SAW membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas usai sholat Jumat sebanyak tujuh kali dan beliau juga memperbanyak sholawat pada hari Jumat dan malamnya. Ia juga mengerjakan shalat sunah setelah sholat Jum’at di rumahnya, tidak di masjid. Setalah itu apa yang dilakukan Nabi SAW? Beliau mengunjungi saudaranya, menjenguk orang sakit, menghadiri penyelenggaraan jenazah, atau menghadiri akad nikah.”
 Nabi SAW mengajarkan kepada umatnya agar membiasakan membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas sebanyak tujuh kali setelah sholat jum’at, serta memperbanyak sholawat. Usai membaca kalimat suci tersebut dan melantunkan do’a, biasanya beliau melakukan sholat sunah di rumahnya.  Hari Jum’at juga dijadikan Rasulullah SAW sebagai momentum untuk silaturahmi kepada sanak-famili. Semisal, mengunjungi orang-orang yang sedang sakit ataupun ditimpa musibah, membantu proses penyelenggaraan jenazah, atau menghadiri akad nikah

Kaum muslimin jamaah jumat yang dimuliakan Allah
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari khutbah yang singkat ini adalah:
Mari jadikanlah hari Juma’t momentum yang berharga dengan Do’a dan amaliyah yang diridloi Allah Ta’ala. Dan senatiasa mengharap Rahmat Allah Ta’ala, terjauhkan dari api neraka. Amiin ya Rabbal ‘alamin.

Terakhir, kami akan mengutip pendapat Wali agung dan ulama yang menjadi panutan Umat Muslim, yang di sitir kitab I’anatuThaalibin:

إعانة الطالبين - (ج 2 / ص 106) عن سيدي عبد الوهاب الشعراني - نفعنا الله به - أن من واظب على قراءة هذين البيتين في كل يوم جمعة، توفاه الله على الاسلام من غير شك، وهما: إلهي لست للفردوس أهلا * * ولا أقوى على نار الجحيم فهب لي توبة، واغفر ذنوبي * * فإنك غافر الذنب العظيم ونقل عن بعضهم أنها تقرأ خمس مرات بعد الجمعة..
Artinya kurang lebih: “Dari Sayyidku Syaikh Abdul Wahhab As Sya’raani Nafaanallahu bihi: Barangsiapa yang membiasakan membaca dua bait ini, setiap hari jum’at. Maka, Allah akan mewafatkannya menetapi agama Islam tanpa ada keraguan. Dan bait itu adalah: Ilahi lastu lilfirdausi ahla, wa laa aqwa ala Naril jahiimi,,,, dan di nuqil dari sebagian ulama: Bait itu di baca lima kali setelah Jumatan.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِيِمْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

KHUTBAH KEDUA

اَلْحَمْدُلِلّهِ حَمْدًاكَثِيْرًاكَمَااَمَرَ. وَاَشْهَدُاَنْ لاَاِلهَ اِلاَّللهُ وَحْدَه لاَشَرِيْكَ لَهُ. اِرْغَامًالِمَنْ جَحَدَبِهِ وَكَفَرَ. وَاَشْهَدُاَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُاْلاِنْسِ وَالْبَشَرِ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ مَااتَّصَلَتْ عَيْنٌ بِنَظَرٍ وَاُذُنٌ بِخَبَرٍ
اَمَّا بَعْدُ : فَيَااَ يُّهَاالنَّاسُ !! اِتَّقُوااللهَ تَعَالىَ. وَذَرُوالْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَوَمَابَطَنْ. وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَفِيْهِ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ. فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاًعَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْاتَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَاصَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. في ِالْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌمَجِيْدٌ
اَللّهُمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِالرَّاشِدِيْنَ سَيّدِنَا اَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ سَائِرِاَصْحَابِ نَبِيِّكَ اَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِى التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ
اَللّهُمَّ اغْفِرْلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَاوَاهِبَ الْعَطِيَّاتِ. اَللّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّاالْغَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالزِّنَا وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ. وَسُوْءَالْفِتَنِ مَاظَهَرَمِنْهَا وَمَابَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا هَذَاخَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِبَلاَدِالْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَااَتِنَافِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
عِبَادَالله اِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوااللهَ الْعَظِيْمِ يذكركم وَاشْكُرُوهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ

Senin, 23 November 2015

DALIL BACA YASIN DAN TAHLIL

YASINAN DAN TAHLILAN PUNYA DALIL

Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178

قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال

قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata:
Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata:
TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.

Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”

Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول

“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”

HUKUM TAHLIL

TAHLILAN KOQ HARAM …..!!!!!!!

KATA SIAPA …..???

TAHLILAN berasal dari kata hallala, yuhallilu,
 tahlilan, artinya membacakan kalimat La Ilaha Illalloh.

 Seperti yang tertera dalam Lisanul ’Arab bagi Ibnu Mandzur Al-Ifriqy juz XIII sebagai berikut

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻴﺚ ﺍﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻗﻮﻝ ﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ

”Telah berkata Allaits :arti Tahlil adalah mengucapkan ﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ ”
Dan yang perlu kita ketahui adalah semua rangkaian kalimat yang ada dalam Tahlil diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit.Tahil ini dijalankan berdasar pada dalil-dalil.

DALIL YANG PERTAMA ;

(Al-Tahqiqat, juz III. Sunan an-Nasa’i, juz II)

ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﻋﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﻴﺖﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﺫﻛﺮﺍﺳﺘﻮﺟﺐﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﺍﻟﺠﻨﺔ
ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻰ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺉ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ))

Barang siapa menolong mayyit dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan dzikir, maka Alloh memastikan surga baginya.”
(HR. ad-Darimy dan Nasa’I dari Ibnu Abbas)

DALIL YANG KEDUA

 (Tanqih al-Qoul)

ﻭﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﺗﺼﺪﻗﻮﺍﻋﻠﻰ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻣﻮﺍﺗﻜﻢ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻣﻮﺍﺗﻜﻢ ﻭﻟﻮﺑﺸﺮﺑﺔ ماﺀﻓﺎﻥ ﻟﻢ ﺗﻘﺪﺭﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﺒﺄﻳﺔ ﻣﻦ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﺎﻥ ﻟﻢ ﺗﻌﻠﻤﻮﺍﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ ﻓﺎﺩﻋﻮ ﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟﻤﻐﻔﺮﺓ ﻭﺍﻟﺮﺣﻤﺔ ﺍﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﺪﻛﻢ ﺍﻹﺟﺎﺑﺔ

Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang telah mati dari keluarga kalian walau hanya air seteguk. Jika kalian tak mampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika kalian tidak mengerti Al-Qur’an, berdo’alah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh,  ﺗﻌﺎﻟﻰ الله  telah berjanji akan mengabulkan do’a kalian.”

DALIL YANG KETIGA ;

 (Kasya-Syubhat li as-Syaikh Mahmud Hasan Rabi)

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺑﻰ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻳﻌﻨﻰﻟﺰﺍﺋﺮ ﺍﻷﻣﻮﺍﺕ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ ﻣﺎﺗﻴﺴﺮﻭﻳﺪﻋﻮﻟﻬﻢ ﻋﻘﺒﻬﺎﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰﻭﺍﺗﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻷﺻﺤﺎﺏ

“Dalam Syarah al-Muhamdzdzab Imam
 an-Nawawi berkata:
 Adalah disukai seorang berziarah kepada orang mati lalu membaca ayat-ayat al-Qur’an sekedarnya dan
 berdo’a untuknya.
 Keterangan ini diambil dari teks Imam Syafi’I dan disepakati oleh para ulama yang lainnya.”

DALIL KEEMPAT ;

ﺇﻗﺮﺀﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﻣﻮﺗﺎﻛﻢ ﻳﺴﻰ
( (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺣﻤﺪ ﻭﺍﺑﻮﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻭﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ

“Bacalah atas orang-orangmu yang telah mati, akan Surat Yasin” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah,
 Ibnu Hibban, dan Alhakim)

DALIL KELIMA ;
 (Fathul mu’in pada Hamisy I’anatuttholibin, juz III)

ﻭﻗﺪ ﻧﺺ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰﻭﺍﻷﺻﺤﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻧﺪﺏﻗﺮﺍﺀﺓ ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮﻋﻨﺪﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻋﻘﺒﻬﺎﺍﻯ ﻻﻧﻪ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺍﺭﺟﻰﻟﻼﺟﺎﺑﺔ ﻭﻻﻥ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺗﻨﺎﻟﻪﺑﺮﻛﺔ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻛﺎﻟﺤﻲﺍﻟﺤﺎﺿﺮ

“Dan telah menyatakan oleh Assyafi’I dan Ashab-nya atas sunnah membaca apa yang mudah di sisi mayit,
 dan berdo’a sesudahnya, artinya karena bahwasanya ketika itu lebih diharapkan diterimanya, dan karena bahwa mayyit itu mendapatkan barokah qiro’ah seperti orang hidup yang hadir.”
Dan masih banyak dalil-dalil lain….

MEWAKILKAN PERWAKILAN KEPALA KUA KEPADA ORANG LAIN

Hasil Rumusan LBM NU Jawa Timur
Tanggal 7-8 November 2015 di Trenggalek

Mewakilkan Perwalian Kepala KUA kepada Orang Lain (PCNU Kab. Blitar)

Deskripsi Masalah :

Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 telah ditetapkan, bahwa Wali Hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Apabila kepala KUA Kecamatan yang bersangkutan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi yang membidangi Tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberikuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk salah satu Penghulu pada kecamatan tersebut atau yang terdekat untuk sementara waktu menjadi wali hakim pada wilayahnya.

#Pertanyaan

a. Bolehkah Kepala KUA Kecamatan mewakilkan perwaliannya kepada orang lain seperti halnya wali nasab?
b. Dalam fikih, apa istilah pembentukan dan pengangkatan Kepala KUA Kecamatan oleh Menteri Agama? Qadhi, Naib, atau apa?

#Jawaban :

a. Berdasar Peraturan Menteri Agama No.30 Tahun 2005 Pasal 3 ayat 2, Kepala KUA tidak boleh istikhlaf/mewakilkan karena untuk istikhlaf dibutuhkan izin dari Imam, sementara aturan yang berlaku menunjukkan tidak adanya izin dari Imam.

Dasar Pengambilan Hukum :

Umdat al Mufti wa al Mustafti Juz 2 Halaman 521
قال الشيخ الفقيه جمال الدين محمد بن عبد الرحمن بن حسن بن عبد الباري الأهدل رحمه الله : يشترط في متولي عقود الأنكحة أن يكون حرا ذكرا مسلما عدلا فقيها اى عارفا بأبواب النكاح و مقادير العدة وصريح الطلاق و الرجعة و كناياتها وللقاضي الإستخلاف و النيابة في ذلك ان أذن له الإمام او كثر عمله في الناحية التى هو متول فيها وعجز عن الإتيان بجميع ما وليه فله ان يستخلف في القدر المعجوز عنه وإلا فلا يجوز وصيغة التولية أن يقول من تجوز له التولية كالإمام والقاضي لمن يريد توليته وليتك عقوج الأنكحة او استخلفتك فيها فيقول قبلت ولو قال الإمام وليت من رغب في عقج النكاح من علماء بلد كذا لم يصح.

Tuhfat al Muhtaj Juz 11 Halaman 282
(ولو وكل) غير الحاكم (قبل استئذانها) يعني إذنها (في النكاح لم يصح) النكاح (على الصحيح) لأنه لا يملك التزويج بنفسه حينئذ فكيف يفوضه لغيره أما بعد إذنها وإن لم يعلم به حال التوكيل فإنه يصح كما هو ظاهر اعتبارا بما في نفس الأمر أما الحاكم فله تقديم إنابة من يزوج موليته على إذنها له بناء على الأصح أن استنابته في شغل معين استخلاف لا توكيل

Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah Juz 33 Halaman 312
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الإْمَامَ إِذَا أَذِنَ لِلْقَاضِي فِي الاِسْتِخْلاَفِ فَلَهُ ذَلِكَ وَعَلَى أَنَّهُ إِذَا نَهَاهُ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ، وَذَلِكَ لأِنَّ الْقَاضِيَ إِنَّمَا يَسْتَمِدُّ وِلاَيَتَهُ مِنَ الإْمَامِ، فَلاَ يَمْلِكُ أَنْ يُخَالِفَهُ فِي تَعْيِينِ خَلَفٍ لَهُ مَتَى نَهَاهُ،كَالْوَكِيل مَعَ الْمُوَكِّل،أَمَّا إِنْ أَطْلَقَ الإْمَامُ فَلَمْ يَأْذَنْ وَلَمْ يَنْهَ فَهُنَاكَ اتِّجَاهَاتٌ فِي الْمَذَاهِبِ تَفْصِيلُهَا فِي مُصْطَلَحِ(اسْتِخْلاَف ف 2 )

Roudlotut Tholibin Juz 7 halaman 74
فرع في فتاوى البغوي أنه إذا لم يكن ولي سوى الحاكم فأمر يستأذنها رجلا بتزويجها فزوجها الرجل بإذنها هل يصح النكاح يبنى على أن استنابة القاضي في شغل معين كتحليف وسماع شهادة يجري مجرى الإستخلاف أم لا إن قلنا نعم جاز قبل استئذانها وصح النكاح وإلا فلا يصح على الأصح كتوكيل الولي قبل الإذن

b. Kepala KUA dalam kajian fiqh statusnya sebagai Mutawalli Li Uqudi al Ankihah atau Mustakhlaf.

Dasar Pengambilan Hukum :

Hasiyah al Bajuri ala Fath al Qarib Juz 3 Hal 229
ثم الحاكم. عاما كان او خاصا كالقاضي والمتولي لعقد الأنكحة او لهذا العقد بخصوصه

Umdat al Mufti wa al Mustafti Juz 2 Halaman 521
والمراد بمن يتولي عقود الأنكحة هو من يزوج من لا ولي لها او لها ولي غائب الى مرحلتين او عضلها وليها او كان محرما او فقد ولم يعرف موضعه هذا هو الذي تحتاج الي الشروط المذكرة أما لو جاء الولي والزوج الي شخص ليتوسط بينهما في العقد ويلقنهما فلايشترط فيه شيء من الشروط السابقة لأنه لو قال الولي للزوج بحضرة شاهدين عدلين زوجتك بنتي فقال قبلت نكاحها صح وان لم يكن بينهما قاض ولاعالم ولاغيرهما اذا تم ذلك.

Al Gharar al Bahiyyah Sharh al Bahjah al Wardiyah Juz 14 Hal. 243
( قَوْلُهُ : ثُمَّ السَّلْطَنَةُ ) قَالَ م ر الْمُرَادُ بِالسُّلْطَانِ هُنَا وَفِيمَا يَأْتِي مَنْ شَمِلَهَا وِلَايَتُهُ عَامًّا كَانَ أَوْ خَاصًّا كَالْقَاضِي وَالْمُتَوَلِّي لِعُقُودِ الْأَنْكِحَةِ .وَالْمُرَادُ بِالْمُتَوَلِّي لِعُقُودِ الْأَنْكِحَةِ مَنْ نَصَّبَهُ بَدَلَهُ فِي وِلَايَةِ الْعُقُودِ لَا مَنْ نَصَّبَهُ لِإِجْرَاءِ الْعَقْدِ بَيْنَ الزَّوْجِ وَالْوَلِيِّ كَمَا هُمْ الْآنَ...

والله أعلم بالصواب

Minggu, 22 November 2015

DALIL AMALIYAH ISLAM NUSANTARA

" DALIL LENGKAP AMALIYAH ISLAM RAMAH DI BUMI NUSANTARA"

Haul

A. Pengertian
Secara bahasa haul adalah setaun secara istilah adalah peringatan satu tahun meninggalnya seseorang. Dalam acara haul biasanya terdapat beberapa kegiatan diantaranya: ziarah, dzikir, tahlil, halaqah, manaqib, tausyrah, bakti social, dan lain sebagainya

B. Dalil-dalil haul
Ada banyak dalil syar’I tentang haul diantaranya dalam kitab Al-kawakib ad-Durriyah, juzI, hlm 32 diterangkan:

قَالَ اْلوَاقِدِ وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ قَتْلَ أُحُدٍ فِىْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا لَقَاهُمْ بِالشَعْبِ رَفَعَ صَوْتَهُ يَقُوْلُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ وَكَانَ اَبُوْ بَكْرٍ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَالِكَ وَكَذَالِكَ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ. وَفِى نَهْجِ اْلبَلَاغَةِ – اِلَى اَنْ قَالَ- وَفِى مَنَاقِبِ سَيِّدِ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لِلسَّيِّدِ جَعْفَرِ اْلبَرْزَنْجِْي قَالِ: وَكَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالَّسلَامُ يَأْتِي قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ بِأُحُدٍ عَلَى رَأْسِ كُلِّ حَوْلٍ-الخ.

Al-waqidi berkata: Rosul mengunjungi makam para pahlawan Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib ( tempat makam mereka ), Rosul agar keras berucap : Assalamu ‘alaikkum bima sahabartum faniqma ‘uqba ad-dar (semoga kalian selalu beroleh kesejahteraan atas kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh, akhirat tempat yang paling nikmat . Abu Bakar, Umar, Utsman juga melakukan hal yang serupa. Sampai kata-kata…Dalam Manaqib sayyid as-Syuhada Hamzah bin abi Tholib yang ditulis Sayyid Ja’far al-Barzanjy, dia berkata : Rosululoh mengunjungi makam Syuhada Uhud setiap awal tahun..

Dalil kedua , al-fatawa al-Kubra, juz II hlm, 18 : Ahkam al-fukaha, juz III, hlm. 41-42 :

ذِكْرَ يَوْمِ اْلوَفَاةِ لِبَعْضِ اْلاَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ مِمَّا لَا يَنْهَاهُ الشَّرِيْعَةُ الْغُرَّاءُ، حَيْثُ اَنَّهَا تَشْتَمُِ غَالِبًا عَلَى ثَلَاثَةِ أُمُوْرٍ مِنْهَا زِيَارَةُ اْلقُبُوْرِ، وَتَصَدُّقُ بِاْلمَأْكُوْلِ وَاْلمَشَارِبِ وَكِلَاهُمَا غَيْرُ مَنْهِيٍّ عَنْهُ، وَمِنْهَا قِرَاَةُ اْلقُرْآنِ وَاْلوَعْدِ الدِّيْنِي وَقَدْ يُذْكَرُ فِيْهِ مَنَاقِبُ اْلمُتَوَفَّى وَذَالِكَ مَسْتَحْسَنٌ لِلْحَثِّ غَلَى سُلُوْكِ الطَّرِيْقَتِهِ اْلمَحْمُوْدَةِ كَمَا فِى الْجُزْءِ الثَّانِى مِنَ الْفَتَوِى اْلكُبْرَى لِاِبْنِ حَجَرٍ وَنَصَّ عِبَاَرتُهُ: عِبَارَةُ شَرْحَيِ اْلعُبَابِ: وَيَحْرُمُ النَّدْبُ مَعَ اْلبُكَاءِ كَمَا حَكَاهُ فِى اْلاَذْكَارِ وَجَزَمَ بِهِ فِى اْلمَجْمُوْعِ وَصَوَّبَهُ اْلاَسْنَوِي-اِلَى اَنْ قَالَ-اِلَّا ذِكْرُ مَنَاكِبِ عَالِمٍ وَرَعٍ اَوْ صَالِحٍ لِلْحَثِّ عَلَى سُلُوْكِ طَرِيْقَتِهِ وَحُسْنُ الظَّنِّ بِهِ بَلْ هِيَ حِيْنَئِذٍ بِالطَّاعَةِ أَشْبَهُ لِمَا يَنْشَأُ عَنْهَا مِنَ اْلبِرِّ وَالْخَيْرِ وَمِنْ ثَمَّ مَازَالَ كَثِيْرً مِنَ الصَّحَابَةِ وَغَيْرِهِمْ مِنَ اْلعُلَمَاءِ يَفْعَلُوْنَهَا عَلَى مَمَرِّ اْلاِعْصَارِ مِنْ غَيْرِ اِنْكَارٍ.

Memperingati hari wafat para wali dan para ulama termasuk amal yang tidak dilarang agama. Ini tiada lain karena peringatan itu biasanya mengandung sedikitnya 3 hal : ziarah kubur, sedekah makanan dan minuman dan keduanya tidak dilarang agama. Sedang unsur ketiga adalah karena ada acara baca al’qur’an dan nasehat keagamaan. Kadang dituturkan juga manaqib ( biografi ) orang yang telah meninggal. Cara ini baik baik untuk mendorong orang lain untuk mengikuti jalan terpuji yang telah dilakukan si mayit, sebagaimana telah disebutkan dalam qitab fatawa al-Kubara,juz II, Ibnu Hajar, yang teksnya adalah ungkapan terperinci dari al-Ubab adalah haram meratapi mayit sambil menangis seperti diceritakan dalam kitab al-Azkar dan dipedomani dalam al-Majmu’, al-Asnawi membenarkan cerita ini. Sampai pernyatan …kecuali menuturkan biografi orfang alim yang Wira’i dan sleh guna mendorong orang mengikuti jalannya dan berbaik sangka dengannya. Juga agar orang bisa lagsung berbuat taat, melakukan kebaikan seperti jalan yang telah dilalui almarhum. Inilah sebabnya sebian sahabat dan ulama selalu melakukan hal ini sekian kurun waktu tanpa ada yang mengingkarinya.

Dari dalil-diatas dapat disimpulkan bahwa peringatan haul itu dapat dibenarkan secara syara’

H. Ziarah Kubur

A. Pengertian
Secara bahasa ziarah artinya berkunjung. Secara istilah adalah mengunjungi makam orang yang sudah meninggal untuk mendo’akannya, bertabaruk, I’tibar ataupun mengingat untuk mengingat. Hari akhirat.
Amalan-amalan yang telah dilakukan saat ziarah berbeda-beda yang umum dilakukan yaitu membaca Al-Qur’an, tahlil, solawat dan berdo’a kepada Alloh semata.

B. Dalil-dalil ziarah kubur
Diantara dalil-dalil Sya’i tentang disunahkannya ziarah adalah sebagaimana hadist-hadist berikut.

عَنْ بَرِيْدَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِىْ زِيَارَةِ قَبْرِ اُمَّةِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَةِ.(رواه الترمذي.٩٧٠)

“Dari Buraidah, ia berkata Rosululloh SAW bersabda “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad teah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat.

Disebut dalam kitab Kasyf As-Syubuhat, hlm 39 :

عَنْ هِشَامِ بْنِ سَاِلمِ قَالَ: عَاشَتْ فَاطِمَةَ بَعْدَ اَبِيْهَا خَمْسَةَ وَسَبْعِيْنَ يَوْمًا لمَ ْتُرَى-كََاشِرَةٌ وَلَا صَاحِكَةٌ تَأْتِى قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ فِىْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّتَيْنِ اْلاِثْنَيْنِ وَاْلخَمِيْسِ فَتَقُوْلُوْهَا هُنَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ.

Hadist dari Hisyam bin Salim:setelah 75 hari ayahnya ( Nabi Muhammad ) meninggal, Fathimah tidak lagi murung,ia selalu ziarah ke makam para Syuhada dua hari dalam seminggu, yakni setiap Senin dan Kamis, sambil berucap: disini makam Rosululloh.

Dalam Kasyf as-Syubuhat, hlm 39 disebutkan dalam hadist sebagai berikut :

وَرَوَى اَيْضًا الِتْرِمذِي وَالْحَاكِمُ فِي نَوَادِرِ اْلاُصُوْلِ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اْلغَفُوْرُِ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ عَنْ اَبِيْهِ مِنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَعَرَّضَ عَلَى اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى اْلاَبَاءِ وَاْلاُمَّهَاتِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ فَيَفْرَحُوْنَ بِحَسَانَتِهِمْ وَتُزْدَادُ وُجُوْهُهُمْ بَيَاضًا وَاَشْرَافًا.

Sebuah hadist yang diriwayatkan Tirmidzi dan Hakim dalam kitab Nawadir al-Ushul, hadist dari Abdul Ghafur bin Abdul Aziz, dari ayahnya, dari kakaknya, dia mengatakan bahwa Rosululloh bersabda: Bahwa amal manusia itu dilaporkan kepada Alloh setiap hari Senin dan Kamis, lalu diberitahukan kepada para Nabi, kepada bapak-bapak, ibu-ibu mereka yang lebih dulu meninggal pada hari Jum’at. Mereka gembira bila melihat amal-amal baiknya, sehingga tampak wajahnya bersinar putih berseri.

Dalam kitab Kasyf as-Syubuhat as-Syaikh Mahmud Hasan Rabi hlm. 129 diterangkan tentang ziarah dan amalan-amalannya:

(قَالَ النَّوَاوِيُّ) فِىْ شَرْحِ اْلمُهَذَّبِى يُسْتَحَبُّ يَعْنِى لِزَائِرِ اْلاَمْوَاتِ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عُْبَاهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّفِعِيُّ وَالتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَاب

Dalam Syarh al-Muhadzdzab imam an-Nawawi berkata adalah disunahkan bagi seorang yang berziarah kepada orang mati agar membaca alat-alat Al’quran sekadarnya dan berdo’a untuknya. Keterangan ini diambil dari teks imam Syafi’I dan disepakati oleh para ulama yang lainnya.
Dalam kitab Nahjal al-Balaghah, hlm. 394-396 disebutkan sebuah hadist Nabi :

وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ قُبُوْرَ شُهَدَاءِ أُحُدٍ وَقُبُوْرَ اَهْلِ اْلبَقِيْعِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَيَدْعُوْ لَهُمْ بِمَا تَقَدَّمَ ( رواه مسلم واحمد وابن ماجه.)

Rosululloh berziarah ke makam Syuhada ( orang-orang mati sahid ) dalam perang uhud dan makam keluarga Baqi’ dia mengucapkan salam dan mendo’akan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).

Disebutkan dalam kitab I’anat at-Thalibin juz II hlm.142:

فَقَدْ رَوَى اْلحَاكِمُ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ زَارَ قَبْرَ اَبَوَيْهِ اوَ ْاَحَدَهُمَا فِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً غَفَّرَ اللهُ لَهُ وَكَانَ بَارًّا بِوَالِدَيْهِ.

Hadist riwayat hakim dari Abu Hurairah Rosululloh bersabda: Siapa ziarah kemakam orang tuanya setiap hari Jum’at, Alloh pasti akan mengampuni dosa-dosanya dan mencatatnya sebagai bukti baktinya kepada orang tua.

Kemudian kaitannya dengan hadist Nabi SAW yang secara tegas menyatakan perempuan berziarah kubur:

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ اْلقُبُوْرِ (رواه احمد ٨٠٩٥ )

“Dari Abu Hurairah R.A bahwa sesungguhnya Rosululloh SAW melaknat wanita yang berziarah kubur.” (HR. Ahmad :8095 )

Menyikapi hadist ini ulama menyatakan bahwa larangan itu telah dicabut menjadi sebuah kebolehan berziarah baik bagi laki-laki dan perempuan. Imam al-Tirmidzi menyebutkan dalam kitab as-Sunan: Sebagian ahli ilmu mengaatakan bahwa hadist itu diucapkan sebelum Nabi SAW membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rosulullos SAW membolehkannya laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu.” ( Sunan at-Thirmidzi :979 )

Ketika berziarah seseorang dianjurkan membaca al’quran atau lainnya,sebagaimana sabda Rosululloh SAW:

عَنْ مُعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِقْرَؤُوْ عَلَى مَوْتَاكُمْ “يس” (رواه ابو داود، ٢٧١٤)

Dari Ma’qilbin Yasar R.A berkata, Rosululloh SAW bersabda; Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati diantara kamu,. “ (HR. Abu Dawud :2714 )

Dalil-dalil ini membuktikan bahwa ziarah kubur itu memang dianjurkan. Terlebih jika yang diziarahi itu adalah makam para wali dan orang saleh. Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab berziarah.ke makam para wali adalah ibadah yamg disunahkan. Demikian pula dengan perjalanan kemakam mereka.” (Al-Fatawi al-Kubra, juz II hlm. 24)

Berziarah ke makam para wali dan orang-orang shaleh telah menjadi tradisi para ulama salaf. Diantaranya adalah Imam al-Syafi’I R.A jika ada hajat, setiap hari beliau berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Seperftipengakuan beliau dalam rfiwayat yang shahih.
Dari Ali bin Maimun berkata” Aku mendengar imam al Syafi’i berkata” Aku selalu bertabaruk dengan Abu Hanifah dan berziarah mendatangi makamnya setiap hari. Apabila aku memiliki hajat, maka aku slat dua rakaat, lalu mendatangi makam beliau,dan aku mohon hajat itu kepada Alloh SWT disisi makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku terkabul.” ( Tarikh Baghdad,juz 1, hal. 123)

I. Tawasul

A. Pengertian
Secara bahasa tawasul artinya mengambil perantara secara istilah diartikan sebagai salah satu cara berdo’a kepada Alloh SWT dan salah satu dari beberapa pintu tawajuh kepada Alloh SWT dengan menggunakan Wasilah (perantara) adapun yang dituju dari tawasul ini adalah Alloh semata.

B. Dalil-dalil tawasul
Ada beberapa daliltentang diperbolehkannya tawasul baik dalil Al’quran, as-sunnah maupun atsar. Diantaranya firman Alloh SWT:



Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh SWT. Dan carilah perantara untuk sampai kepada Alloh SWT. Berjihadlah kamu di jalan-Nya mudah-mudahan kamu dapat keuntungan.” (QS. Al-Ma’idah:35).

Sayid Muhammad bin Alawi Al-Maliki memberikan komentar tentang ayat ini: Bahwa yang dimaksud dengan الوسيلةdalam ayat ini adalah setiap sesuatu yang dijadikan pendekatan/perantara kepada Alloh SWT lebih lanjut ia menjelaskan :

وَلَفْظُ اْلوَسِيْلَةِ عَامٌ فِى اْلآيَهِ كَمَا تَرَى فَهُوَ شَامِلٌ لِلتَّوَاسُلِ بِاالذَّوَاتِ اْلفَاضِلَةِ مِنَ اْلاَنْبِيَاءِ وَالصَّالحِيِْنَ فِى اْلحَيَاةِ وَبَعْدَ اْلمَمَاتِ وَباِلْاتِيْاَنِ بِاْلاَعْمَالِ الصَّالِحَةِ عَلَى اْلوَجْهِ اْلمَأْمُوْرِ بِهِ وَلِلتَّوَاسُلِ بِهَا بَعْدَ وُقُوْعِهَا.

Seperti yang kamu ketahui bahwa lafal الوسيلة pada ayat diatas bersifat umum yang memungkinkan artinyaberwasilah dengan dzat-dzat yang utama seperti para Nabi, orang-orang soleh,baik dalam masa hidup mereka maupun sudah mati juga memungkinka diartikan berwasilah dengan amal-amal soleh dengan menjalankan amal-amal soleh itu dan dijadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.

Dalam tafsir sowi dijelaskan:

وَيَصِحُّ اَنَّ اْلمُرَادَ بِالتَّقْوَى اِمْتتَِالُ اْلمَأْمُوْرَاتِ الْوَاجِبَةِ وَتَرْكُ اْلمَنْهِيَّاتِ اْلمُحَرَّمَةِ وّابْتِغَاءِالْوَسِيْلَةَ مَايُقِرُّبِهِ اِلَيْهِ مُطْلَقًا، وَمِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ مَحَبَّةُاَنْبِيَاءِ اللهِ تَعَلَى وَاَوْلِيَائِهِ وَالصَّدَقَاتِ وَزِيَارَةِ اَحْبَابِ اللهِ وَكَشْرَةِ الدُّّعَاءِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَكَشْرَةِ الذِّكْرِ وَغَيْرِذَلِكَ.فَالْمَعْنَى كُلُّ مَا يُقَرِّ بُكُمْ اِلَى اللهِ فَالْزَمُوْهُ وَاتْرُكُوْامَا يُبْعِدُكُمْ عَنْهُ اِذَاعَلِمْتَ ذَلِكَ. فَمِنَ الضَّلَالِ اْلمُِيْن وَالْخُسْرَانِ الظَّاهِرِ يَكْفِيْرُ الْمُسْلِمِيْنَ بِزِيَارَةِ أَوْلِيَاءِ اللهِ زَاعِمِيْنَ اَنَّ زِيَارَتَهُمْ مِنْ عِبَادَةِ غَيْرِ اللهِ كَلَّا بَلْ هِيَ مِنْ جُمْلَةِ الْمَحْبَةِ فِى اللهِ الَّتِى قَالَ فِيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلَا لَا اِيْمَانَ لِمَنْ لَا مَحَبَّةَ لَهُ، وَالْوَسِيْلَةِ لَهُ الَّتِى قَالَ اللهُ فِيْهَا: وَابْتَغُواْ اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ:.اھ ΅

Yang dimaksud dwngan taqwa yaitu menjalankan perintah-perintah yang wajib dan menjauhi larangan-larangan yang diharamkan juga mencari perantara untuk mendekatkan kepada Alloh, secara mutlak. Dan termasuk di dalamnya adalah mencari para Nabi, wali-wali Alloh, sodaqoh, menziarahi kekasih-kekasih Alloh, memperbanyak do’a, silaturahim, memperbanyak dzikir dan lain sebagainya. Artinya menjalankan sasuatu yang dapat menjauhkan kita dari Alloh . Maka sesuatu yang dapat mendekatkan kita kepada Alloh dan meninggalkan sesuatu yang dapat menjauhkan kita dari Alloh. Maka suatu kesesatan yang jelas dan kerusakan yang jelas juga bila mengkairkan orang-orang yang berziarah kemakam-makam wali Al;loh dengan menganggap bahwa ziarah adalah sirik. Padahal ziarah itu sebagian bentuk mahabbah kepada Alloh seperti yang Rosululloh sabdakan” tiadakah iman bagi orang yang tidak mempunyai perantara kepada Alloh sp yang Alloh Firmankan: Carilah perantara untuk menuju Alloh.”

Dalam ayat yang lain Alloh SWT berfirman:



“Jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa),lalu mereka dating kepadamu (hai Muhammad)dan meminta ampunan kepada Alloh SWT, kemudian Rosul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Alloh SWT Yang Maha meerima taubat dan yang Maha Penyayang akan menerima tobat mereka .”(QS. Al-Nisa ;64) .

Imam Bukhori juga meriwayatkan hadist tentang tawasulnya sahabat umar bin khatab ketika melakukan shalat istis’qo :

عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ اِذَاقَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعِبَاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ الَّلَهُمَّ اِنَا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمَّ نَبِيِّناَ فاَسْقِناَ قاَلَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخارى،٩٥٤)

Dari Anas bin Malik R.A beliu berkata “Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin alkhathab bertawasul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdo’a “Ya Alloh kami pernah berdo’a dan bwertawasul kepada-Mu dengan Nabi SAW, maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.” Anas berkata “Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al- Bukhori :954)

Menyikapi tawasul sayyidina Umar R.A tersebut Sayyidina Abbas R.A berdo’a;

اَللَّهُمَّ اِنَّهُ لَمْ يَنْزِلُ بَلَاءٌ اِلَّا بِذَنْبِ وَلَا يُكْشَفُ اِلَّا بِتَوْبَةِ قَدْ تَوَ جَّهَ اْلقَوْمُ بِي اِلَيْكَ لِمَكَا نِي… الج اخرجه الز بير بن بكار (التحذ ير من الأغترار١٢٥)

Ya Alloh sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawasul kepadaku untuk memohon kepada Mu karena kedudukanku disisi NabiMu….diriwatkan oleh al-Zubair bin Bakkar.:”(Al-Tahdzir min al-Ightirar, hlm. 125)

Mengomentari hal ini Syaikh Abdul Hayyi al-amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan, pada hakikat nya tawasul yang dilakukan Sayyidina umar R.A dengan Sayyidina Abas R.A merupakan tawasul dengan Nabi SAW (yang pada waktu itu telah wafat) disebabkan posisi Abbas sebagai paman Nabi SAW dan karena kedudukannya disisi Nabi SAW. (Al-Tahdzir min al-Ightirar
hal:6)

قَلَ ابْنُ تَيْمِيِّ فِي الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْجَيِّ وَالْمَيِّتِ كَمَازَعَمَ بَعْضُهُمْ فَقَبدْ صَجَّ عَنْ بَعْضِ الصَّجَابَةِ اَنَّهُ اُمِرَ بَغْضُ الْمُجْتاَ جِيْنَ اَنْ يَتَوَسَّلُوْا بِهِ صَلَّئ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِئ خِلَا فَتِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَوَ سَّلَ بِهِ قَقُضِئَتْ حَاجَتُهُ كَمَا ذَكَرَهُ الطَّبْرَانئِ

Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Shirath al – Mustaqim : Tak ada perbedaan antara orang hidup dan mati seperti yang diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadist sohih menegaskan : Telah diperintahkan kepada orang – orang yang memiliki hajat dimasa khalifah Ustman untuk bertawassul kepada nabi setelah dia wafat. Kemudian, mereka bertawassul kepada Rosul, dan hajat mereka pun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh ath – Thabrany.

Dalam kitab 40 masalah agama, jilid 1, hal 137 – 138 disebutkan:

عَنْ اَنَسٍ اَنْ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَئ باِلْعَباَّسِ بْنِ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقاَلَ اَللَّهُمَّ كُناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّناَ فَتُسْقَيْناَ وَاِناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمِّ بِنَبِيِّناَ فاَسْقِناَ فَيُسْقَوْنَ. (رواه البخارى.

Dari sahabat Annas, ia mengatakan : Pada zaman Umar bin Khaththab mengatakan : pernah terjadi musim peceklik. Ketika melakukan sholat istisqo Umar ber tawassul kepada paman Rosulullah, Abbas bin Abdul Muththlib ; Ya Tuhan, dulu kami mohon kepada – Mu dengan tawassul paman nabi – Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka. (HR. al – Bukhari).

اِنَّ التَّوَسُّلَ وَالتَّشَفُّعَ بِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِجَاهِهِ وَبَرَكَاتِهِ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسِلِيْنَ وَسِيْرَةِ السَّلَفِ الصَّلِحِيْنَ.

Sesungguhnya tawassul dan minta syafa’at kepada Nabi atau dengan keagungan dan kebesarannya, termasuk diantara sunnah (amal kebiasaan) para Rosul dan orang – orang Salaf Shalihin (para pendahulu yang soleh – soleh).

Adpun kaitannya dengan ayat – ayat Al – Qur’an yang sering digunakan untuk mengharamkan tawassul seperti ayat – ayat dibawah ini :

اَلَا للهِ الدَّيْنِ الْخَالِصُ وَالَّدِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُونِهِ اَوْلِياَءَ مَانَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوناَ اِلىَ اللهِ زُلْفَى (الزمر:٢٣ )

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah – lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang – orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat – dekatnya.” (QS. Al – Zumr: 23).
Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan cermat, Syaikh Abdul Hayyi al –‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan “Perkataan para penyembah berhala “Kami menyembah mereka (berhala – berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat – dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para Rosul itu tidak menyembah mereka. Tetapi karena dia tau bahwa orang yang di – tawassul – i tersebut memiliki keutamaan dihadapan Allah Swt dengan kedudukannya sebagai Rosul, ilmu yang dimiliki atau kerena kenabiannya. Dan karena kelebihannya itulah kemudian ada orang yang melakukan tawassul dengan mereka.” (Al – Tahdzir min al – Ightitar, hal : 113).

Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki juga memberikan komentarnya tentang ayat – ayat yang digunakan dalil untuk mengharamkan tawassul. Ayat – ayat itu diantaranya :

فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدً.الاية,لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِ وَالَّدِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لَا يَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ بِشَيْئٍ. الاية

Bahwa ayat – ayat ini ditujukan bagi orang – orang musyik yang menyembah berhala, tentunya berbeda dengan orang yang bertawassul yang hanya menjadikan sesuatu sebagai perantara menuju Allah Swt.

J. Tabaruk

A. Pengertian
Tabaruk secara bahasa artinya mengharap berkah. Secara istilah diartikan sebagai menjadikan seseorang, tempat atau sesuatu yang diharapkan berkahnya perantara menuju Alloh SWT.

B. Dalil-dalil tabaruk
Tabaruk sebenarnya sudah dilakukan oleh para sahabat damana mereka bertabaruk dengan Rambut Nabi seperti Khalid bin Walid dengan sisa air wudhu Nabi, keringat Nabi, bahkan dengan ludah Nabi. Dalam beberapa hadist dikisahkan bahwa Khalifah Kholid bin Walid kehilangan Mahkota sorbannya ketika perang Yarmuk kemudian dicarinya sampai ketemu, Kholid bin Walid pun mengisahkan asal mula Mahkota Sorbannya:

فَقَالَ خَالِدٌ :اِعْتَمَدَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَلَقَ رَأْسَهُ فاَبْتَدَرَ النَّاسُ جَوَانِبِ شَعْرِهِ-فَسَبَقْتُهُمْ اِلَى ناَصِيَتِهِ فَجَعَلْتُهاَ فِي هَذِهِ الْقَلَنْسَوَةَ,فَلَمْ اَشْهَدُ قِتاَلاً وَهِيَ مَعِيْ اِلَّا رُزِقْتُ النَّصْرَ.

Berkata Kholid bin Walid : Rosululloh SAW berumroh kemudian ia mencukur kepalanya maka para sahabat berebutan rambut Rosululloh SAW dan akulah pemenangnya dan aku taruh Rambut Rosululloh itu didalam Mahkota Sorbanku, maka aku tidak berperang dengan memakai Mahkota Sorbanku itu kecuali aku diberikan kemenangan;
عَنْ زَارِعٍ وَكاَنَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قاَلَ لمَاَّ قَدِمْناَ الْمَدِنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَباَدَرُ مِنْ رَوَاحِلِناَ فَنُقَبَلَ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ (رواه ابو داود , ٤٥٤٨)

Dari Zari R. ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, Beliau berkata,” Ketika Beliau berkata, Ketika sampai di Madinah, kami segera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi SAW.” (HR.Abu Dawud :4548).

Atas dasar hadist ini, para ulama mensunahkan mencium tangan Guru,Ulama, orang Soleh, serta orang-orang yang kita hormati. Kata Imam al-Nawawi dalam salah satu kitab karangannya menjelaskan bahwa mencium tangan orang salih dan ulama yang utama itu disunnahkan. Sedangkan mencium tangan selain itu hukumnya makruh.” (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal 79).

Dari dalil-dalil diatas maka jelaslah bahwa bertabaruk itu boleh dan bukanlah sesuatu yang syirik.

K. Manaqib

A. Pengertian
Secara bahasa manaqib berarti meneliti, menggali secara istilah diartikan sebagai riwayat hidup seseorang yang berisikan tentang budi pekertinya yang terpuji ahhlaknya yang baik karomahny dan sebagainya yang patut dijadikan suri tauladan. Maksud dari menjalankan manaqib diantarnya untuk beertawasul, untuk memperoleh berkah, untuk lebih mengenal orang sholih dan lebih mencintanya.

B. Dalil-dalil manaqib
Sebenarnya manaqib itu ada dalam Al’quran seperti manaqib, ashabul kahfi, Manaqib Raja Dzul Qur’nain, Manaqib Lukman dan lain sebagainya. Adapun dalil yang digunakan hujjah untuk memperbolehkan praktek manaqib yaitu dalam kitab Bughyat al_Mustarsyidin, hlm. 97.

وَقَدْ وَرَدَ فِي اْلَاثَرِ عَنْ سَيِِّدِ الْبَشَرِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قاَلَ :مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِناَ فَكَأَنمَّاَ اَحْياَهُ وَمَنْ قَرَأَ تاَرِيْخَهُ فَكَأَنمَّاَ زَارَهُ فَقَدْ اسْتًوْجَبَ رِضْوَانَ اللهِ فيِ حُزُوْرِ الْجَنَّةِ.

Tersebut dalam surat atsar: Rosululloh pernah bersabda: Siapa membuat sejarah orang mukmin( yang sudah meninggal ) sama saja menghidupkan kembali; siapa memmbacakan sejarahnya seolah-olah ia sedang, siapa yang mengunjunginya, Alloh akan memberikan surga.

Dalam kitab Jalauzh Zhulam ‘ala’Aqidatul awam dijelaskan

اِعْلَمْ يَنْبَغيِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ طاَلِبُ الْفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ اَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكاَتِ وَالنَّفَحَاتِ وَاسْتِجاَبَةِ الدُّعاَءِ وَنُزُوْلِ الرَّحْماَتِ فِي حَضَرَاتِ اْلأَوْلِياَءِ فِي مَجاَلِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ اَحْيَاءً وَأَمْوَاتاً وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحَالَ ذِكْرِهِمْ وَعِنْدَ كَثْرَةِ الْجُمُوْعِ فِي زِياَرَاتِهِمْ وَعِنْدَ مَذَاكَرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَناَقِبِهِمْ . (جلاء الظلام على عقيدة العوام)

Ketahuilah seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugrah, terkabulnya do’a dan turunnya rahmat didepan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka, baik masih hidup ataupun sudah mati, dikuburan mereka ketika mengingat mereka, dan ketika orang banyak berkumpul dalam berziarah kepada mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka.

L. Tahlil
A. Pengertian
Secara bahasa tahlil diartikan sebagai ucapan kalimat “laailaha illalloh”. Secara istilah adalah tradisi do’a bersama untuk mendo’akan orang yang telah meninggal atau karena hajat lain, dengan membaca Al Qur’an, kalimat tayyibah, istighfar, takbir, tahmid, tasbih, sholawat dan pahalanya diberikan kepada orang yang sudah meninggal atau orang yang punya hajat sesuatu.
Dalam acara tahlilan biasanya dibarengi dengan jamuan makanan dari keluarga yang sudah meninggal atau yang mempunyai hajat sebagai shodaqoh.

B. Dalil-dalil Tahlil
Banyak dalil Al Qur’an, hadits maupun keterangan ulama yang menjelaskan tentang diperbolehkannya tahlil dan do’a atau pahala yang ditujukan kepada orang yang sudah meninggal bisa sampai dan bermanfaat bagi orang yang meninggal tersebut, di antaranya:

1. QS. Muhammad ayat 19

وَ إسْتََغْفِرْ لِذَ نْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ (محمد:۱۹)

“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (Muhammad:19)

Ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan mendapatkan manfaat dari istighfar orang mukmin lainnya. Dalam Tafsir Al-Khazin dijelaskan:

فِيْ مَعْنَي اْلَآيَةِ إِسْتَغْفِرْ لِذَ نْبِكَ أَيْ لِذًنُوْبِ أَهْلِ بَيْتِكَ ( وللمؤمنين والمؤمنات) يَعْنِيْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ بَيْتِكَ وَهَذَا إِكْرَامٌ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأًمَّةِ حَيْثُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ أَنْ يَسْتَغْفِرَلِذُنُوْبِهِمْ وَهُوَ الشَّفِيْعُ اْلمُجَابُ فِيْهِمْ(تفسير الخازن,ج: ۶,ص:۱۸۰)

“Makna ayat إستغفر لذنبكadalah mohonlah ampunan bagi dosa-dosa keluargamu dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan,a rtinya selain keluargamu. Ini adalah penghormatan dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada umat Muhammad, dimana Dia memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampun bagi dosa-dosa mereka, sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dapat memberikan syafa’at dan do’anya diterima” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 180)

2. QS. Al-Hasyr 10

وَالَّذِيْنَ جَاؤُا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلِإحْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًا لِلَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبنَا إِنَّكَ رَؤوْفٌ رَحِيْمٌ ( الحسر:۱۰ )

“Dan orang-orang yang beriman, serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”

Mengenai ayat ini Syekh ‘Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi memberikan penjelasan:

يَعْنِيْ أَلْحَقْنَا إَوْلَادَهُمْ الصِّغَارَ وَاْلكِبَارَ بِإِيْمَا نِهِمْ وَاْلكِبَارُ بِإِيْمَا نِهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ وَالصِّغَارُ بِإِيمَا نِ آبَائِهِمْ فَأِنَّ الوَلَدَ الصَّغِيْرَ يُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ تَبْعًا لِأَحَدِ أَبَوَيْهِ ( أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّاتِهِمْ ) يَعْنِيْ المُؤْمِنِيْنَ فِي اْلجَنَّةِ بِدَرَجَاتِ آبَائِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغُوْا بِاَعْمَالِهِمْ دَرَجَاتِ آبَائِهِمْ تَكْرِمَةً لِاَبَائِهِمْ لِتَقَرّ َاَعْيُنُهُمْ هَذِهِ رِوَايَةً عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ( تفسير الخازن,ج:۶, ص: ۲۵۰)

“Artinya Kami menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa dengan keimanan orang tua mereka. Yang dewasa dengan keimanan mereka sendiri, sementara yang kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu dari kedua orang tuanya. (Kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA.” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 250)

Penjelasan yang sama dapat dilihat dalam Tafsir Jami’ Al-Bayan karya Ibnu Jarir Al-Thabari Juz 28 hal. 15.
Beberapa ayat dan penafsiran tersebut menjadi bukti nyata bahwa orang yang beriman tidak hanya memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri. Mereka juga dapat merasakan manfaat amaliyah orang lain.
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani mengatakan bahwa hukum mengadakan pertemuan atau perkumpulan untuk membaca tahlil adalah boleh sebagaimana pendapatnya dalam kitab Al Rasa’il al Salafiyah.

ااَلْعَادَةُ اْلجَارِيَةُ فِي بَعْضِ اْلبُلْدَانِ مِنَ اْلإِجْتِمَاعِ فِي اْلمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ اْلقُرْأَنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ.وَكَذَالِكَ فِي اْلبُيُوْتِ وَسَا ئِرِ اْلإِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ ,لاَشَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةً عَنْ مَعْصِيَةٍ سَلِيْمَةٍ مِنَ اْلمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ لِاَءنَّ اْلإِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَسِيَمَا إِذَا كَا نَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِي ذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ اْلجَمَاعَةِ اْلمُجْتَمِعِيْنَ كَمَافِي حَدِيْثِ إِقْرَؤُوْا “يَس” عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرَقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ “يس” مِنَ اْلجَمَاعَةِ الحَاضِرِيْنَ عِنْدَ اْلمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ اْلقُرْآنِ أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ ( الرسائل السلفية: ۴۶)

“Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti إقرؤوا “يس” على موتاكم (bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu). Tidak ada bedanya apakah pembacaan Surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburannya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah.” (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, 46).
Kesimpulan al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi SAW. Diantaranya adalah:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ ( رواه مسلم, ۴۸۶۸)

“Dari Abi Sa’id al-Khudri RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR. Al-Muslim, 4868)

Kesimpulan Al Syaukani ini bersumber dari Hadits yang shahih:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَرَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ ( سنن ابن ما جه : ۲۲۱)

“Dari Abi Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam salah satu rumah Allah SWT, sambil membaca Al-Qur’an bersama-sama, kecuali Allah SWT akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, meliputi mereka dengan rahmat, dikelilingi para malaikat, dan Allah SWT memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (Sunan Ibn Majah, 221)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abi Sa’id Al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ ( رواه مسلم, ۴۸۶۸)

“Dari Abi Sa’id al-Khudri RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR. Al-Muslim, 4868)

Pada ulama juga sepakat bahwa pahala sampai dan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal tersebut.

Ibnu Taimiyah menyatakan:

قَالَ شَيْخُ تَقِيُ الدِّيْنِ أَحْمَدُ بْنُ تَيْمِيَّةِ فِيْ فَتَاوِيْهِ, اَلصَّحِيْحُ أَنَّ اْلمَيِّتَ يَنْتَفِعُ بِجَمِيْعِ اْلعِبَادَاتِ اْلبَدَنِيَّةِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَاْلقِرَاءَةِ كَمَا يَنْتَفِعُ بِااْلعِبَادَاتِ اْلمَالِيَّةِ مِنَ الصَّدَقَةِ وَنَحْوِهَا بِاتِّفَاقِ اْلأَئِمَّةِ وَكَمَا لَوْ دُعِيَ لَهُ وَاسْتُغْفِرَ لَهُ( حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين:۳۶)

“Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taymiyah dalam kitab Fatwanya berkata, “pendapat yang benar dan sesuai dengan kesepakatan para imam, bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah (ibadah fisik) seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, atau ibadah maliyah (ibadah materiil) seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk berdo’a dan membaca istighfar bagi mayit.” (Hukm Al-Syariah Al-Islamiyah fi Ma’tamil Arba’in, 36)

Dalam kitab Nihayah al-Zain disebutkan:

قَالَ ابْنُ حَجَرٍ نَقْلًا عَنْ شَرْحِ اْلمحُتْاَرِ:مَذْهَبَ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ وَصَلَاتِهِ لِلْمَيِّةِ وَيَصِلُهُ ( نهاية الزين: ۱۹۳)

“Ibnu Hajar dengan mengutip Syarh Al-Mukhtar berkata, “Madzhab Ahlussunnah berpendapat bahwa seseorang dapat menghadiahkan pahala amal dan do’anya kepada orang yang telah meninggal dunia. Dan pahalanya akan sampai kepadanya.” (Nihayah Al-Zain, 193)

Ibnu Al-Qayyim berpendapat:

قَالَ ابْنُ قَيِّمِ اْلجَوْزِيَّةِ فَأَفْضَلُ مَا يُهْدَى إِلَى اْلمَيِّتِ أَلْعِتْقُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلإِسْتِغْفَارُ لَهُ وَاْلحَجُّ عَنْهُ وَأَمَا قِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ وَإِهْدَاءُهَا لَهُ تَطَوُّعًا بِغَيْرِ أُجْرَةٍ فَهَذَا يَصِلُ إِلَيْهِ كَمَا يَصِلُ ثَوَابُ الصَّوْمِ وَالْحَجِّ (الروح:۱۴۲)

“Ibnu Qayyim Al-Jauziah berkata, “Sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, do’a, dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur’an secara suka rela (tanpa mengambil upah) yang dihadiahkan kepada mayit, juga sampai kepadanya. Sebagaimana pahala puasa dan haji” (Al-Ruh, 142).
Dari beberapa dalil hadits, Al Qur’an, hadits dari keterangan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa hukum tahlilan bukanlah bid’ah dan pahala yang ditujukan kepada mayit bisa sampai dan bermanfaat bagi mereka.

M. Dua Adzan Dalam Jum’ah

Dalil dua adzan dalam Jum’ah

Dalam kitab Tanwirul Qulub disebutkan:

فَلَمَّا كَثُرَ النَّاسُ فِيْ عَهْدِ عُثْمَانَ أَمَرَهُمُ بِأَذَانَانِ آخَرَ عَلَى الزَّوْرَآءِ وَاسْتَمَّرَ اْلأَمْرُ إِلَى زَمَنِنَا هَذَا.وَهَذَا اْلأَذَانُ لَيْسَ مِنَ اْلبِدْعَةِ لِأَنَّهُ فِي زَمَانِ اْلخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِاْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ ( تنويرالقلوب)

Ketika orang-orang sudah semakin banyak pada masa Khalifah Utsman, maka beliau memerintahkan untuk mengumandangkan adzan lagi di kota Madinah. Hal yang demikian itu (adzan dua kali) tetap berlangsung sampai sekarang. Adzan yang kedua tersebut tidak termasuk bid’ah karena telah terjadi di masa Khulafaur Rasyidin, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Kalian harus berpegang teguh dengan sunnah (ajaran)ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin”.

Syekh Jalaluddin bin Abdil Ajiz berpendapat bahwa hukum mengumandangkan adzan yang kedua hukumnya sunat sebagaimana pendapatnya dalam kitab Fathul Mu’in:

وَأَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ أَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ اْلخَطِيْبِ أَلْمِنْبَرَ وَاْلأَخَرُ اَلَّذِيْ قَبْلَهُ إِنَّمَا أَحْدَثَهُ عُثْمَانُ رضي الله عنه لَمَّا كَثُرَالنَّاسُ فَاسْتِحْبَابُهُ عِنْدَالْحَاجَةِكَأَنْ تَوَقَّفَ حُضُوْرُهُمْ عَلَيْهِ وَإِلَّا لَكَانَ اْلِإقْتِصَارُ عَلَى اْلِإتْبَاعِ أَفْضَلُ

“Begitu juga dihukumi sunat dua adzan dalam Jum’ah. Salah satunya sesudah khotib naik mimbar dan yang satunya lagi adzan sebelumnya, adzan kedua ini sebagai mana perintah sahabat ‘Ustman RA, dalam atsar kan tetapi hukum kesunatannya dikala hajat (butuh). Seperti jika orang-orang muslim belum hadir ke masjid setelah adzan pertama, jika tidak butuh maka lebih baik mengikuti (ittiba’) kepada Nabi (satu adzan).

GURU TPQ/TPA YANG HAID, PROBLEMATIKA DAN SOLUSINYA

GURU TPA YANG HAID DAN SOLUSINYA
(Di ambil dari Postingan FKSL)

LATAR BELAKANG MASALAH:
Pada saat ini banyak didirikan TPA/TPQ. Buku pelajaran yang dipakai adalah metode IQRO’, QIROÁTI An Nahdliyyah dll. Sementara pelaksanaannya rutin setiap hari.

PERTANYAAN :
Bagaimana hukumnya membawa dan membaca buku2 pelajaran di atas bagi pengajar wanita yang sedang haid?
Pon. Pes. Lirboyo Kediri

RUMUSAN JAWABAN:
- Hukum membawa buku-buku pelajaran TPA bagi wanita yang sedang haid diperbolehkan. Dikarenakan tujuan penyusunan dari buku tersebut adalah untuk belajar/mengajar Al Qurán.
- Hukum membacanya diperbolehkan apabila tidak qoshdul qiroáh(bertujuan membaca al Qur’an).
Contoh yang boleh : Tidak Qoshdul Qiro’ah, bertujuan membenarkan kekeliruan, mengajar, tabarruk dan utk do’a.

REFERENSI:
Bughyatul Mustarsyidin hal. 26 (Darul Fikr)
Al Bajuri juz I hal. 118 (Darul Fikr)
Asy Syarwani juz I hal. 244 – 245 (Darul Fikr)
I’anatuth Tholibin juz I hal. 65 – 66 (Darul Fikr)
At Turmusi juz I hal. 428 (Al Mathba’ah Al ‘amiroh Asy Syarofiyah)
Al Buajairomi ‘Alal Khothib juz I hal. 356 (Maktabah Musthofa Al Baby)

بغية المسترشدين ص : 26 (دار الفكر)
(مسألة ى) يكره حمل التفسير ومسه إن زاد على القرآن وإلا حرم وتحرم قراءة القرآن على نحو جنب بقصد القراءة ولو مع غيرها لا مع الإطلاق على الراجح ولا يقصد غير القراءة كرد غلط وتعليم وتبرك ودعاء ويجوز له حمل ومس وقراءة نحو التوراة والحديث القدسى وكتب العلم والحديث نعم يكره للجنب ذكر الله تعالى حتى إجابة المؤذن كما اختاره السبكى لا لنحو حائض قبل الانقطاع وقالت الحنفية ويكره له قراءة نحو التوراة وحملها ونص العينى منهم على الحرمة قالوا ويحرم مس التفسير مطلقا وتحل قراءته بقصد معرفة التفسير ولا تكره قراءة الكتب الشرعية والذكر والدعاء لكن تستحب الطهارة
حاشية الباجورى الجزء الأول ص : 118 (دار الفكر)
(والرابع مس المصحف) وهو اسم للمكتوب من كلام الله بين الدفتين (وحمله) إلا إذا خافت عليه (قوله وهو) أى المصحف وقوله اسم للمكتوب من كلام الله بين الدفتين أى بين دفتى المصحف وهذا التفسير ليس مرادا هنا وإنما المراد به هنا كل ما كتب عليه قرآن لدراسته ولو عمودا أو لوحا أو نحوهما وخرج بذلك التميمة وهى ما يكتب فيها شىء من القرآن للتبرك وتعلق على الرأس مثلا فلا يحرم مسها ولا حملها ما لم تسم مصحفا عرفا على ما قاله الرملى وقال الخطيب لا يحرم ذلك وإن سميت مصحفا عرفا وتنتقل التميمة عن كونها تميمة بقصد الدراسة وبالعكس والعبرة بقصد الكاتب إن كان يكتب لنفسه وإلا فقصد الآمر أو المستأجر
حواشى الشروانى وابن قاسم العبادى الجزء الأول ص : 244 - 245 (دار الفكر)
(و) حمل ومس (ما كتب لدرس قرآن) ولو بعض آية (كلوح فى الأصح) لأنه كالمصحف وظاهر قولهم بعض آية أن نحو الحرف كاف وفيه بعد بل ينبغى فى ذلك البعض كونه جملة مفيدة وقولهم كتب لدرس أن العبرة فى قصد الدراسة والتبرك بحال الكتابة دون ما بعدها وبالكاتب لنفسه أو لغيره تبرعا وإلا فآمره أو مستأجره وظاهر عطف هذا على المصحف أن ما يسمى مصحفا عرفا لا عبرة فيه بقصد دراسة ولا تبرك وأن هذا إنما يعتبر فيما لا يسماه فإن قصد به دراسة حرم أو تبرك لم يحرم وإن لم يقصد به شىء نظر للقرينة فيما يظهر وإن أفهم قوله لدرس أنه لا يحرم إلا القسم الأول (قوله وما كتب) أى ومحل ما كتب أى من القرآن لدرس قرآن فهو من الإظهار فى موضع الإضمار فاندفع ما يقال إنه إنما تعرض للمكتوب مع أن المقصود فى المقام بيان المكتوب فيه وأنه لا يصح التمثيل المذكور إلا بتقدير وانظر هل يشمل ما ذكر نحو السارية والجدار فيه نظر والوجه لا م ر اهـ سم قول (المتن وما كتب) أى حقيقة أو حكما ليدخل الختم الآتى فى الهامش ع ش أى الطبع (قوله كلوح) ينبغى بحيث يعد لوحا للقرآن عرفا فلو كبر جدا كباب عظيم فالوجه عدم حرمة مس الخالى منه عن القرآن سم عبارة ع ش يؤخذ منه أنه لا بد أن يكون مما يكتب عليه عادة حتى لو كتب على عمود قرآنا للدراسة لم يحرم مس غير الكتابة خطيب وزيادى ويؤخذ منه أنه لو نقش القرآن على خشبة وختم بها الأوراق بقصد القراءة وصار يقرأ يحرم مسها وليس من الكتابة ما يقص بالمقص على صورة حروف القرآن من ورق أو قماش فلا يحرم مسه اهـ قول المتن (وما كتب لدرس قرآن إلخ) بخلاف ما كتب لغير ذلك كالتمائم المعهودة عرفا نهاية عبارة المغنى أما ما كتب لغير دراسة كالتميمة وهى ورقة يكتب فيها شىء من القرآن ويعلق على الرأس مثلا للتبرك والثياب التى يكتب عليها والدراهم كما سيأتى فلا يحرم مسها ولا حملها وتكره كتابة الحروف أى من القرآن وتعليقها إلا إذا جعل عليها شمع أو نحوه ويستحب التطهر لحمل كتب الحديث ومسها اهـ قال ع ش قوله: كالتمائم إلخ يؤخذ منه أنه لو جعل المصحف كله أو قريبا من الكل تميمة حرم لأنه لا يقال له حينئذ تميمة عرفا اهـ وفى البجيرمى ما نصه قال شيخنا الجوهرى نقلا عن مشايخه يشترط فى كاتب التميمة أن يكون على طهارة وأن يكون في مكان طاهر وأن لا يكون عنده تردد فى صحتها وأن لا يقصد بكتابتها تجربتها وأن لا يتلفظ بما يكتب وأن يحفظها عن الأبصار بل وعن بصره بعد الكتابة وبصر ما لا يعقل وأن يحفظها عن الشمس وأن يكون قاصدا وجه الله فى كتابتها وأن لا يشكلها وأن لا يطمس حروفها وأن لا ينقطها وأن لا يتربها وأن لا يمسها بحديد وزاد بعضهم شرطا للصحة وهو أن لا يكتبها بعد العصر وشرطا للجودة وهو أن يكون صائما اهـ (قوله بل ينبغى إلخ) لم أره لغيره وهو محل تأمل والأليق بالتعظيم الملحوظ هنا عدم التفصيل وإبقاء الكلام على إطلاقه بصرى عبارة الكردى قوله: بل ينبغى إلخ أقره الحلبى على المنهج وقال القليوبى ولو حرفا اهـ وفى الإيعاب لو محى ما فيه فلم يزل فالذى يظهر بقاء حرمته إلى أن تذهب صور الحروف وتتعذر قراءتها انتهى اهـ (قوله وقولهم كتب إلخ) أى وظاهر قولهم إلخ (قوله أن العبرة) إلى قوله وظاهره إلخ أقره ع ش وكذا أقره الشوبرى ثم قال ولو نوى بالمعظم غيره كأن باعه فنوى به المشترى غيره اتجه كونه غير معظم حينئذ كما أشار إليه شيخنا فى شرح العباب اهـ (قوله بحال الكتابة إلخ) وفى فتاوى الجمال الرملى كتب تميمة ثم جعلها للدراسة أو عكسه هل يعتبر القصد الأول أو الطارئ أجاب بأنه يعتبر الأصل لا القصد الطارئ اهـ وفى القليوبى على المحلى ويتغير الحكم بتغير القصد من التميمة إلى الدراسة وعكسه انتهى اهـ كردى (قوله أو لغيره تبرعا) الظاهر أن المراد بالمتبرع الكاتب للغير بغير إذنه لا بغير مقابل كما هو المتبادر منه بصرى (قوله وظاهر عطف هذا إلخ) بل ظاهره أن هذا لا يسمى مصحفا إذ المصحف ما يقصد للدوام لا ما ذكره بقوله أن ما يسمى إلخ فتأمل بصرى (قوله وأن هذا) أى القصد وقوله فإن قصد به أى بما لا يسمى مصحفا عرفا (قوله وإن لم يقصد به شىء إلخ) لو قيل بالحرمة حينئذ مطلقا لكان وجيها نظرا إلى أن الأصل فيه قصدا لدراسة فإن عارضه شىء يخرجه عنه عمل بمقتضاه وإلا بقى على أصله بصرى (قوله نظر للقرينة إلخ) لو كان الكلام مفروضا فى عدم العلم بقصد الكاتب أو الآمر لكان للنظر للقرائن وجه ليستدل بها على القصد وليس كذلك بل هو مفروض فى عدم القصد وعليه فالذى يظهر والله أعلم ما ذكرته لك آنفا من الحرمة مطلقا نظرا إلى أن الأصل فى كتابة الألفاظ قصد الدراسة للدوام كالمصحف أو لا للدوام كاللوح فإن عارضه ما يخرجه عنه كقصد التبرك فقط عمل به وإلا بقى على أصله بصرى ويأتى عن ع ش فى آداب قضاء الحاجة ما يفيد عدم الحرمة فى الإطلاق ولعل ما قاله السيد عمر البصرى أقرب (قوله إلا القسم الأول) أى ما قصد به الدراسة
إعانة الطالبين الجزء الأول ص : 65-66 (دار الفكر)
(خاتمة) يحرم بالحدث صلاة وطواف وسجود وحمل مصحف وما كتب لدرس قرآن ولو بعض آية كلوح والعبرة فى قصد الدراسة والتبرك بحالة الكتابة دون ما بعدها وبالكاتب لنفسه أو لغيره تبرعا وإلا فآمره (قوله كلوح) أى مما يكتب فيه عادة فلو كبر عادة كباب كبير جاز مس الخالى من القرآن منه ولا يحرم مس ما محى بحيث لا يقرأ إلا بكبير مشقة (قوله والعبرة فى قصد الخ) مرتبط بقوله وما كتب لدرس وعبارة التحفة وظاهر قولهم كتب لدرس أن العبرة فى قصد الدراسة الخ اهـ (قوله بحالة الكتابة) متعلق بمحذوف خبر العبرة وفى الكردى ما نصه وفى فتاوى الجمال الرملى كتب تميمة ثم جعلها للدراسة أو عكسه هل يعتبر القصد الأول أو الطارئ أجاب بأنه يعتبر الأصل لا القصد الطارئ اهـ وفى حواشى المحلى للقليوبى ويتغير الحكم بتغير القصد من التميمة إلى الدراسة وعكسه اهـ وقوله وبالكاتب إلخ أى والعبرة بقصد الكاتب سواء كتب لنفسه أو لغيره إذا كان تبرعا وقوله وإلا فآمره أى وإن لم يكن تبرعا فالعبرة بقصد آمره اهـ
الترمسى الجزء الأول ص : 428 (المطبعة العامرة الشرفية)
(شيئا من القرآن) شامل للحرف الواحد وهو كذلك كما تقرر وحكى وجه أن للجنب أن يقرأ ما لم يدخل فى حد الإعجاز وهو ثلاث آيات ونقل الترمذى فى الجامع عن الشافعى أنه قال لا يقرأ الحائض والجنب شيئا إلا طرف الآية والحرف ونحو ذلك أفاده فى الكبرى
البجيرمى على الخطيب الجزء الأول ص : 356 (مكتبة مصطفى البابى)
(و) الثالث (قراءة) شىء من (القرآن) باللفظ أو بالإشارة من الأخرس كما قال القاضى فى فتاويه فإنها منزلة منزلة النطق هنا ولو بعض آية للإدخال بالتعظيم سواء قصد مع ذلك غيرها أم لا (قوله وقراءة القرآن) وعن مالك يجوز لها قراءة القرآن وعن الطحاوى يباح لها ما دون الآية كما نقله فى شرح الكنز من كتب الحنفية (قوله ولو بعض آية) صادق بالحرف الواحد وهو كذلك لكون صورته فى الحرف أن يقصد به القرآن فيأثم وإن اقتصر عليه لأنه نوى معصية وشرع فيها فالتحريم من هذه الجهة لا من حيث أنه يسمى قرآنا كما فى حاشيته م ر على الروض وعبارة الشوبرى قوله ولو بعض آية أى ولو حرفا بنية كونه من القرآن كما أنه يثاب عليه إذا قرأه غير جنب كذلك لكن إذا عاقه عائق عن أن يضم إليه منه ما يصيره جملة مفيدة بخلاف ما لم يضم إليه فإن الظاهر أنه لا يثاب على ذلك وإن نوى بذلك الحرف أنه من القرآن ويحتمل أنه مع النية يثاب كما أنه يأثم هنا وعلى الأول يفرق بأنه يحتاط لتعظيم القرآن مع الجنابة المنافية له ما لا يحتاط له من حيث الثواب اهـ حج
والله أعلم بالصواب

SOLUSI untuk guru TPA/TPQ yang HAID yang bertempat di dalam masjid

Menyikapi problem yg saat ini sering dialami oleh guru-guru/team pengajar khusus perempuan TPQ/TPA yg berlokasi di dalam masjid, ketika kondisi para pengajar dalam keadaan haid. Menurut pendapat yang kuat (ash-shokhikh) Hukumnya HARAM  berdiam di dalam masjid .  
                   
Sebagai solusi jika tidak memungkinkan untuk :                    
1. Berpindah tempat ke lokasi selain masjid.                                        
 2. Mencari pengganti guru/pengajar yg tidak sedang dalam keadaan haid.

Maka sebagai alternatif... DIPERBOLEHKAN bagi guru yang sedang dalam kondisi haid untuk mengajar di dalam masjid/berdiam di masjid , dengan mengikut pendapatnya Imam Muzani yang notabene termasuk salah seorang ulama pengikut Imam syafi'i, dengan ketentuan2 sbb. :      
1. Larangan memegang mushkhaf /Al-Qur'an dan Semua buku ajar yang dihukumi sama dengannya, seperti Juz Amma dan semisalnya.        
2. Harus dalam kondisi sudah berwudlu.
3. Tidak sampai menajiskan di dalam area masjid (dengan cara mis: memaksimalkan penggunaan pembalut).

Referensi :

(ويحرم بالحيض) وفي بعض النسخ ويحرم على الحائض (ثمانية أشياء) أحدها (الصلاة) فرضاً أو نفلاً وكذا سجدة التلاوة والشكر (و) الثاني (الصوم) فرضاً أو نفلاً (و) الثالث (قراءة القرآن و) الرابع (مس المصحف) وهو اسم للمكتوب من كلام الله بـين الدفتين (وحمله) إلا إذا خافت عليه (و) الخامس (دخول المسجد) للحائض إن خافت تلويثه (و ) السادس (الطواف) فرضاً أو نفلاً (و) السابع (الوطء) ويسن لمن وطىء في إقبال الدم التصدق بدينار، ولمن وطىء في إدباره التصدق بنصف دينار (و) الثامن (الاستمتاع بما بـين السرة والركبة) من المرأة فلا يحرم الاستمتاع بهما ولا بما فوقهما على المختار في شرح المهذب

المجموع شرح المهذب الجزء الثاني ص: 389
(الشرح) يحرم على الحائض والنفساء مس المصحف وحمله واللبث في المسجد وكل هذا متفق عليه عندنا وتقدمت أدلته وفروعه الكثيرة مبسوطة في باب ما يوجب الغسل .
الإنصاف الجزء الأول صـ: 347
قوله (واللبث في المسجد) تمنع الحائض من اللبث في المسجد مطلقا على الصحيح من المذهب وعليه جمهور الأصحاب وقيل لا تمنع إذا توضأت وأمنت التلويث وهو ظاهر كلام المصنف في باب الغسل حيث قال " ومن لزمه الغسل حرم عليه قراءة آية ويجوز له العبور في المسجد ويحرم عليه اللبث فيه إلا أن يتوضأ " فظاهره دخول الحائض في هذه العبارة لكن نقول عموم ذلك اللفظ مخصوص بما هنا وأطلقهما في الرعايتين والحاوي الصغير
كشاف القناع عن متن الإقناع  الجزء الأول ص: 413
(ويحرم على جنب وحائض ونفساء انقطع دمهما اللبث فيه) أي : المسجد لقوله تعالى "ولا جنبا إلا عابري سبيل حتى تغتسلوا" ولقوله صلى الله عليه وسلم "لا أحل المسجد لحائض ولا جنب" رواه أبو داود (ولو مصلى عيد لأنه مسجد) لقوله صلى الله عليه وسلم "وليعتزل الحيض المصلى" (لا مصلى الجنائز) فليس مسجدا لأن صلاة الجنائز ليست ذات ركوع وسجود بخلاف صلاة العيد (إلا أن يتوضئوا) أي : الجنب والحائض والنفساء إذا انقطع دمهما فيجوز لهما اللبث في المسجد لما روى سعيد بن منصور والأثرم عن عطاء بن يسار قال : رأيت رجالا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يجلسون في المسجد وهم مجنبون إذا توضئوا وضوء الصلاة قال في المبدع إسناده صحيح ولأن الوضوء يخفف حدثه فيزول بعض ما يمنعه

 وقيل لا تمنع إذا توضأت وأمنت التلويث وهو ظاهر كلام المصنف في باب الغسل حيث قال " ومن لزمه الغسل حرم عليه قراءة آية ويجوز له العبور في المسجد ويحرم عليه اللبث فيه إلا أن يتوضأ " فظاهره دخول الحائض في هذه العبارة لكن نقول عموم ذلك اللفظ مخصوص بما هنا وأطلقهما في الرعايتين والحاوي الصغير

كشاف القناع عن متن الإقناع  الجزء الأول ص: 413
وقال أحمد يحرم المكث ويباح العبور لحاجة ولا يباح لغير حاجة قال ولو توضأ استباح المكث: وجمهور العلماء على أن الوضوء لا أثر له في هذا وقال المزني وداود وابن المنذر يجوز للجنب المكث في المسجد مطلقا وحكاه الشيخ أبو حامد عن زيد بن أسلم
* واحتج من أباح المكث مطلقا بما ذكره ابن المنذر في الأشراف وذكره غيره إن النبي صلى الله عليه وسلم قال (المسلم لا ينجس) رواه البخاري ومسلم من رواية أبي هريرة وبما احتج به المزني في المختصر واحتج به غيره أن المشرك يمكث في المسجد فالمسلم الجنب أولى: وأحسن ما يوجه به هذا المذهب أن الأصل عدم التحريم وليس لمن حرم دليل صحيح صريح
 
المجموع.  ١٦٠/٢
أخذ ابن المنذر من هذا الحديث جواز مكث الجنب المسلم في المسجد، وأنه أولى من المشرك؛ لأنه ليس بنجس، بخلاف المشرك

التوضيح لشرح الجامع الصحيح   ٥٩٦/٥
قال المزني: إذا جعل المشركة أن يحضره في المسجد وعسى بها مع شركها أن تكون حائضا كانت المسلمة بذلك أولى وهذا مذهبه أن الحائض لا تمنع من المسجد كالمشركة
بحر المذهب للروياني.  ٣٣٩/١٠

والله أعلم بالصواب

NB :

Rumusan ini diputuskan dlm musyawaroh Grup FKSL via Whatsapp(WA) pada hari Jum'at-Sabtu/21-22 November 2015 dg tembusan dan pengawasan dari Al Mukarromuun :
 - KH. M. Azizi Chasbulloh (Malang/Blitar)
 - KH. Akhmad Shampthon Masduqi (Malang)
 - K. Ridlwan Qoyyum (Nganjuk)

Musyawirin :

- KH. Hizbulloh Al Haq (Pule Nganjuk)
- KH. Ahmad Zainuri (Gresik)
- K. Fatkhun Nuha (Grobogan )
- KH. Nidhom Subkhi (Malang)
- K. Ahmad Hafidh (Malang)
- K. Syamsuri Abd. Qohar (Pasuruan),
- KH. Adibuddin (Bangkalan)
- K. Syukron Ma'mun (Brebes),
- K. M. Khoirin (Demak)
- K. Asnawi Ridlwan (Bogor)
- K. Ashfiya' (Nganjuk)
- K. Ahmad Muntaha (Surabaya)
- K. Thohari Muslim (Nganjuk)
- H. Anang Mas'ulun (Sidoarjo)
dan segenap Musyawirin lainnya yg tdk bisa kami sebutkan satu persatu,,,