Putusan FKSL ( Forum Kajian Santri Lirboyo) menerbitkan keputusan Edisi ke 2.
MENGHUKUM KEBIRI TERHADAP PEDOFILIA MENURUT PERSPEKTIF FIQH
Akhir-akhir ini kekerasan seksual terhadap anak kembali ramai diperbincangkan. Menurut data KPAI pada tahun 2013 terdapat 562 kasus, sedang pada tahun 2014 meningkat menjadi 1296 kasus. Peningkatan kasus kekerasan tersebut jelas sangat memperihatinkan semua pihak. Jika hal ini dibiarkan saja maka kita tidak bisa membayangkan bagaimana nasib generasi penerus bangsa ini.
Pelbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadi kasus-kasus serupa. Salah satunya adalah inisiasi dari pihak pemerintah untuk memberlakukan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak (pedofilia), yang akan dituangkan dalam bentuk Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangan).
Penuangan dalam bentuk Perppu dianggap sebagai cara yang efesien dan cepat ketimbang harus menunggu revisi Undang-undang karena akan memakan waktu yang lama. Ini artinya hukuman kebiri dalam konteks ini adalah sebagai tambahan bagi hukuman yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu hukuman penjara maksimal selama 15 tahun dan denda berkisar Rp. 60.000.000-Rp. 300.000.000.
Setidaknya pemberlakuan hukuman kebiri ini diharapkan dapat ‘menginterupsi’ peningkatan kasus kejahatan seksual terhadap anak dan memberikan efek jera kepada pelakunya. Namun rencana pemerintah untuk menerapkan hukuman kebiri tersebut menimbulkan ikhtilaf (pro-kontra) di masyarakat, beberapa kalangan melakukan protes keras.
Di antara argumen kelompok yang setuju terhadap hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah bahwa kejahatan tersebut sudah bisa dikategorikan sebagai ordinary craime (kejahatan luar biasa), karenanya harus ditangani secara luar biasa juga. Sudah banyak anak-anak negeri ini yang menjadi korban kejahatan seksual, bahkan kasusnya cenderung meningkat tajam.
Namun kalangan yang tidak setuju berdalih bahwa hukuman kebiri melanggar HAM. Hasrat seksual adalah salah satu hal yang bersifat asasi karenanya tidak boleh ‘dimatikan’. Jika memang tujuannya adalah untuk memberikan efek jera bagi pelakunya, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan memaksimalkan hukuman yang sudah berlaku pada saat ini.
Bagi kelompok yang tidak setuju, efektifitas hukuman kebiri masih perlu dipertanyakan. Sebab, pelaku kejahatan kepada anak masih berpotensi melakukan kejahatannya selama kondisi mentalnya belum stabil. Ini artinya yang menjadi persoalan adalah jiwa pelakunya. Maka cara yang dianggap efektif adalah dengan memberikan pengobatan dan rehabilitasi kepada pelakunya, bukan menambah hukuman hukuman terhadap pelakuknya dengan hukuman kebiri.
Baik kalangan yang pro maupun yang kontra terhadap hukumana kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak pada dasarnya memiliki kesamaan semangat dan tujuan. Mereka sepakat bahwa kejahatan ini harus segera ‘diinterupsi’ dan ditekan sedemikian rupa agar tidak terus mengalami peningkatan.
Berangkat dari sinilah maka Lembaga Bahtsul Masail PBNU berinisiatif mengadakan halaqoh untuk mengkaji sejauh mana pandangan fikih dalam melihat hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Apakah dibenarkan dalam perspektif fikih memberikan hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak? Benar hukuman tersebut dalam perspektif fikih dianggap melanggar hak asasi (al-huquq al-insaniyyah)?
HUKUM KEBIRI BAGI PEDOFILIA DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM
Pedofilia secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yg berarti "mencintai anak". Kemudian diartikan dan disepakati untuk istilah mencintai/ketertarikan seksual kepada anak2. Pelaku pedofilia disebut Pedofil. Dgn demikian, prilaku pedofilia berarti merupakan penyimpangan seksual.
Islam sangat menyoroti kasus2 penyimpangan seksual sebagaimana telah ditegaskan dlm Al Qur'an yg mengisahkan prilaku seksual menyimpang dari kaum Nabi Luth, yaitu kaum Sodom. Allah telah melaknat dan mengharamkan perilaku kaum Sodom tersebut. Namun hukum haram itu belum tegas disebutkan seperti apa sanksi hukumnya bagi yg melanggar. Sehingga para pakar hukum Islam pun berbeda pendapat dalam menentukan hukuman bagi pelaku sodomi (liwath). Ada yg menyamakannya dgn zina, yakni dihad, dan ini sesuai dengan pendapat yg lebih kuat ('alal madzhab) menurut madzhab Syafi'i. Ada juga yg tidak demikian, yakni hanya dihukum dengan ta'zir karena statusnya di bawah zina. Ta'zir ialah memberi hukuman dengan tujuan memberi pelajaran, memperbaiki, dan memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran.
Bertolak dari pemikiran Hukum Islam mazhab Syafi'i tersebut, maka perlu dikaji seperti apa Ta'zir yg dibolehkan menurut hukum Islam (fikih).
Sebagaimana termaktub dalam berbagai literatur hukum islam Syafi'iyyah, ta'zir diperbolehkan dengan bentuk dan batasan2 tertentu. Ta'zir tidak boleh berbentuk hukuman yg terdapat unsur;
1. Itlaf (merusak)
2. Ta'dzib (menyiksa)
3. Intihak lihurmatil insan/istikhfaf (merusak harga diri manusia)
4. Iqtho' an nasl (memutus keturunan)
Hal2 tersebut sejatinya mengacu kepada maqashid al Syari'ah (tujuan2 syari'at/hukum islam), yakni hifzhul mal (menjaga harta), hifzhu al nafs (menjaga jiwa/nyawa), hifzhul aql (menelihara akal), hifzhu al nasab/nasl (melestarikan keturunan). Sehingga hukuman ta'zir yg melanggar prinsip itu pun tdk diperbolehkan, kecuali bila pelanggarannya sudah menjadi berat dan patut untuk dihukum dgn hukuman yg sepadan.
Oleh karenanya, kasus Pedofil yang memunculkan UU/Hukum kebiri bagi pelakunya, dalam persfektif fiqh sudah dianggap dan dikategorikan sebagai Ta'zir. Yakni satu tindakan hukum yang memberi efek jera dan memperbaiki pelaku (ishlah). Analisa fiqh dalam memberikan hukum ta'zir msih mengedepankan hak dan manfaat pelaku pelanggaran, misal larangan memotong manfaat tubuh atau mengambil harta pelaku, kecuali kasus2 tertentu yg dampaknya universal spt pengedar narkoba, teroris dll maka ta'zir dgn Hukuman Mati masih boleh. Tidak sama halnya dalam kasus pedofil yg prosentasi negatiny tidak sama dgn kasus teroris atau pengedar narkoba. Maka melihat ketentuan hukum kebiri yg bertujuan memberikan efek Jera adalah sudah dianggap keluar dari Batasan ta'zir. Untuk itu Mengkebiri terhadap Pedofil Tidak diPerbolehkan.
REFERENSI :
الحكم التكليفي:
٦ - جمهور الفقهاء: على أن الأصل في التعزير أنه مشروع في كل معصية لا حد فيها، ولا كفارة.
ويختلف حكمه باختلاف حاله وحال فاعله. (٣)
حكمة التشريع:
٧ - التعزير مشروع لردع الجاني وزجره، وإصلاحه وتهذيبه. قال الزيلعي: إن الغرض من التعزير الزجر. وسمى التعزيرات: بالزواجر غير المقدرة. (٤)
Al Mawsu'ah al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah j.12 h.256. أما الإصلاح والتهذيب فهما من مقاصد التعزير، وقد بين ذلك الزيلعي بقوله: التعزير للتأديب. ومثله تصريح الماوردي وابن فرحون بأن: التعزير تأديب استصلاح وزجر. (٢)
وقال الفقهاء: إن الحبس غير المحدد المدة حده التوبة وصلاح حال الجاني. (٣) وقالوا: إن التعزير شرع للتطهير؛ لأن ذلك سبيل لإصلاح الجاني. (٤)
وقالوا: الزواجر غير المقدرة محتاج إليها، لدفع الفساد كالحدود. (٥)
وليس التعزير للتعذيب، أو إهدار الآدمية، أو الإتلاف، حيث لا يكون ذلك واجبا. وفي ذلك يقول الزيلعي: التعزير للتأديب، ولا يجوز الإتلاف، وفعله مقيد بشرط السلامة. ويقول ابن فرحون: التعزير إنما يجوز منه ما أمنت عاقبته غالبا، وإلا لم يجز. ويقول البهوتي: لا يجوز قطع شيء ممن وجب عليه التعزير، ولا جرحه، لأن الشرع لم يرد بشيء من ذلك، عن أحد يقتدى به؛ ولأن الواجب أدب، والأدب لا يكون بالإتلاف. (١) وكل ضرب يؤدي إلى الإتلاف ممنوع، سواء أكان هذا الاحتمال ناشئا من آلة الضرب، أم من حالة الجاني نفسه، أم من موضع الضرب، وتفريعا على ذلك: منع الفقهاء الضرب في المواضع التي قد يؤدي فيها إلى الإتلاف. ولذلك فالراجح: أن الضرب على الوجه والفرج والبطن والصدر ممنوع. (٢)
وعلى الأساس المتقدم منع جمهور الفقهاء في التعزير: الصفع، وحلق اللحية، وتسويد الوجه، وإن كان البعض قال به في شهادة الزور، قال الأسروشني: لا يباح التعزير بالصفع؛ لأنه من أعلى ما يكون من الاستخفاف. وقال: تسويد الوجه في شهادة الزور ممنوع بالإجماع، أي بين الحنفية. (٣) قال البهوتي: (يحرم) التعزير (بحلق لحيته) لما فيه من المثلة (ولا تسويد وجهه) . والتعزير بالقتل عند من يراه يشترط في آلته: أن تكون حادة من
hal 257.
شأنها إحداث القتل بسهولة، بحيث لا يتخلف عنها القتل، وألا تكون كالة، فذلك من المثلة، والرسول صلى الله عليه وسلم يقول: إن الله عز وجل كتب الإحسان على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة، وليحد أحدكم شفرته، وليرح ذبيحته (١) وفي ذلك أمر بالإحسان في القتل، وإراحة ما أحل الله ذبحه من الأنعام، فالإحسان في الآدمي أولى. (٢)
المعاصي التي شرع فيها التعزير:
٨ - المعصية: فعل ما حرم، وترك ما فرض، يستوي في ذلك كون العقاب دنيويا أو أخرويا.
أجمع الفقهاء على: أن ترك الواجب أو فعل المحرم معصية فيها التعزير، إذا لم يكن هناك حد مقدر (٣)
ومثال ترك الواجب عندهم: منع الزكاة،وترك قضاء الدين عند القدرة على ذلك، وعدم أداء الأمانة، وعدم رد المغصوب، وكتم البائع ما يجب عليه بيانه، كأن يدلس في المبيع عيبا خفيا ونحوه، والشاهد والمفتي والحاكم يعزرون على ترك الواجب (١) .
ومثال فعل المحرم: سرقة ما لا قطع فيه، لعدم توافر شروط النصاب أو الحرز مثلا، وتقبيل الأجنبية، والخلوة بها، والغش في الأسواق، والعمل بالربا، وشهادة الزور (٢) .
وقد يكون الفعل مباحا في ذاته لكنه يؤدي لمفسدة، وحكمه عند كثير من الفقهاء - وعلى الخصوص المالكية - أنه يصير حراما، بناء على قاعدة سد الذرائع، وعلى ذلك فارتكاب مثل هذا الفعل فيه التعزير، ما دام ليست له عقوبة مقدرة.
وما ذكر هو عن الواجب والمحرم، أما عن المندوب والمكروه - فعند بعض الأصوليين: المندوب مأمور به، ومطلوب فعله، والمكروه منهي عنه، ومطلوب تركه، ويميز المندوب عن الواجب أن الذم يسقط عن تارك المندوب، لكنه يلحق تارك الواجب. ويميز المكروه عن المحرم: أن الذم يسقط عن مرتكب المكروه، ولكنه يثبت على مرتكب
المحرم، وبناء على ذلك ليستارك المندوب أو فاعل المكروه عاصيا؛ لأن العصيان اسم ذم، والذم أسقط عنهما، ولكنهم يعتبرون من يترك المندوب أو يأتي المكروه مخالفا، وغير ممتثل.
وعند آخرين: المندوب غير داخل تحت الأمر، والمكروه غير داخل تحت النهي، فيكون المندوب مرغبا في فعله، والمكروه مرغبا عنه. وعندهم لا يعتبر تارك المندوب وفاعل المكروه عاصيا. وقد اختلف في تعزير تارك المندوب، وفاعل المكروه، ففريق من الفقهاء على عدم جوازه؛ لعدم التكليف، ولا تعزير بغير تكليف. وفريق أجازه، استنادا على فعل عمر رضي الله عنه، فقد عزر رجلا أضجع شاة لذبحها، وأخذ يحد شفرته وهي على هذا الوضع، وهذا الفعل ليس إلا مكروها، ويأخذ هذا الحكم من يترك المندوب.
وقال القليوبي: قد يشرع التعزير ولا معصية، كتأديب طفل، وكافر، وكمن يكتسب بآلة لهو لا معصية فيها (١. تعريف التعزير وموجبه ومنفذه وكيفيته: الأصل في التعزير لغة: المنع، ومنه التعزير بمعنى النصرة؛ لأنه منع لعدوه من أذاه، ثم اشتهر معنى التعزير في التأديب والإهانة دون الحد؛ لأنه يمنع الجاني من معاودة الذنب. وهوشرعا: العقوبة المشروعة على معصية أو جناية لا حد فيها، ولا كفارة (١)، سواء أكانت الجناية على حق الله تعالى، كالأكل في نهار رمضان بغير عذر (٢)، وترك الصلاة في رأي الجمهور، والربا، وطرح النجاسة ونحوها في طريق الناس ونحوها، أم على حق العباد كمباشرة الأجنبية فيما دون الفرج، وسرقة ما دون النصاب، أو السرقة من غير حرز، وخيانة الأمانة والرشوة، أو القذف بغير الزنى من أنواع السب والضرب والإيذاء بأي وجه، مثل أن يقول الرجل لآخر: يا فاسق، يا خبيث، يا سارق، يا فاجر، يا كافر، يا آكل الربا، يا شارب الخمر، ونحوها. سئل علي كرم الله وجهه عن قول الرجل للرجل: يا فاسق، يا خبيث، قال: هن فواحش فيهن التعزير، وليس فيهن حد.
ومن موجبات التعزير: الجناية التي لا قصاص فيها، أو وطء الزوجة في الدبر، أو أثناء الحيض، أو النهب أو الغصب أو الاختلاس.
ولو قال شخص لآخر: يا كلب، يا خنزير، يا حمار، يا ثور، لا يعزر في أصل مذهب الحنفية؛ لأنه قذفه بما لا يتصور، فيرجع عار الكذب إليه.
Al Fiqhu al Islami Wahbah Azzuhaili J.7 H.5591
وبعضهم قال: يعزر في عرفنا، وهذا هو المناسب لعصرنا، إذا كان مثله يتأذى بذلك، ويعزره القاضي بناء على طلب المشتوم، ويؤيد هذا الاتجاه (١) أن الشافعية قالوا: من الألفاظ الموجبة للتعزير قوله لغيره: يا فاسق، يا كافر، يا فاجر، يا شقي، يا كلب، يا حمار، يا تيس، يا رافضي، يا خبيث، يا كذاب، يا خائن، يا قواد، يا ديوث (٢).
ويقوم بالتعزير ولي الأمر أو نائبه. ويكون التعزير إما بالضرب، أو بالحبس أو بالتوبيخ، ونحوها بحسب ما يراه ولي الأمر رادعا للشخص، بحسب اختلاف حالات الناس.
H.5592,.
الفقه الاسلامى الجزء السادس ص: 201 دار الفكر
ومن لم يندفع فساده فى الارض الا بالقتل قتل مثل المغرق لجماعة المسلمين والداعة إلى البدع فى الدين قال تعالى " من أجل ذلك كتبنا على بنى اسرائيل أنه من قتل نفسا بغير نفس أو فساد فى الأرض فكأنما قتل الناس جميعا " وفى الصحيح عن النبى صلى الله عليه وسلم انه قال " اذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما " وروى مسلم فى صحيحه عن عروة الاشجعى رضى الله عنه " من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد ان يشق عصاكم أو يفرق جماعتكم فاقتلوه " وأمر النبى صلى الله عليه وسلم بقتل رجل تعمد عليه الكذب . والخلاصة : أنه يجوز القتل سياسة لمعتادى الاجرام مدمنى الخمر ودعاة الفساد ومجرمى آمن الدولة ونححوهم .
بغية المسترشدين ص : 250 دار الفكر
قال المحب الطبرى فى كتابه التفقيه يجوز قتل عمال الدولة المستولين على ظلم العباد الحاقا لهم بالفواسق الخمس إذ ضررهم أعظم منها ونقل الاسنوى عن ابن عبد السلام أنه يجوز للقادر على قتل الظالم كالمكاس ونحوه من الولاة الظلمة أن يقتله بنحو سم ليستريح الناس من ظلمه لأنه اذا جاز دفع الصائل ولو على درهم حتى بالقتل بشرطه فأولى الظالم المتعدى . إه
والمعتبر إيلاج قدر الحشفة والمراد بالفرج القبل (ودبر ذكر وأنثى) أجنبية (كقبل) فيوجب الإيلاج فيه وهو اللواط الحد (على المذهب) كالزنى فيرجم المحصن ويجلد ويغرب غيره، وفي قول يقتل فاعله بالسيف محصنا كان أو غير محصن وفي طريق أن الإيلاج في دبر المرأة زنى (ولا حد بمفاخذة) بإعجام الذال ونحوها من مقدمات الوطء.
قوله: (أجنبية) أي غير حليلته أما هي فدبرها لا يوجب الحد مطلقا ولكنه يحرم مطلقا ويعزر به في غير المرة الأولى وليس كبيرة في تلك المرة ونقل بعضهم جوازه عن بعض الصحابة كعلي - رضي الله عنه -، ونوزع في ذلك النقل وتبرأ شيخنا من تلك النسبة وشمل الذكر عبده فيحد بوطئه في دبره. قوله: (كالزنى) ظاهره أنه لا يسمى زنى ويدل له ما ذكره بعد، وهذا من حيث اللغة فهو زنى شرعا، ولذلك يحنث فيه من حلف لا يزني.
حاشية قليوبى : ج ۴ ص ۱۸۰
Dirumuskan oleh :
KH. Azizi Hasbulloh dari Blitar Jawa Timur
KH. Hizbulloh dari Nganjuk Jawa Timur
KH. Aris Subadar dari Besuk Pasuruan Jawa Timur
Kyai Achmad Hafid dari Malang Jawa Timur
Kyai Syamsuri Abdul Qohar dari Pasuruan Jawa Timur
Kyai Fathun Nuha dari Grobogan Jawa Tengah
KH. Samthon Masduki dari Malang Jawa Timur
Kyai Syukron Ma'mun Aro dari Jakarta
KH. Ahmad Zenuri Zen dari Gresik Jawa Timur
KH. Anang Masulun dari Sidoarjo Jawa Timur
KH. Nidhom Subkhi dari Malang Jawa Timur
Kyai Adibuddin dari Bangkalan Madura Jawa Timur
Kyai Khoirin dari Demak Jawa Tengah
Dan beberapa para kyai lagi yang tidak saya sebutkan satupersatu, tapi tidak mengurangi Hormat kami pada para kyai..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar